Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
“Anak haram, anak haram, anak haram, anak haram .…”Segerombolan anak-anak mengaji masjid An Nur sedang membully salah satu teman mereka. “Anak haram, anak haram, anak haram, anak haram.” “Huaaaa Mamaaa .…” Zikra menangis kencang. Gestur tubuhnya menunjukkan ketakutan. Anak laki-laki berusia lima tahun itu berjalan terseok-seok. Bahkan ada yang berani melemparinya dengan batu-batu kecil. “Mamaaa .…” “Anak haram tidak boleh ngaji di sini!” seru salah satu temannya yang lain dan yang lainnya. “Iya pergi sana!” “Anak haram, anak haram, anak haram.” Zikra berjongkok, menelungkupkan tangannya menutupi wajahnya. Dia menangis pilu memanggil-manggil mamanya. “Zikra!” pekik perempuan bercadar yang berstatus mamanya tersebut. Dia lari tergopoh-gopoh pada saat melihat anaknya berjongkok menangis pilu di pinggir jalan dekat masjid tempatnya mengaji. Segerombolan anak-anak itu pun pergi meninggalkan tempat itu dengan serentak ketika melihat Salwa menyusul anaknya. “Maafin Mama telat jemp
Flashback enam tahun lalu. Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, salah satu dari beberapa wanita malam itu masih setia menghirup asap kenikmatan di sebuah taman yang terletak di gerbang ibukota. Menunggu pria berdompet tebal yang sudah menghubunginya beberapa menit yang lalu. Harap-harap cemas menunggu pria itu datang. Berdiri gelisah tak tenang. Sorot matanya selalu menyapu bersih sekitar. Memastikan bahwa tak ada bahaya yang mengancam.Tak jarang, penggerebekan oleh Satpol PP dilakukan. Karena menurut media informasi. Keberadaan mereka mengganggu kenyamanan ketertiban umum. Selain taman ini berada di tepi jalan utama, tempat ini juga protokol kebanggaan masyarakat. Sekaligus dekat dengan pemukiman warga. Yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada anak-anak. “Jadi dateng nggak sih orang itu?” tanya Salwa kepada Jihan, teman di sebelahnya. Namun yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Juga tengah sibuk dengan batang rokoknya sendiri. “Kalau nggak dateng, adik gue nggak bis
Hari-hari terus berlalu. Malam terus berganti. Harapan menjadi impian dan masa lalu menjadi kenangan. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik adalah perjuangan. Setiap waktu adalah menerjang langkah menghantam rasa pilu. Salwa meninggalkan masa lalu untuk ia raih dengan sabar atas takdir hidupnya. “Ya ampun ini gimana pulangnya kalau ujan begini?” gumamnya. Dia menengadah ke langit dan merasakan tetes-tetes di tangannya. Baru saja Salwa turun dari bus Way. Perjalanan dari hotel ke halte dekat rumahnya. Tapi sepertinya perjalanannya terhenti cukup lama disini karena terhalang oleh hujan yang cukup deras.Menghela nafas dalam beberapa kali, sudah dua puluh lima menit lamanya Salwa menunggu. Entah sampai kapan hujan mereda. Sementara tubuhnya sudah teramat lelah. Kembali duduk, Salwa melamun memikirkan bagaimana caranya pulang. “Malam-malam sendiri disini?” Salwa pun berjingkat, menoleh ke arah samping tempat duduk yang tiba-tiba telah di duduki oleh seorang pemuda berusia
Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya. Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. “Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-b
“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be
“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t