Home / Romansa / Dosa Dibalik Cadar / DDC 5: Kepergian sammy+Melibatkan Perasaan

Share

DDC 5: Kepergian sammy+Melibatkan Perasaan

“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT.

“Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.”

“Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.”

“Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut.

“Memangnya kakaknya lagi ada di mana?”

“Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain.

“Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi.

Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy berbicara, seolah-olah menganggapnya masih ada. Sammy dimakamkan di samping ibunya. Dan kini Salwa berada ditengah-tengah orang yang sangat begitu dicintainya.

Apakah ini termasuk jawaban Tuhan karena mengeluh capek karena sudah dititipi adik seperti ini?

Salwa tidak tahu bahwa perkataannya kini menjadi nyata. Tapi kenapa pada saat Tuhan mengambilnya kenapa Salwa malah justru merasa kehilangan? Seandainyawaktu dapat diulang, ia takkan pernah mengatakan hal itu. Seandainya ia tahu kapan Sammy akan pergi, mungkin ia takkan marah Sammy menghamburkan barang-barang, memporak-porandakan rumahnya. Ya, ia mungkin akan membiarkan Sammy berbuat sesuka hati.

“Samm… maafin kakak, ya. Bahkan ketika kamu pergi, kamu masih juga menelan makanan terakhir dari uang yang nggak halal. Maafin kakakSam… tapi kakak janji akan berubah setelah ini.”

Salwa berucap sembari berkali-kali mengusappipinya yang basah, “Memang betul, umur nggak ada yang tau. Dan kamu adalah salah satu contoh itu.”

Hari kemarin, ia masih bisa melihat Sammy, tapi untuk hari esok, ia tak akan pernah melihatnya lagi. “Bisa jadi, besok giliran kami yang masih hidup.”

“Maafin kakak Sam, karena nggak sempat bahagiain kamu. Tapi kakak sayang kamu Sam, kakak sayang kamu. Jangan benci kakak Sam ….”

Salwa kecup nisan yang bertuliskan nama adiknya tersebut penuh arti. Terlebih dahulu ia berpamit di pusara ibunya hingga akhirnya ia mencukupkan diri lalu perlahan melangkahkan kaki. Kembali pulang.

** *

  

Berteman dengan sepi. Itu yang dirasakan Salwa kini. Berulang kali ia menerka bahwa ini semua yang terjadi hanyalah mimpi. Namun ketika ia mendapati kamar Sammy yang kosong, ia kembali menelan kekecewaan.

Membuatnya mau tak mau harus mempercayai bahwa semua yang terjadi adalah nyata dan satu-satunya jalan adalah mengikhlaskan.

Perjalanan hidup memang tak bisa ditebak akan seperti apa akhirnya. Dan mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Salwa agar tak perlu susah-susah lagi banting tulang dengan pekerjaan haramnya.    

  

“Satu atau dua kali lagi setelah hutang-hutangku lunas,” gumamnya pada diri sendiri. Ia ingin berubah menjadi lebih baik. Meskipun ia tahu, perjalanan berhijrah itu cukup terjal dan berliku.

    

Terhitung tujuh hari sudah kepergian Sammy. Gurat-gurat kesedihan masih tergambar jelas di wajah Salwa. Selama itu pula, perempuan yang berusia dua puluh empat tahun itu seperti tak bergerak dari tempat tidurnya selain maka dan minum.

Beruntung, ia mempunyai teman sebaik Jihan yang mendatanginya setiap hari. Membantu membelikannya makanan, membersihkan rumah, terkadang malah mencucikan baju-bajunya. Karena saat ini hanyalah Jihan yang dia miliki. 

   

“Yang sabar ya Sal. Aku tahu ini berat buat kamu, tapi Sammy pasti juga nggak mau kalau kamu terus menerus nangisin dia,” kata Jihan memberikannya semangat.

 

“Kalau kamu sayang sama Sammy, kamu jangan begini. Kamu juga harus menyayangi diri kamu juga. Aku yakin, kamu kuat. Ada aku Sal, kamu jangan merasa sendiri ya?”  

