“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT.
“Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.”“Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.”“Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut.“Memangnya kakaknya lagi ada di mana?”“Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain.“Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi.Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy berbicara, seolah-olah menganggapnya masih ada. Sammy dimakamkan di samping ibunya. Dan kini Salwa berada ditengah-tengah orang yang sangat begitu dicintainya.Apakah ini termasuk jawaban Tuhan karena mengeluh capek karena sudah dititipi adik seperti ini?Salwa tidak tahu bahwa perkataannya kini menjadi nyata. Tapi kenapa pada saat Tuhan mengambilnya kenapa Salwa malah justru merasa kehilangan? Seandainyawaktu dapat diulang, ia takkan pernah mengatakan hal itu. Seandainya ia tahu kapan Sammy akan pergi, mungkin ia takkan marah Sammy menghamburkan barang-barang, memporak-porandakan rumahnya. Ya, ia mungkin akan membiarkan Sammy berbuat sesuka hati.“Samm… maafin kakak, ya. Bahkan ketika kamu pergi, kamu masih juga menelan makanan terakhir dari uang yang nggak halal. Maafin kakakSam… tapi kakak janji akan berubah setelah ini.” Salwa berucap sembari berkali-kali mengusappipinya yang basah, “Memang betul, umur nggak ada yang tau. Dan kamu adalah salah satu contoh itu.”Hari kemarin, ia masih bisa melihat Sammy, tapi untuk hari esok, ia tak akan pernah melihatnya lagi. “Bisa jadi, besok giliran kami yang masih hidup.”“Maafin kakak Sam, karena nggak sempat bahagiain kamu. Tapi kakak sayang kamu Sam, kakak sayang kamu. Jangan benci kakak Sam ….”Salwa kecup nisan yang bertuliskan nama adiknya tersebut penuh arti. Terlebih dahulu ia berpamit di pusara ibunya hingga akhirnya ia mencukupkan diri lalu perlahan melangkahkan kaki. Kembali pulang.** * Berteman dengan sepi. Itu yang dirasakan Salwa kini. Berulang kali ia menerka bahwa ini semua yang terjadi hanyalah mimpi. Namun ketika ia mendapati kamar Sammy yang kosong, ia kembali menelan kekecewaan.Membuatnya mau tak mau harus mempercayai bahwa semua yang terjadi adalah nyata dan satu-satunya jalan adalah mengikhlaskan.Perjalanan hidup memang tak bisa ditebak akan seperti apa akhirnya. Dan mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Salwa agar tak perlu susah-susah lagi banting tulang dengan pekerjaan haramnya. “Satu atau dua kali lagi setelah hutang-hutangku lunas,” gumamnya pada diri sendiri. Ia ingin berubah menjadi lebih baik. Meskipun ia tahu, perjalanan berhijrah itu cukup terjal dan berliku. Terhitung tujuh hari sudah kepergian Sammy. Gurat-gurat kesedihan masih tergambar jelas di wajah Salwa. Selama itu pula, perempuan yang berusia dua puluh empat tahun itu seperti tak bergerak dari tempat tidurnya selain maka dan minum.Beruntung, ia mempunyai teman sebaik Jihan yang mendatanginya setiap hari. Membantu membelikannya makanan, membersihkan rumah, terkadang malah mencucikan baju-bajunya. Karena saat ini hanyalah Jihan yang dia miliki. “Yang sabar ya Sal. Aku tahu ini berat buat kamu, tapi Sammy pasti juga nggak mau kalau kamu terus menerus nangisin dia,” kata Jihan memberikannya semangat. “Kalau kamu sayang sama Sammy, kamu jangan begini. Kamu juga harus menyayangi diri kamu juga. Aku yakin, kamu kuat. Ada aku Sal, kamu jangan merasa sendiri ya?” Salwa mengangguk, kemudian keduanya saling berpelukan untuk saling menguatkan. *** “Ini untuk yang terakhir kali Ji, setelah ini hutang-hutangku lunas dan aku memutuskan untuk benar-benar berhenti.” “Ya, aku dukung apa pun keputusan kamu Sal,” jawab Jihan ia lantas menoleh menatap sahabatnya “Orang itu dah chat kamu mau ketemuan di mana?” “Udah di hotel X.” “Yaudah aku pesenin grabcarnya buat kamu.” “Ok, makasih.” Setelah taksi online datang Salwa pun datang ke tempat yang sudah