Dua tahun berlalu~“Papa!” teriakan gemas Syifa ketika melihat Papanya pulang. Anak itu berlari sekonyong-konyong berhambur ke pelukan Raffa. Membuat jantung Raffa terpacu melihat jalan Syifa yang mengerikan.Bruk!“Aduh, duh, Sayang. Ada apa, Nak? Kangen ya, sama Papa?”Syifa mengangguk dan semakin menenggelamkan wajahnya kepada Papanya.“Papa kok nda pulang-pulang?”Sudah dua hari ini Raffa menginap di daerah Bogor untuk melakukan beberapa kajian di berbagai tempat di sana.“Papa ‘kan habis kajian.”“Tapi besyok-besyok, kalau Papa pelgi lagi aku ikut, ya.”“Insya allah nanti Papa ajak Syifa, ya ...” jawab Raffa seraya mengelus kepala putrinya. “Lho, kok datang-datang langsung peluk Ade, Nak?” sergah Ummi yang baru saja keluar dari dalam rumah, “minimal kamu cuci tangan dulu ...”“Nggak tahan, Mi. Kangen sama si gembul ini.”“Yaudah, turunin dulu anaknya. Kan mau Ummi suapin dia belum makan dari pagi. Pusing Ummi , Nak. Anaknya nanyain kamu terus.”“Lain kali kalau aku ke mana-mana,
Mereka baru sampai di daerah Purbalingga Jawa tengah. Daerah yang masih cukup asri dan mempunyai udara yang cukup dingin, apalagi saat malam hari atau pagi hari. Banyak pepohonan salak di sekitar ia singgah. Tepatnya di rumah sahabat Abahnya, orang yang biasa di panggil Kyai Al falah. Beliau sangat mengenal baik Abah Hasan, begitu juga dengan dirinya. Maka dari itu, Raffa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Berdakwah sekaligus menyambung tali silaturahmi antara dirinya dengan beliau.Raffa dan Kyai Al Falah duduk di risban. Risban di daerah Jawa Tengah adalah kursi kayu yang memanjang.“Maaf baru kesini Kyai, soalnya sibuk sekali. Lagi pula, saya ingin mendatangi beberapa tempat sekaligus biar nggak wara-wiri. Soalnya Jakarta jauh ...” jelas Raffa kepada Kyai yang umurnya diperkirakan tujuh puluh tahunan tersebut.“Iya nggak pa-pa Nak, Kyai mengerti kesibukanmu,” jawab Kyai yang sudah bersuara pelan tersebut. Beliau lantas melihat anak kecil yang kini sedang bergelayut di lengan
“Panggil siapa, Pak?” tanya perempuan tersebut. Tapi sepertinya interaksi mereka terpotong karena duduk satu lagi laki-laki yang mungkin berstatus sebagai pasangannya.Raffa menduga-duga.“Aku ambilin ini, mau kan?” tanya perempuan itu pada prianya, sambil meletakkan makanannya ke meja, “katanya menu ini yang paling rekomended di sini.” “Ah iya, makasih, Honey ...” si pria duduk di depan perempuan yang mirip Salwa tersebut.Raffa menunduk sedih. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyamakan pemilik wajah tersebut. Menatapnya lamat-lamat. Yang ternyata sama saja. Ya Tuhan, siapa gerangan wanita itu?Raffa mencuri-curi pandang kepada wanita itu selama beberapa puluh menit lamanya. Dia sampai mengabaikan anaknya yang wara-wiri berceloteh. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Laki-laki yang berstatus pasangannya tersebut meninggalkan wanita itu sendirian.“Permisi, maaf ... apa kamu punya seorang kembaran?” tanya Raffa to the point.“Kembaran?” tanya-nya heran, “nggak ada, ak
“Waalaikumsalam ...” jawab Raffa akhirnya setelah terdiam beberapa saat.“Ini orang yang tadi siang ngasih nomer ke aku ‘kan? Atau aku salah sambung?”“Engga, kamu nggak salah sambung. Ini saya, orang yang tadi siang ngasih nomer ke kamu. Maaf kalau saya mengganggu waktumu.”“It's ok, no problem. Tapi apa maksudmu ngeliatin aku tadi pagi? Ada yang aneh sama aku? Bikin pikiran aja.”“Ya, apa lagi saya. Bisa kita bicara berdua? Mungkin akan lebih enak kalau kita berbicara langsung.”Tapi lantaran merasa tidak enak, Raffa langsung melanjutkan ucapannya, “Maaf kalau permintaanku terlalu merepotkan. Tapi sungguh, saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya meluruskan apa yang menjadi ganjalan saya.”“Baiklah, memangnya kamu ada di mana sekarang?”“Saya masih ada di Hotel Regatta. Tempat kamu makan bersama laki-laki tadi siang.”“Baiklah, saya akan luangkan waktu besok sore.”“Maaf sekali lagi, tapi saya besok pagi sudah harus pergi ke daerah lain. Apa tidak bisa malam ini saja?”“Duhh, gimana ya?”
Niat ingin kembali dalam waktu cepat kini Cilla urungkan. Sebab ia tergerak untuk lebih dulu menolong Pak Jo yang jatuh terkapar pingsan di lantai.Beruntung ia mempunyai banyak pengalaman cara membangunkan orang pingsan. Maklumi saja dia termasuk seorang tenaga medis. Raffa membantu Pak Jo memudahkan beliau menenggak air mineral.“Sudah jauh lebih baik Pak?”“Alhamdulillah ...” tapi beliau tak mau memusatkan pandangannya kepada wanita yang dianggapnya hantu. Beliau terus menunduk seraya memejamkan mata.“Pak Jo ..” panggil Raffa pelan.“Apa salah saya sama almarhumah, Pak Raffa? Tolong sampaikan ke istri Pak Raffa supaya beliau memaafkan saya. Supaya beliau tak mengikuti saya. tolong Pak Raffa, saya ingin hidup tenang ...” katanya terdengar lucu.“Benar dugaan saya. Pak Jo mengira Cilla adalah Salwa ...” Raffa terkekeh.“Dia bukan Salwa Pak Jo, dia namanya Priscilla. Memang wajahnya sangat mirip. Tapi percayalah. Priscilla bukanlah Salwa. Mereka adalah dua orang yang berbeda.“Salwa
Priscilla.Pukul tujuh pagi lewat beberapa menit. Priscilla baru saja meletakkan tasnya di lemari penyimpanan setelah sebelumnya menempelkan kartunya ke dalam mesin absen. Dan dikuti oleh beberapa temannya yang lain.Ini hari rabu, daftar pasien lumayan padat meskipun tak sepadat hari-hari biasanya. Hampir semua teman-temannya sudah datang dan absen seperti dirinya. Sama-sama sedang bersiap-siap melepas dobel pakaian yang mereka kenakan. Berganti dengan seragam hijau khas rumah sakit itu.Siap dengan seragam, masker plus hand sanitizer, Cilla masuk ke dalam ruangan Gymnasium. Bersamaan dengan salah satu temannya, yang bernama Amelia.“Ini benar-benar gila, gue makan kebanyakan dan sekarang lagi ngantuk. Ngantuk banget,” gumam Amelia kepada Priscilla.“Kamu ngantuk bukan banyak makan, tapi kebanyakan begadang. Maklumlah. Kamu ‘kan ada suami.”Ucapan Cilla sontak membuat muka Amel memerah. Buka kartu saja.“Makanya, kamu buruan nikah!” celetuk Amelia.Glekk. Cilla menelan ludahnya susah
Raffa baru saja melaksanakan empat rakaat pagi setelah terbit matahari. Tangannya melipat sajadah tempatnya bersujud memasrahkan diri. Lalu menaruhnya ke tempat yang tersedia. Ia menghampiri tempat favoritnya yaitu perpustakaan besar, yang tingginya lebih dari tubuhnya. Tatapannya mengarah ke atas. Melihat banyaknya kitab-kitab yang berderet rapi. Yang telah ia pelajari semua tanpa terlewat. Mula-mula dari Raffa kecil sampai ia menimba ilmu di Yaman, hingga sampai sekarang ini.Bila ada yang bertanya seberapa pentingnya buku-buku itu dalam hidupnya, Raffa bahkan rela tak mempunyai apa-apa dibandingkan harus kehilangan buku-bukunya. Bisa di katakan buku-bukunya adalah harta terbesarnya di dalam hidup.Tangan itu mengambil salah satu dari mereka. Tebal bersampul hijau dan sisi-sisinya bertuliskan arab dengan tinta warna keemasan. Namun ia terlebih dahulu meniup sampulnya sebelum ia membuka lembar buku.“Fuhh!”Sampai berdebu tebal seperti itu. Biasanya, Salwa yang rajin membersihkanny
“Hallo ...”Terdengar suara Priscilla dari seberang.“Assalamualaikum, Cilla.”“Ah iya, maaf Ustaz.Sampai lupa nggak ngucapin salam dulu. Emm Waalaikumsalam...”“Ada apa ya, Cil?”“Aku ... aku mau bicara. Apa kamu sedang sibuk?”“Insya Allah nggak kalau sekarang,” jawab Raffa pelan.“Aku dah nanya sama Mami aku, tapi mami aku. Tapi Mami aku keliatan nggak nyaman saat aku tanyain hal itu. Beliau justru malah mengalihkan pembicaraan.”“Apa beliau terlihat gugup?”“Ya. Banget. Aku juga nggak tau gimana caranya supaya Mami bersikap tenang dan mau terbuka soal itu. Karena aku yakin, dari gesture tubuhnya, beliau nggak jujur. keliatan banget ...”Mungkin bisa saja mami Priscill mnyembunyikannya karena takut kehilangan, pikir Raffa.“Sepertinya kita butuh bantuan orang lain untuk menyelidikinya.”“Kalau Papi, sudah kamu tanyakan?” tanya Raffa selanjutnya.“Belum, soalnya Papi pulangnya malam terus. Nggak mungkin 'kan, aku bertanya sama beliau dalam keadaan capek."Tapi nunggu sampai Papi ngga
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita