'Kai selama ini memang sudah salah pergaulan. Dia melampiaskannya ke obat-obatan itu. Mas tau, Kai bahkan belum bisa maafin Papi sampe sekarang. Dia tertekan karena cemoohan orang-orang sekitar. Dia ngerasa sendirian, Mas.' Pernyataan Safira terus terngiang di telinga Arkana. Mengenai apa yang dia ketahui beberapa jam yang lalu, jika adiknya saat ini tengah menjalani rehabilitasi. Arkana seketika merasa gagal menjadi seorang kakak yang harusnya mendampingi. Dia juga sudah gagal melindungi Kai selama ini. "Kenapa kamu sampe terjerumus sama barang terlarang itu, Kai? Kenapa?" Arkana tak berhenti memikirkan alasan di balik kelamnya kehidupan Kai selama tiga tahun terakhir. Meskipun Safira sudah menceritakan semuanya, tetapi Arkana ingin mendengarnya sendiri dari mulut Kai. 'Kai udah seminggu di panti rehabilitasi, Mas. Dia lagi jalanin beberapa serangkaian tes. Untuk sementara ini Kai gak diizinin dijenguk. Kata dokter yang nanganin dia, itu akan lebih baik demi proses penyembuhan. Ka
Sore ini Safira ada janji dengan dokter kandungan yang selama ini memantau kehamilannya. Kebetulan, hari ini adalah jadwal Safira untuk melakukan USG. Perempuan itu merasa tak bersemangat sama sekali sebab tidak ada satu orangpun yang mendampinginya ke tempat ini. Sejak dari rumah saja, Safira terlihat murung. Kesedihan nampak begitu jelas di maniknya yang bulat. Jika melihat pasangan-pasangan suami istri yang turut mengantre, hatinya malah semakin iri. Harusnya, saat ini ada Kai yang menemani. Harusnya, dia seperti para pasangan-pasangan itu. Namun, Safira harus tetap tegar menjalani kehamilannya tersebut meski tanpa Kai di sisinya. Dia pun harus semangat dan tidak boleh menyerah begitu saja. Kai tengah berjuang dengan perawatannya di sana. Begitu pun sebaliknya dia. "Fir." Safira tersentak ketika ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Kesedihannya seketika berubah menjadi keterkejutan. Dia mendongak, dengan kening mengernyit dalam. "Mas?" 'Kenapa bisa ada Mas Arkana di sini?'
Ketakutan serta kekhawatiran seketika menggayuti pikiran Safira, sesaat Danish memperingatkan perihal kemungkinan yang terjadi pada Kai. Dia jelas sangat merasa takut jika Kai benar-benar tidak mengingatnya. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Kenapa Safira dan Kai harus dihadapkan dengan situasi seperti sekarang? Sampai kapan ujian ini akan berakhir? "Fir." Langkah Arkana berhenti tepat di pintu masuk, di mana Kai saat ini berada. Safira terhenyak lantas menoleh. Tanpa sepatah katapun dia mengangguk. Kemudian menyentuh handle pintu dan mendorongnya. Sementara Safira masuk terlebih dahulu, Arkana memilih menunggu di luar. Duduk pada bangku besi di dampingi Danish. 'Tunggu Kai kenalin kamu, Fir. Kamu jangan deketin dia duluan.' Sambil melangkah masuk, Safira terus mengingat perkataan Danish beberapa saat yang lalu. Pintu dia tutup kembali dan hal pertama yang dilihatnya adalah suasana ruangan yang cukup ramai. Ada sekitar belasan orang di dalam, mereka sibuk dengan urusannya ma
"Ssshh ...." Arkana mendesis saat Safira mengolesi salep di sudut bibirnya yang robek dan berdarah. Luka akibat pukulan Kai cukup membuat lelaki itu merasa keheranan. Namun, dia juga merasa lega karena muncul tepat waktu. Seandainya saja dia terlambat sedikit saja, mungkin Safiralah yang menjadi korban. "Udah, Mas." Safira membereskan kotak obat. "Kai tadi nakutin banget. Aku gak nyangka dia bakal semarah itu," ucap Safira, membuang napas panjang, lalu memandang Arkana. "Kamu sampe jadi sasaran tinjunya." Rautnya menyendu.Kemarahan Kai sungguh mengerikan bagi Safira. Dia nyaris pingsan kalau saja Arkana dan Danish tidak muncul tiba-tiba. Namun, yang sangat disayangkan adalah 'Kenapa Kai sampai harus memukul Arkana.' Arkana mengusap pipinya yang berdenyut. Pukulan Kai yang mendadak dan begitu keras seakan-akan masih meninggalkan jejak. Sakit dan panas. "Luka ini gak ada apa-apanya, Fir. Kalau seandainya tadi aku terlambat masuk, mungkin Kai bisa lakuin hal yang sama ke kamu." "Aku
