“Mamanya ke mana?“ tanya Zikra pada Jihan.“Iya, nanti Mama pulang, Nak. Mama Cuma pergi sebentar. Sabar, ya ...” Sudah hampir satu jam wanita itu berusaha menenangkan Zikra. Namun tampaknya, anak ini masih enggan untuk menyelesaikan tangisnya.“Gimana, Mas?” tanya Jihan ketika melihat Raffa baru saja sampai di rumah.“Aku udah tanya ke orang-orang yang masih terjaga di sekitar sini, tapi nggak ada salah satu pun dari mereka yang tau ke mana Salwa pergi.”Raut wajah Jihan terlihat begitu khawatir. Meskipun kenyataan ini sangat menyakitkan. Tapi hati kecilnya, ia tak ingin Salwa pergi. Zikra sangat membutuhkan Mamanya.Sudah berkali-kali Jihan menghubungi nomor Salwa, tapi nomor itu sudah tidak aktif lagi. “Ke mana Salwa pergi ya, Mas?”“Pastinya masih belum jauh dari sini.”“Dari suratnya yang kita baca, aku takut Salwa nggak akan kembali. Soalnya dia udah seratus persen nitipin Zikra sama kita.”Raffa terduduk lesu. Ya. Bagaimana kalau seandainya apa yang barusan Jihan katakan itu
“Mana, katanya Mama pulang? Kok, dari kemarin belum pulang-pulang? Papa bohongin aku, nih. Huuh ngga mau temenan lagi sama Papa, ah. Papanya bohong.”Raffa memijat pelipisnya, mendengar anak ini yang menanyakan Mamanya setiap satu menit sekali membuat kepalanya terasa begitu pening. Ya Tuhan, ia harus mencarinya ke mana lagi?Semalaman ia tak tidur untuk mencari Salwa dan menyuruh orang-orang terdekat. Tapi, belum ada kabar yang pasti mengenai keberadaan Salwa. Apalagi dengan pakaian Salwa yang tertutup sepenuhnya hanya menyisakan kedua bola mata. Pasti akan lebih sulit lagi untuk dikenali.“Mama mana, Paa?” rengeknya sambil menarik-narik tangan Raffa.“Mama lagi pergi dulu sebentar, nanti juga pulang, Nak ...”Sungguh ini benar-benar berat. Mau sampai kapan ia berbohong seperti ini kepada Zikra?“Eh, itu ada siaapa?” tanya Tasya anak pertama Latief.Merasa takut dengan teman baru yang usianya tak jauh beda darinya, Zikra langsung mendekap erat tubuh Raffa dan menelusupkan kepalanya di
“Sebutkan alasannya, Ji. Kenapa aku harus menceraikanmu?” tanya Raffa. Suaranya terdengar bergetar akan kekecewaan. “Apa karena aku memasukkan Zikra dalam hidupku?”“Ya, itu salah satunya, Mas.”“Lalu aku harus seperti apa? Zikra putraku, aku harus bertanggung jawab dengan kehidupannya,” tutur pria itu, “yang lain?”“Aku nggak mau dimadu.” Jihan menundukkan kepalanya menatap ubin yang ia pijak. “Bukankah sejak awal kita menikah aku dah tegasin aku menolak di poligami."Maaf Mas, jika itu memang terdengar egois. Tapi disisi lain aku juga sadar diri aku nggak bisa memberikanmu keturunan."Mungkin memang aku yang seharusnya mengalah.“Lagipula Salwa sudah banyak berkorban untukku. Aku malu bahagia diatas penderitaan orang lain Mas.”Raffa terdiam sebab menyimak pembicaraannya. Ingin mendengarkannya sampai selesai.“Kita nggak tau. Mungkin sudah banyak hari-hari yang ia lewati dengan tidak mudah.“Kalau Mas sudah menemukannya, kamu nikahi dia ya, Mas. Tolong bahagiakan dia. Dia pantas mend
(BAB 36)“Jadi kamu bohongin aku, Raff?” tanya Salwa teramat jengkel dengan ulah pria itu.“Maaf aku terpaksa menggunakan cara ini. Karena hanya ini satu-satunya cara agar kamu keluar dari persembunyian. Aku tau kamu pasti belum jauh dari sini...”“Kamu jahat Raff, kamu jahat ...” isaknya pelan.Raffa memberi kode kepada orang yang berada di belakang Salwa untuk meninggalkan mereka berdua.“Apa sih mau kamu? Tolong biarin aku tenang tanpa bayang-bayang kalian lagi. Cukupkan semuanya, Raffa. Aku ingin menemukan kebahagiaanku sendiri ...”“Bagaimana kamu bisa tenang dan bahagia kalau masih ada bagian hidupmu yang tertinggal disini ...” balas Raffa, “kamu meninggalkan anak yang masih kecil. Apa kamu tega meninggalkannya?”“Hampir setiap hari dia menangis selalu menanyakanmu ..”“Mamaa ...” Suara itu membuat Salwa menegakkan kepalanya.“Zikra!” Entah dari mana datangnya Zikra sudah ada di dekat mereka bersama dengan Jihan di belakangnya.“Ya Allah, Nak ...” Zikra langsung berhambur me
