Hari demi hari dilalui Safira dengan rasa rindu yang kian menumpuk. Dia berusaha untuk tetap mengerti kondisi Kai yang saat ini sedang menjalani rehabilitasi. Dia juga sedang mempersiapkan diri untuk pertemuannya kembali dengan sang kekasih. Ya, hampir satu bulan lebih setelah kejadian Kai marah besar. Safira belum berani untuk menemui Kai lagi. Dia takut jika kedatangannya hanya akan semakin mempersulit proses penyembuhan ketergantungan Kai dari obat-obatan. Atas saran dari dokter pula, akan lebih baik seperti itu dulu. Kai tidak diizinkan bertemu dengan siapapun termasuk keluarganya dikarenakan emosinya masih belum stabil. Safira pada akhirnya mengalah. Demi kebaikan Kai, dia rela menahan kerinduannya. Apabila rindu tengah menyapa, Safira akan memandangi foto-foto Kai yang tersimpan di galeri ponselnya. Beberapa video dia juga akan tonton berulang-ulang sampai rasa rindunya pelan-pelan memudar. Di tengah-tengah kesendiriannya melawan rasa sepi serta rindu. Safira merasa sangat be
Selama hampir tiga bulan, menjalani terapi serta perawatan di tempat ini, perasaan Kai tentunya terkadang menjadi sangat jenuh. Kebosanan pun tak pernah absen mendatangi Kai kala hatinya tengah dilanda rindu pada sang pujaan. Namun, demi masa depannya dan Safira, Kai rela menahan itu semua. Semangatnya untuk sembuh pun selalu menggebu, mengingat jika sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah dari bayi laki-laki. Kai yakin, jika dia bisa terbebas dari jeratan obat-obatan laknat tersebut. Melalui tahapan dan proses yang cukup panjang, Kai berusaha teratur menjalaninya tanpa pernah absen. Sedih, ketika melihat Safira datang dengan perut yang semakin membesar. Harusnya, dia mendampingi perempuan ini. Harusnya, dia yang ada di saat-saat Safira membutuhkannya. Kai duduk di bangku yang terbuat dari besi, di sisinya ada Safira yang terus mengamit lengannya. Sementara Ruth pulang lebih dulu dengan diantar sopir, setelah puas berbincang dengan Kai. Kini waktunya Kai dan Safira saling melepa
Safira terlihat gelisah di atas tempat tidur seraya meringis seperti sedang menahan sakit. Sudah sejak tadi subuh perutnya terasa sangat mulas, tetapi masih kadang timbul kadang hilang. Safira juga bolak-balik ke toilet."Aduuhh ... kok mules banget kayak gini, ya? Kayak lagi PMS. Pinggang aku juga pegel banget." Menduduki tepi kasur sambil tak berhenti mendesis kesakitan, Safira mengusap peluh yang satu persatu muncul di kening dan pelipis. "Ini juga kenapa aku keringetan. Padahal Ac-nya udah dingin banget." Suhu di dalam kamar perempuan itu sudah sangat sejuk, tetapi entah kenapa Safira merasa kegerahan. Lantas, dia bersandar pada headboard, seraya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Mulasnya sudah menghilang, tersisa rasa pegal di area punggung sampai pinggangnya. "Fir." Ruth muncul, dan langsung masuk ke kamar Safira dengan membawa sepiring buah apel yang sudah dipotong-potong. Biasanya, dia memang suka membawakan buah-buahan sebagai camilan untuk sang cal
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele