Menikmati udara segar bersama memang sangat tepat di sore hari yang cerah seperti ini. Seperti tak ada bosan-bosannya Raffa dan Salwa menikmati waktu berharga mereka di belakang rumah itu. Mumpung Raffa sedang tak ke mana-mana pikirnya.Membuat Ummi dan Abah melihat dengan haru kebersamaan mereka yang sedang memperhatikannya dari jauh. Lebih tepatnya berada atas balkon atas sana. Sungguh sangat menyenangkan. Damai dan sejahtera.“Kaya kita waktu muda ya, Bah,” ucap Ummi sambil menyenggol lengan suaminya.“Sampai tua juga kita begitu kan, Mi.”“Udah nggak lagi kali, Bah ...” Ummi mengerucutkan bibirnya, “Abah mah sibuk terus.” Perempuan mana pun walau sudah tua akan terlihat manja dan bergantung bila di hadapan suaminya. “Manja kamu teh, Mi,” ucap Abah tanpa menoleh dari layar berukuran kurang lebih enam belas inchi.“Terserah!” jawab Ummi sedikit kesal. “Lihat deh, Abah, Abah! Aduhh... Ummi teh seneng pisan atuh, Bah... Alhamdulillah ...” Ummi mengguncang-guncang tubuh Abah kegira
(Bab 40)Ummi mengusap-usap punggung Raffa berupaya menenangkannya. Melihat putranya seperti itu membuat ummi merasa terenyuh.Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa Salwa mengalami ketuban kering. Jadi, Dokter menyarankan agar Salwa segera di operasi. Agar bayi di dalam kandungannya selamat.Tak kuasa dengan apa yang terjadi, Raffa hanya memasrahkan kepada-Nya dan mengatakan kepada dokter untuk melakukan yang terbaik demi keselamatan istri dan anaknya. “Sabar ya, Nak....”“Apa orang melahirkan selalu seperti itu, Mi?”Ummi menganggukkan kepalanya pelan.“Maafin semua kesalahan Raffa kiranya Raffa berdosa sama Ummi, ya ..”“Raffa baru tau, ternyata berat sekali perjuangan seorang ibu demi memberi gelar ayah untuk suaminya.”“Itu selalu, Nak. Ummi akan selalu memaafkan dan mendoakan semua kesalahan anak-anak Ummi.” “Apa Salwa akan selamat, Mi?” Salwa pendarahan sangat banyak ...”Mendengar pertanyaan Raffa yang konyol itu membuat Latief mencibir, “Lebay banget, sih. N
Berat sekali hari ini bagi Raffa. Jika dulu ia membawa tubuh istrinya ke kamar pengantin, tapi hari ini ia membawanya ke liang lahat. Detik detik kian menyiksa saat kakinya memijak tanah pemakaman, tempat berkumpulnya hari akhir para insan.Terdengar bisik-bisik iba dari para orang-orang mengenai dirinya. Belum genap setahun menikah, baru melahirkan, dan masih mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi Allah lebih dulu mengambil Salwa darinya. Entah takdir apa yang akan Allah berikan kepadanya. Allah membiarkan Raffa membesarkan kedua anak-anaknya seorang diri.“Aku mengazankan dua orang hari ini. Ya Allah, kenapa Kau memberikan satu nyawa kepadaku, jika Kau ambil nyawa lainnya dariku. Yaitu nyawa orang yang teramat aku cintai ...” gumamnya sambil meniti tanah yang basah.Hanya Raffa, Abah, Maryam dan Latief yang ikut mengantarkan Salwa ke peristirahatan terakhir. Sedangkan Ummi terbaring di kamarnya karena berulang kali beliau tak sadarkan diri. **“Bismillahirrahmaanirrahiim... or
(Bab 42)Raffa POV.Suara Maryam membuatku terangkat dari dasar lautan yang dalam. Terusik dari ketenangan dan kembali pada kenyataan. Padahal, hatiku sedang jauh memikirkannya yang telah pergi. Bidadari surgaku, Salwa...“Siapa?” tanyaku tanpa menoleh. Aku memusatkan tatapanku kepada putri kecilku yang sedang tenang dalam lelap. Lalu kembali menciumnya bertubi-tubi.“Ayah Salwa ...” jawab Maryam dan kembali keluar dari kamar. Namun sebelum Maryam benar-benar keluar, aku berujar padanya untuk meminta tolong. “Maryam!”“I-iya?” jawab Maryam tergagap. Dia memang selalu terlihat gugup bila bertatapan denganku. Aku tak tahu apa sebabnya. Mungkinkah karena kesalahan yang dulu pernah ia perbuat padaku? Entahlah.“Tolong jagain Syifa sebentar.”“Oh iya, Raff, tenang aja.”Aku meletakkan Syifa ke baby box-nya dan meninggalkan mereka berdua. Untuk menemui Ayah Salwa. Dan ternyata bukan hanya Ayah Salwa saja tapi ada Jihan juga sedang duduk di ruang tamu.“Nak ...”“Mas!” ucap keduanya bersamaa
Dua tahun berlalu~“Papa!” teriakan gemas Syifa ketika melihat Papanya pulang. Anak itu berlari sekonyong-konyong berhambur ke pelukan Raffa. Membuat jantung Raffa terpacu melihat jalan Syifa yang mengerikan.Bruk!“Aduh, duh, Sayang. Ada apa, Nak? Kangen ya, sama Papa?”Syifa mengangguk dan semakin menenggelamkan wajahnya kepada Papanya.“Papa kok nda pulang-pulang?”Sudah dua hari ini Raffa menginap di daerah Bogor untuk melakukan beberapa kajian di berbagai tempat di sana.“Papa ‘kan habis kajian.”“Tapi besyok-besyok, kalau Papa pelgi lagi aku ikut, ya.”“Insya allah nanti Papa ajak Syifa, ya ...” jawab Raffa seraya mengelus kepala putrinya. “Lho, kok datang-datang langsung peluk Ade, Nak?” sergah Ummi yang baru saja keluar dari dalam rumah, “minimal kamu cuci tangan dulu ...”“Nggak tahan, Mi. Kangen sama si gembul ini.”“Yaudah, turunin dulu anaknya. Kan mau Ummi suapin dia belum makan dari pagi. Pusing Ummi , Nak. Anaknya nanyain kamu terus.”“Lain kali kalau aku ke mana-mana,
Mereka baru sampai di daerah Purbalingga Jawa tengah. Daerah yang masih cukup asri dan mempunyai udara yang cukup dingin, apalagi saat malam hari atau pagi hari. Banyak pepohonan salak di sekitar ia singgah. Tepatnya di rumah sahabat Abahnya, orang yang biasa di panggil Kyai Al falah. Beliau sangat mengenal baik Abah Hasan, begitu juga dengan dirinya. Maka dari itu, Raffa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Berdakwah sekaligus menyambung tali silaturahmi antara dirinya dengan beliau.Raffa dan Kyai Al Falah duduk di risban. Risban di daerah Jawa Tengah adalah kursi kayu yang memanjang.“Maaf baru kesini Kyai, soalnya sibuk sekali. Lagi pula, saya ingin mendatangi beberapa tempat sekaligus biar nggak wara-wiri. Soalnya Jakarta jauh ...” jelas Raffa kepada Kyai yang umurnya diperkirakan tujuh puluh tahunan tersebut.“Iya nggak pa-pa Nak, Kyai mengerti kesibukanmu,” jawab Kyai yang sudah bersuara pelan tersebut. Beliau lantas melihat anak kecil yang kini sedang bergelayut di lengan
“Panggil siapa, Pak?” tanya perempuan tersebut. Tapi sepertinya interaksi mereka terpotong karena duduk satu lagi laki-laki yang mungkin berstatus sebagai pasangannya.Raffa menduga-duga.“Aku ambilin ini, mau kan?” tanya perempuan itu pada prianya, sambil meletakkan makanannya ke meja, “katanya menu ini yang paling rekomended di sini.” “Ah iya, makasih, Honey ...” si pria duduk di depan perempuan yang mirip Salwa tersebut.Raffa menunduk sedih. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyamakan pemilik wajah tersebut. Menatapnya lamat-lamat. Yang ternyata sama saja. Ya Tuhan, siapa gerangan wanita itu?Raffa mencuri-curi pandang kepada wanita itu selama beberapa puluh menit lamanya. Dia sampai mengabaikan anaknya yang wara-wiri berceloteh. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Laki-laki yang berstatus pasangannya tersebut meninggalkan wanita itu sendirian.“Permisi, maaf ... apa kamu punya seorang kembaran?” tanya Raffa to the point.“Kembaran?” tanya-nya heran, “nggak ada, ak
“Waalaikumsalam ...” jawab Raffa akhirnya setelah terdiam beberapa saat.“Ini orang yang tadi siang ngasih nomer ke aku ‘kan? Atau aku salah sambung?”“Engga, kamu nggak salah sambung. Ini saya, orang yang tadi siang ngasih nomer ke kamu. Maaf kalau saya mengganggu waktumu.”“It's ok, no problem. Tapi apa maksudmu ngeliatin aku tadi pagi? Ada yang aneh sama aku? Bikin pikiran aja.”“Ya, apa lagi saya. Bisa kita bicara berdua? Mungkin akan lebih enak kalau kita berbicara langsung.”Tapi lantaran merasa tidak enak, Raffa langsung melanjutkan ucapannya, “Maaf kalau permintaanku terlalu merepotkan. Tapi sungguh, saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya meluruskan apa yang menjadi ganjalan saya.”“Baiklah, memangnya kamu ada di mana sekarang?”“Saya masih ada di Hotel Regatta. Tempat kamu makan bersama laki-laki tadi siang.”“Baiklah, saya akan luangkan waktu besok sore.”“Maaf sekali lagi, tapi saya besok pagi sudah harus pergi ke daerah lain. Apa tidak bisa malam ini saja?”“Duhh, gimana ya?”