dijanjikan. Entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Salwa merasa tak yakin dengan klien-nya sendiri. Ingin rasanya ia menggagalkan pertemuan ini dan kembali ke rumah. Tapi sayang, orang itu sudah membayarnya di muka. “Ini hotelnya, Mbak,” ucap driver begitu sampai di sana “Oh iya pak, makasih ya.” “Sama-sama…” Salwa masuk ke dalam lobby dan duduk di kursi tunggu. Mengeluarkan ponsel dan menghubungi orang itu untuk mengetahui keberadaannya. Salwa : Ada di dimana? ? : Di lantai lima. Nomor lima kosong tujuh. Salwa : Baik saya on the way kesana. Salwa memasuki lift dan menuju ke lantai lima. Setelah sampai di depan kamar di nomor itu, kini Salwa mengetuk pintu. Namun apa yang dilihatnya setelah pintu terbuka? Salwa melihat Raffa di sana. Dalam hatinya memekik. Matanya membulat penuh. Ia sontak menjatuhkan tasnya ke lantai pada saat melihat siapa orang yang berada di depannya saat ini.Jantungnya berdebar-debar lebih kencang. Meletup-letup seperti akan terlepas dari tempatnya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya terpaku serta otaknya tak lagi dapat berpikir. Dengan langkah pelan ia mundur satu langkah dari hadapan laki-laki itu, lalu bergegas pergi tanpa menghiraukan tasnya yang terjatuh. Yang ada di pikirannya adalah bisa lari darinya sejauh mungkin.Malu tak dapat lagi ia hindari, sudah kepalang basah. Tuhan lebih dulu membuka aibnya di depan laki-laki itu sebelum ia mengenal lebih jauh. Atau mungkin memang sudah seharusnya agar laki-laki itu menjauhinya? Namun apa yang di pikirkannya justru lain terjadi. Laki-laki itu mengejarnya. Sebelum ia memencet tombol lift untuk turun dari lantai itu, tangannya lebih dulu ditarik oleh Raffa. Orang yang ia kenal di halte sekaligus orang yang sudah membayarnya. Ia memekik sebelum akhirnya ia menoleh mendapati wajah Raffa yang dingin. Semburat amarah tergambar jelas di wajahnya. Tapi kenapa dia harus marah? “Mau kemana kamu Salwa?” suara pria itu terdengar berat. “Aku bukan Salwa, kamu pasti salah orang!” elaknya. Salwa kehilangan kata-kata. Bodoh bodoh bodoh! “Kamu pikir aku buta!?” tukas Raffa meninggisatu oktaf. "Kamu pikir aku sudah linglung sehingga dengan mudahnya aku melupakanmu!?" “Nggak, kamu salah orang!” kekeuh Salwa. “Aku sudah membayarmu. Kamu nggak bisa lepas dariku begitu saja.” “Aku bisa mengembalikan uangmu, aku janji.” “Layani aku. Lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!” Raffa juga tetap kekeuh dengan pendiriannya. “Nggak Raffa! Enggak! Kamu salah orang lepasin!” “Aku nggak mungkin salah orang!” ucap Raffa masih dengan suara yang meninggi. “Ayo masuk!” “Ternyata ini pekerjaanmu sesungguhnya. Pantas saja waktu itu kamu pulang malam. Aku nggak sampai berpikir ke sana,” katanya. “Kamu nggak seindah namamu.” ucapan terakhir Raffa yang terakhir membuatnya menangis terseguk-seguk. Padahal Salwa tak mengenalnya, tapi entah kenapa Salwa seperti telah mengenalnya lebih jauh dari ini. Apakah itu yang dinamakan cinta? Raffa memungut tas dan menyeretnya masuk ke dalam kamar. “Layani aku sekarang!” Namun hingga beberapa puluh menit berlalu, semua itu telah benar-benar terjadi. *** “Coba sekarang jelaskan, kenapa kamu mempunyai pekerjaan seperti ini?” “Apa hak kamu bertanya seperti itu Raff? Ini urusan pribadiku.” Salwa menjawab pertanyaan Salwa dengan pertanyaan. “Lalu kenapa kamu menghubungi perempuan bayaran? Untuk apa Raff?” Rasanya seperti tertampar, kenapa justru malah Salwa mengembalikan pertanyaannya? “Jika aku memang tak sebaik yang kamu kira, jika aku tak seindah namaku, lalu bagaimana dengan dirimu?” “Kita pasti punya alasan sendiri-sendiri bukan?” Namun Raffa justru menatapnya dengan wajah tenang. “Dan aku pernah mengatakannya padamu di halte. Tentang apa yang terjadi denganku.” Salwa mengangguki ucapannya, “Aku pun sama, karena keadaan yang membuatku jadi seperti ini.” "Kita sama-sama dalam posisi