Rasanya, baru beberapa jam yang lalu mereka tidur. Kini, bunyi alarm seakan menggedor-gedor mereka agar segera terbangun. Tak tahan dengan suara berisik yang berasal dari meja nakas samping kirinya, Raffa terpaksa terbangun dan meraih ponsel itu.“Berisik banget!” desah Raffa dengan masih memejamkan matanya.“Aku baru tidur ya, ampun! PRAK!” terlalu kesal dengan bunyi ponsel itu, Raffa melemparnya ke sembarang arah.SeketikaSalwa terbangun dan bola matanya membulat, “Raff, kamu lempar ponselku?” tanyanya sedikit kesal. Rasa kantuk seakan lenyap mendengar ponselnya terlempar ke lantai.“Hah?!” Raffa baru menyadari bahwa ia telah merusak ponsel milik istrinya. Bola matanya juga ikut membulat saat melihat baterai ponsel tercecer di lantai terlepas dari badannya. Namun sepertinya ponsel itu sama sekali tak memancing perhatiannya. Bahwa apa yang di sampingnya lebih menarik daripada apapun keindahan di dunia ini. “Raff? Itu ponsel aku satu-satunya ...”“Aku bahkan bisa membelikanmu sepul
Beberapa bulan kemudian~“Miii! Ummi! Ummiiiii!!” teriak Raffa dari luar.“Ada apa ini...Ya Allah, Nak. Datang-datang bukannya ngucapin salam malah teriak-teriak,” omel Ummi dengan wajah cemberut. Sudah besar masih seperti anak kecil saja pikir beliau.“Abah mana Ummi? Abah Mana?” Raffa mengguncang tubuh Ummi-nya dengan cukup keras. “Astaghfirullahhaladzim! Ini lagi kenapa, sih?” Ummi lantas melihat Salwa masuk dengan sedikit kepayahan. Karena kandungan Salwa sudah berusia lima bulan.Ummi mencubit lengan putranya merasa gemas, “Itu kenapa istrinya ditinggal?”Raffa menepuk keningnya cukup keras. Saking bahagianya dia sampai melupakan Salwa, “Oh, iya. Maaf, Sayang!” laki-laki itu membantu menuntun Salwa untuk duduk, “abisnya Raffa terlalu bahagia, Mi. Raffa mau punya anak perempuan...”“Masyaaallah ... alhamdulillah... bayinya sehat kan?”“Tadi bayinya juga sehat, Mi,” Lanjut Raffa sangat antusias, "Raffa liat bayinya di layar monitor bergerak-gerak lincah.""Maaf ya, Nak. Raffa terl
Menikmati udara segar bersama memang sangat tepat di sore hari yang cerah seperti ini. Seperti tak ada bosan-bosannya Raffa dan Salwa menikmati waktu berharga mereka di belakang rumah itu. Mumpung Raffa sedang tak ke mana-mana pikirnya.Membuat Ummi dan Abah melihat dengan haru kebersamaan mereka yang sedang memperhatikannya dari jauh. Lebih tepatnya berada atas balkon atas sana. Sungguh sangat menyenangkan. Damai dan sejahtera.“Kaya kita waktu muda ya, Bah,” ucap Ummi sambil menyenggol lengan suaminya.“Sampai tua juga kita begitu kan, Mi.”“Udah nggak lagi kali, Bah ...” Ummi mengerucutkan bibirnya, “Abah mah sibuk terus.” Perempuan mana pun walau sudah tua akan terlihat manja dan bergantung bila di hadapan suaminya. “Manja kamu teh, Mi,” ucap Abah tanpa menoleh dari layar berukuran kurang lebih enam belas inchi.“Terserah!” jawab Ummi sedikit kesal. “Lihat deh, Abah, Abah! Aduhh... Ummi teh seneng pisan atuh, Bah... Alhamdulillah ...” Ummi mengguncang-guncang tubuh Abah kegira
(Bab 40)Ummi mengusap-usap punggung Raffa berupaya menenangkannya. Melihat putranya seperti itu membuat ummi merasa terenyuh.Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa Salwa mengalami ketuban kering. Jadi, Dokter menyarankan agar Salwa segera di operasi. Agar bayi di dalam kandungannya selamat.Tak kuasa dengan apa yang terjadi, Raffa hanya memasrahkan kepada-Nya dan mengatakan kepada dokter untuk melakukan yang terbaik demi keselamatan istri dan anaknya. “Sabar ya, Nak....”“Apa orang melahirkan selalu seperti itu, Mi?”Ummi menganggukkan kepalanya pelan.“Maafin semua kesalahan Raffa kiranya Raffa berdosa sama Ummi, ya ..”“Raffa baru tau, ternyata berat sekali perjuangan seorang ibu demi memberi gelar ayah untuk suaminya.”“Itu selalu, Nak. Ummi akan selalu memaafkan dan mendoakan semua kesalahan anak-anak Ummi.” “Apa Salwa akan selamat, Mi?” Salwa pendarahan sangat banyak ...”Mendengar pertanyaan Raffa yang konyol itu membuat Latief mencibir, “Lebay banget, sih. N