Salwa mengangguk, kemudian keduanya saling berpelukan untuk saling menguatkan. 

    

***

  

“Ini untuk yang terakhir kali Ji, setelah ini hutang-hutangku lunas dan aku memutuskan untuk benar-benar berhenti.” 

 

“Ya, aku dukung apa pun keputusan kamu Sal,” jawab Jihan ia lantas menoleh menatap sahabatnya

 

“Orang itu dah chat kamu mau ketemuan di mana?” 

   

“Udah di hotel X.” 

    

“Yaudah aku pesenin grabcarnya buat kamu.” 

   

“Ok, makasih.” 

  

Setelah taksi online datang Salwa pun datang ke tempat yang sudah dijanjikan. Entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Salwa merasa tak yakin dengan klien-nya sendiri. Ingin rasanya ia menggagalkan pertemuan ini dan kembali ke rumah. Tapi sayang, orang itu sudah membayarnya di muka. 

   

“Ini hotelnya, Mbak,” ucap driver begitu sampai di sana 

   

“Oh iya pak, makasih ya.” 

    

“Sama-sama…” 

    

Salwa masuk ke dalam lobby dan duduk di kursi tunggu. Mengeluarkan ponsel dan menghubungi orang itu untuk mengetahui keberadaannya. 

   

Salwa : Ada di dimana? 

   

? : Di lantai lima. Nomor lima kosong tujuh. 

   

Salwa : Baik saya on the way kesana. 

 

  

Salwa memasuki lift dan menuju ke lantai lima. Setelah sampai di depan kamar di nomor itu, kini Salwa mengetuk pintu. Namun apa yang dilihatnya setelah pintu terbuka?

   

Salwa melihat Raffa di sana.

    

Dalam hatinya memekik. Matanya membulat penuh. Ia sontak menjatuhkan tasnya ke lantai pada saat melihat siapa orang yang berada di depannya saat ini.

Jantungnya berdebar-debar lebih kencang. Meletup-letup seperti akan terlepas dari tempatnya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya terpaku serta otaknya tak lagi dapat berpikir.   

  

Dengan langkah pelan ia mundur satu langkah dari hadapan laki-laki itu, lalu bergegas pergi tanpa menghiraukan tasnya yang terjatuh. Yang ada di pikirannya adalah bisa lari darinya sejauh mungkin.

Malu tak dapat lagi ia hindari, sudah kepalang basah. Tuhan lebih dulu membuka aibnya di depan laki-laki itu sebelum ia mengenal lebih jauh. Atau mungkin memang sudah seharusnya agar laki-laki itu menjauhinya? 

    

Namun apa yang di pikirkannya justru lain terjadi. Laki-laki itu mengejarnya. Sebelum ia memencet tombol lift untuk turun dari lantai itu, tangannya lebih dulu ditarik oleh Raffa. Orang yang ia kenal di halte sekaligus orang yang sudah membayarnya. Ia memekik sebelum akhirnya ia menoleh mendapati wajah Raffa yang dingin. Semburat amarah tergambar jelas di wajahnya. Tapi kenapa dia harus marah? 

    

“Mau kemana kamu Salwa?” suara pria itu terdengar berat. 

    

“Aku bukan Salwa, kamu pasti salah orang!” elaknya. Salwa kehilangan kata-kata. Bodoh bodoh bodoh! 

    

“Kamu pikir aku buta!?” tukas Raffa meninggisatu oktaf. "Kamu pikir aku sudah linglung sehingga dengan mudahnya aku melupakanmu!?" 

 

“Nggak, kamu salah orang!” kekeuh Salwa.

   

“Aku sudah membayarmu. Kamu nggak bisa lepas dariku begitu saja.”   

  

“Aku bisa mengembalikan uangmu, aku janji.” 

    

“Layani aku. Lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!” Raffa juga tetap kekeuh dengan pendiriannya. 

    

“Nggak Raffa! Enggak! Kamu salah orang lepasin!” 

    

“Aku nggak mungkin salah orang!” ucap Raffa masih dengan suara yang meninggi. “Ayo masuk!” 

  

“Ternyata ini pekerjaanmu sesungguhnya. Pantas saja waktu itu kamu pulang malam. Aku nggak sampai berpikir ke sana,” katanya. “Kamu nggak seindah namamu.” ucapan terakhir Raffa yang terakhir membuatnya menangis terseguk-seguk. 

    

Padahal Salwa tak mengenalnya, tapi entah kenapa Salwa seperti telah mengenalnya lebih jauh dari ini. Apakah itu yang dinamakan cinta? 

   

Raffa memungut tas dan menyeretnya masuk ke dalam kamar. 

    

“Layani aku sekarang!” 

 

Namun hingga beberapa puluh menit berlalu, semua itu telah benar-benar terjadi.   

  

***

    

“Coba sekarang jelaskan, kenapa kamu mempunyai pekerjaan seperti ini?” 

 

“Apa hak kamu bertanya seperti itu Raff? Ini urusan pribadiku.” Salwa menjawab pertanyaan Salwa dengan pertanyaan. “Lalu kenapa kamu menghubungi perempuan bayaran? Untuk apa Raff?” 

 

  Rasanya seperti tertampar, kenapa justru malah Salwa mengembalikan pertanyaannya? 

 

  “Jika aku memang tak sebaik yang kamu kira, jika aku tak seindah namaku, lalu bagaimana dengan dirimu?” 

  

“Kita pasti punya alasan sendiri-sendiri bukan?” Namun Raffa justru menatapnya dengan wajah tenang. “Dan aku pernah mengatakannya padamu di halte. Tentang apa yang terjadi denganku.” 

    

Salwa mengangguki ucapannya, “Aku pun sama, karena keadaan yang membuatku jadi seperti ini.” 

 

 "Kita sama-sama dalam posisi terjepit Sal." Raffa tersenyum menatapnya, “Tapi aku memang pernah memohon agar aku bisa dipertemukan lagi denganmu.” 

   

“Apa aku punya salah denganmu?” tanya Salwa balik. 

 

Raffa menggeleng “Nggak ada.” 

   

“Lalu?” 

    

“Kalau boleh jujur, aku memang tertarik denganmu waktu itu tapi, aku lupa menanyakan nomor teleponmu. Itu sebabnya, aku mohon sama yang diatas supaya kita bisa dipertemukan lagi. Tapi aku nggak pernah nyangka kita akan dipertemukan dengan cara seperti ini,” sela Raffa sejenak. “Kamu perempuan pertamaku, Salwa.”   

 

Salwa semakin tidak mengerti. Tapi seolah mengerti apa yang sedang ia pikirkan, Raffa kini justru melayangkan pertanyaan yang sama dengan isi kepalanya. 

   

"Kamu pasti bingung 'kan?" katanya seraya menatapnya intens. “Dan aku sebenarnya terlahir dari keluarga yang religius.” 

  

Ucapan Raffa membuatnya terdiam selama beberapa detik. Berusaha mencerna pengakuan Raffa barusan. 

    

“Kalau kamu bertanya, kenapa aku berani sekali melakukan ini, seperti kataku waktu itu. Ini semua karena pengkhianatan.” 

    

“Aku muak sekali dengan semua ini. Sakit sekali.” Salwa melihat mata laki-laki itu berkaca-kaca karena merasakan nyeri yang luar biasa. “Dan yang paling membuat harga diriku seperti diinjak-injak, kenapa dia harus melakukannya dengan kakakku sendiri?” 

 

 Raffa terus mengeluarkan unek-uneknya. “Bahkan, minggu depan, mereka akan menikah. Aku memang kabur dari rumah karena nggak mau menyaksikannya. Cukup sampai disini.” 

  

Demi untuk menenangkan hatinya, Salwa memeluknya dan mengusap-usap punggungnya. Salwa ikut merasa sedih. Tapi kali ini Salwa akui bahwa ia benar-benar telah melibatkan perasaan. Hal yang paling ia hindari.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status