terjepit Sal." Raffa tersenyum menatapnya, “Tapi aku memang pernah memohon agar aku bisa dipertemukan lagi denganmu.” “Apa aku punya salah denganmu?” tanya Salwa balik. Raffa menggeleng “Nggak ada.” “Lalu?” “Kalau boleh jujur, aku memang tertarik denganmu waktu itu tapi, aku lupa menanyakan nomor teleponmu. Itu sebabnya, aku mohon sama yang diatas supaya kita bisa dipertemukan lagi. Tapi aku nggak pernah nyangka kita akan dipertemukan dengan cara seperti ini,” sela Raffa sejenak. “Kamu perempuan pertamaku, Salwa.” Salwa semakin tidak mengerti. Tapi seolah mengerti apa yang sedang ia pikirkan, Raffa kini justru melayangkan pertanyaan yang sama dengan isi kepalanya. "Kamu pasti bingung 'kan?" katanya seraya menatapnya intens. “Dan aku sebenarnya terlahir dari keluarga yang religius.” Ucapan Raffa membuatnya terdiam selama beberapa detik. Berusaha mencerna pengakuan Raffa barusan. “Kalau kamu bertanya, kenapa aku berani sekali melakukan ini, seperti kataku waktu itu. Ini semua karena pengkhianatan.” “Aku muak sekali dengan semua ini. Sakit sekali.” Salwa melihat mata laki-laki itu berkaca-kaca karena merasakan nyeri yang luar biasa. “Dan yang paling membuat harga diriku seperti diinjak-injak, kenapa dia harus melakukannya dengan kakakku sendiri?” Raffa terus mengeluarkan unek-uneknya. “Bahkan, minggu depan, mereka akan menikah. Aku memang kabur dari rumah karena nggak mau menyaksikannya. Cukup sampai disini.” Demi untuk menenangkan hatinya, Salwa memeluknya dan mengusap-usap punggungnya. Salwa ikut merasa sedih. Tapi kali ini Salwa akui bahwa ia benar-benar telah melibatkan perasaan. Hal yang paling ia hindari.“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t
Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru
Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya
Raut iba terpancar jelas di raut wajah Ummi Nia. Menyaksikannya sendiri bagaimana jalan hidup Salwa selama ini membuatnya tak kuasa menahan tangis.Namun beliau berusaha menyembunyikannya. Bila Salwa saja sudah terlihat tegar, kenapa dirinya tidak? Bagi Salwa, mungkin ini adalah titik terendah di dalam hidupnya yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.Entah dosa apakah yang dilakukan orang tuanya dulu sehingga ujian hidup seperti tiada henti-hentinya melukai diri.Mungkinkah ini imbas dari perbuatan mereka yang akhirnya bisa menurun kepada dirinya? Pikirnya menerka-nerka. Keesokan harinya keadaan Salwa masih tetap sama seperti kemarin, mual, tidak nafsu makan dan sulit terpejam di malam hari.Sampai hari-hari ini mungkin masih aman karena kehamilannya belum kentara. Kabar dirinya tengah berbadan dua belum sampai tembus sampai ke masyarakat.Tapi mungkin dua atau tiga bulan lagi pasti hal ini menjadi gunjingan dan berita yang teramat heboh. Salwa membuka lemari pakaiannya. Niatnya,
Masih berada di tempat duduk yang tadi. Salwa mencoba menghembuskan nafasnya dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Berulang kali Salwa melakukannya agar suasana hati menjadi lebih tenang. Ia menyadari satu hal, sampai dirinya menangis darah sekalipun, tersebut tidak akan pernah bisa mengembalikan kenyataan. Raffa sudah berstatus suami Jihan, sahabatnya. Mereka sudah terikat janji sehidup semati dan tak mungkin terpisahkan.Mungkin bila suatu saat nanti dirinya dan Raffa bertemu dalam satu latar yang sama, cukuplah bersikap tak saling mengenal. Itu adalah opsi yang paling terbaik. Dan mungkin Salwa akan menyembunyikan siapa ayah bayi yang sedang ia kandung. Karena bisa jadi, pengakuan ini hanya akan menimbulkan kekacauan banyak orang.Salwa berjanji akan membesarkan anak ini dan menyayangi anak ini berkali-kali lipat dan membuatnya terbiasa menjalani hari-hari tanpasosok seorang ayah. Agar dia takkan pernah menanyakan ayahnya. Terhitung dua puluh menit lamanya Salwa terdiam
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita