Mereka baru sampai di daerah Purbalingga Jawa tengah. Daerah yang masih cukup asri dan mempunyai udara yang cukup dingin, apalagi saat malam hari atau pagi hari. Banyak pepohonan salak di sekitar ia singgah. Tepatnya di rumah sahabat Abahnya, orang yang biasa di panggil Kyai Al falah. Beliau sangat mengenal baik Abah Hasan, begitu juga dengan dirinya. Maka dari itu, Raffa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Berdakwah sekaligus menyambung tali silaturahmi antara dirinya dengan beliau.Raffa dan Kyai Al Falah duduk di risban. Risban di daerah Jawa Tengah adalah kursi kayu yang memanjang.“Maaf baru kesini Kyai, soalnya sibuk sekali. Lagi pula, saya ingin mendatangi beberapa tempat sekaligus biar nggak wara-wiri. Soalnya Jakarta jauh ...” jelas Raffa kepada Kyai yang umurnya diperkirakan tujuh puluh tahunan tersebut.“Iya nggak pa-pa Nak, Kyai mengerti kesibukanmu,” jawab Kyai yang sudah bersuara pelan tersebut. Beliau lantas melihat anak kecil yang kini sedang bergelayut di lengan
“Panggil siapa, Pak?” tanya perempuan tersebut. Tapi sepertinya interaksi mereka terpotong karena duduk satu lagi laki-laki yang mungkin berstatus sebagai pasangannya.Raffa menduga-duga.“Aku ambilin ini, mau kan?” tanya perempuan itu pada prianya, sambil meletakkan makanannya ke meja, “katanya menu ini yang paling rekomended di sini.” “Ah iya, makasih, Honey ...” si pria duduk di depan perempuan yang mirip Salwa tersebut.Raffa menunduk sedih. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyamakan pemilik wajah tersebut. Menatapnya lamat-lamat. Yang ternyata sama saja. Ya Tuhan, siapa gerangan wanita itu?Raffa mencuri-curi pandang kepada wanita itu selama beberapa puluh menit lamanya. Dia sampai mengabaikan anaknya yang wara-wiri berceloteh. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Laki-laki yang berstatus pasangannya tersebut meninggalkan wanita itu sendirian.“Permisi, maaf ... apa kamu punya seorang kembaran?” tanya Raffa to the point.“Kembaran?” tanya-nya heran, “nggak ada, ak
“Waalaikumsalam ...” jawab Raffa akhirnya setelah terdiam beberapa saat.“Ini orang yang tadi siang ngasih nomer ke aku ‘kan? Atau aku salah sambung?”“Engga, kamu nggak salah sambung. Ini saya, orang yang tadi siang ngasih nomer ke kamu. Maaf kalau saya mengganggu waktumu.”“It's ok, no problem. Tapi apa maksudmu ngeliatin aku tadi pagi? Ada yang aneh sama aku? Bikin pikiran aja.”“Ya, apa lagi saya. Bisa kita bicara berdua? Mungkin akan lebih enak kalau kita berbicara langsung.”Tapi lantaran merasa tidak enak, Raffa langsung melanjutkan ucapannya, “Maaf kalau permintaanku terlalu merepotkan. Tapi sungguh, saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya meluruskan apa yang menjadi ganjalan saya.”“Baiklah, memangnya kamu ada di mana sekarang?”“Saya masih ada di Hotel Regatta. Tempat kamu makan bersama laki-laki tadi siang.”“Baiklah, saya akan luangkan waktu besok sore.”“Maaf sekali lagi, tapi saya besok pagi sudah harus pergi ke daerah lain. Apa tidak bisa malam ini saja?”“Duhh, gimana ya?”
Niat ingin kembali dalam waktu cepat kini Cilla urungkan. Sebab ia tergerak untuk lebih dulu menolong Pak Jo yang jatuh terkapar pingsan di lantai.Beruntung ia mempunyai banyak pengalaman cara membangunkan orang pingsan. Maklumi saja dia termasuk seorang tenaga medis. Raffa membantu Pak Jo memudahkan beliau menenggak air mineral.“Sudah jauh lebih baik Pak?”“Alhamdulillah ...” tapi beliau tak mau memusatkan pandangannya kepada wanita yang dianggapnya hantu. Beliau terus menunduk seraya memejamkan mata.“Pak Jo ..” panggil Raffa pelan.“Apa salah saya sama almarhumah, Pak Raffa? Tolong sampaikan ke istri Pak Raffa supaya beliau memaafkan saya. Supaya beliau tak mengikuti saya. tolong Pak Raffa, saya ingin hidup tenang ...” katanya terdengar lucu.“Benar dugaan saya. Pak Jo mengira Cilla adalah Salwa ...” Raffa terkekeh.“Dia bukan Salwa Pak Jo, dia namanya Priscilla. Memang wajahnya sangat mirip. Tapi percayalah. Priscilla bukanlah Salwa. Mereka adalah dua orang yang berbeda.“Salwa
Priscilla.Pukul tujuh pagi lewat beberapa menit. Priscilla baru saja meletakkan tasnya di lemari penyimpanan setelah sebelumnya menempelkan kartunya ke dalam mesin absen. Dan dikuti oleh beberapa temannya yang lain.Ini hari rabu, daftar pasien lumayan padat meskipun tak sepadat hari-hari biasanya. Hampir semua teman-temannya sudah datang dan absen seperti dirinya. Sama-sama sedang bersiap-siap melepas dobel pakaian yang mereka kenakan. Berganti dengan seragam hijau khas rumah sakit itu.Siap dengan seragam, masker plus hand sanitizer, Cilla masuk ke dalam ruangan Gymnasium. Bersamaan dengan salah satu temannya, yang bernama Amelia.“Ini benar-benar gila, gue makan kebanyakan dan sekarang lagi ngantuk. Ngantuk banget,” gumam Amelia kepada Priscilla.“Kamu ngantuk bukan banyak makan, tapi kebanyakan begadang. Maklumlah. Kamu ‘kan ada suami.”Ucapan Cilla sontak membuat muka Amel memerah. Buka kartu saja.“Makanya, kamu buruan nikah!” celetuk Amelia.Glekk. Cilla menelan ludahnya susah
Raffa baru saja melaksanakan empat rakaat pagi setelah terbit matahari. Tangannya melipat sajadah tempatnya bersujud memasrahkan diri. Lalu menaruhnya ke tempat yang tersedia. Ia menghampiri tempat favoritnya yaitu perpustakaan besar, yang tingginya lebih dari tubuhnya. Tatapannya mengarah ke atas. Melihat banyaknya kitab-kitab yang berderet rapi. Yang telah ia pelajari semua tanpa terlewat. Mula-mula dari Raffa kecil sampai ia menimba ilmu di Yaman, hingga sampai sekarang ini.Bila ada yang bertanya seberapa pentingnya buku-buku itu dalam hidupnya, Raffa bahkan rela tak mempunyai apa-apa dibandingkan harus kehilangan buku-bukunya. Bisa di katakan buku-bukunya adalah harta terbesarnya di dalam hidup.Tangan itu mengambil salah satu dari mereka. Tebal bersampul hijau dan sisi-sisinya bertuliskan arab dengan tinta warna keemasan. Namun ia terlebih dahulu meniup sampulnya sebelum ia membuka lembar buku.“Fuhh!”Sampai berdebu tebal seperti itu. Biasanya, Salwa yang rajin membersihkanny
“Hallo ...”Terdengar suara Priscilla dari seberang.“Assalamualaikum, Cilla.”“Ah iya, maaf Ustaz.Sampai lupa nggak ngucapin salam dulu. Emm Waalaikumsalam...”“Ada apa ya, Cil?”“Aku ... aku mau bicara. Apa kamu sedang sibuk?”“Insya Allah nggak kalau sekarang,” jawab Raffa pelan.“Aku dah nanya sama Mami aku, tapi mami aku. Tapi Mami aku keliatan nggak nyaman saat aku tanyain hal itu. Beliau justru malah mengalihkan pembicaraan.”“Apa beliau terlihat gugup?”“Ya. Banget. Aku juga nggak tau gimana caranya supaya Mami bersikap tenang dan mau terbuka soal itu. Karena aku yakin, dari gesture tubuhnya, beliau nggak jujur. keliatan banget ...”Mungkin bisa saja mami Priscill mnyembunyikannya karena takut kehilangan, pikir Raffa.“Sepertinya kita butuh bantuan orang lain untuk menyelidikinya.”“Kalau Papi, sudah kamu tanyakan?” tanya Raffa selanjutnya.“Belum, soalnya Papi pulangnya malam terus. Nggak mungkin 'kan, aku bertanya sama beliau dalam keadaan capek."Tapi nunggu sampai Papi ngga
Raffa dan Pak Jo melanjutkan perjalanan ke rumah. Meski masih padat, namun tidak sepadat satu jam yang lalu.Keduanya sedang berbincang mengenai kedua wanita tadi. Juga di iringi tawa di sela-sela perbincangan mereka. Seru sekali. Kalau di pikir-pikir, semakin aneh saja dunia jaman sekarang, yang di mana perempuan tak lagi merasakan malu. Padahal hakikatnya perempuan haruslah mempunyai rasa malu. Mampu menjaga diri dan menjaga pandangan dari laki-laki lain yang bukan muhamnya.Sangat ekstrem sekali. Seorang ibu, malah menawarkan anaknya sendiri kepada orang tak di kenal.Namun mungkin masih lebih baik. Sebab, wanita paruh baya itu menawarkan anak perempuannya kepada orang yang tepat. Bayangkan bila wanita paruh baya itu menawarkan anaknya kepada laki-laki yang banyak duitnya. Tapi hidungnya belang dan perutnya buncit. Hiiiiyyy. Ngeri sekali.“Jadi Pak Raffa nggak mau?” ujar Pak Jo sambil terkekeh.“Saya belum siap menikah lagi. Apalagi sama orang nggak dikenal. Buntut saya udah dua,