Hari demi hari dilalui Safira dengan rasa rindu yang kian menumpuk. Dia berusaha untuk tetap mengerti kondisi Kai yang saat ini sedang menjalani rehabilitasi. Dia juga sedang mempersiapkan diri untuk pertemuannya kembali dengan sang kekasih. Ya, hampir satu bulan lebih setelah kejadian Kai marah besar. Safira belum berani untuk menemui Kai lagi. Dia takut jika kedatangannya hanya akan semakin mempersulit proses penyembuhan ketergantungan Kai dari obat-obatan. Atas saran dari dokter pula, akan lebih baik seperti itu dulu. Kai tidak diizinkan bertemu dengan siapapun termasuk keluarganya dikarenakan emosinya masih belum stabil. Safira pada akhirnya mengalah. Demi kebaikan Kai, dia rela menahan kerinduannya. Apabila rindu tengah menyapa, Safira akan memandangi foto-foto Kai yang tersimpan di galeri ponselnya. Beberapa video dia juga akan tonton berulang-ulang sampai rasa rindunya pelan-pelan memudar. Di tengah-tengah kesendiriannya melawan rasa sepi serta rindu. Safira merasa sangat be
Selama hampir tiga bulan, menjalani terapi serta perawatan di tempat ini, perasaan Kai tentunya terkadang menjadi sangat jenuh. Kebosanan pun tak pernah absen mendatangi Kai kala hatinya tengah dilanda rindu pada sang pujaan. Namun, demi masa depannya dan Safira, Kai rela menahan itu semua. Semangatnya untuk sembuh pun selalu menggebu, mengingat jika sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah dari bayi laki-laki. Kai yakin, jika dia bisa terbebas dari jeratan obat-obatan laknat tersebut. Melalui tahapan dan proses yang cukup panjang, Kai berusaha teratur menjalaninya tanpa pernah absen. Sedih, ketika melihat Safira datang dengan perut yang semakin membesar. Harusnya, dia mendampingi perempuan ini. Harusnya, dia yang ada di saat-saat Safira membutuhkannya. Kai duduk di bangku yang terbuat dari besi, di sisinya ada Safira yang terus mengamit lengannya. Sementara Ruth pulang lebih dulu dengan diantar sopir, setelah puas berbincang dengan Kai. Kini waktunya Kai dan Safira saling melepa
Safira terlihat gelisah di atas tempat tidur seraya meringis seperti sedang menahan sakit. Sudah sejak tadi subuh perutnya terasa sangat mulas, tetapi masih kadang timbul kadang hilang. Safira juga bolak-balik ke toilet."Aduuhh ... kok mules banget kayak gini, ya? Kayak lagi PMS. Pinggang aku juga pegel banget." Menduduki tepi kasur sambil tak berhenti mendesis kesakitan, Safira mengusap peluh yang satu persatu muncul di kening dan pelipis. "Ini juga kenapa aku keringetan. Padahal Ac-nya udah dingin banget." Suhu di dalam kamar perempuan itu sudah sangat sejuk, tetapi entah kenapa Safira merasa kegerahan. Lantas, dia bersandar pada headboard, seraya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Mulasnya sudah menghilang, tersisa rasa pegal di area punggung sampai pinggangnya. "Fir." Ruth muncul, dan langsung masuk ke kamar Safira dengan membawa sepiring buah apel yang sudah dipotong-potong. Biasanya, dia memang suka membawakan buah-buahan sebagai camilan untuk sang cal
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya