Home / Romansa / Dosa Dibalik Cadar / DDC 4: Tertangkap

Share

DDC 4: Tertangkap

Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya.  

   

Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.

 

“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."

  

Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. 

    

Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. 

Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. 

   

“Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-besok, sebelum kakak pergi, kakak usahain mentingin kamu dulu.” 

  

Sammy hanya merespon dengan menepuk-nepuk tangannya dan bergumam tidak jelas. Sammy memang tidak bisa berbicara. 

 

 “Kamu tidur lagi ya Sam, ini masih terlalu pagi.”   

    

Salwa melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Salwa yakin, dalam diamnya Sammy mengerti ucapannya. Sehingga tak tunggu lama, Sammy merebahkan dirinya di sofa lalu mencoba memejamkan mata. 

   

Giliran dirinya yang juga sudah teramat lelah, ikut merebahkan diri di kamar. Ia sengaja tak menutup pintunya agar masih bisa mendengar gerak-gerik Sammy sambil mengawasinya. 

   

*** 

    

“Sal, aku duluan ya. Udah dijemput,” ucap Jihan. Di depannya sudah ada mobil putih yang baru saja berhenti. 

   

“Iya Ji, kamu hati-hati ya.” 

   

“Oke.” 

    

Salwa pun pergi meninggalkan dirinya dengan banyak teman-teman yang lain yang sedang menghiasi taman malam. Seperti biasa, menunggu pria berdompet tebal datang. 

    

Awalnya, Salwa tak berpikiran macam-macam semua terlihat baik-baik saja. Namun beberapa detik kemudian, Salwa tak menyadari kedatangan Satpol-PP yang bergerak cepat menggerebek sejumlah orang-orang di sekitarnya. 

   

“Woy, kaburr!” 

   

“Ada satpol!” 

   

“Semuanya lari?!” 

    

“Kabur!!” Sahut suara teman-teman, mengingatkan yang lain agar segera meninggalkan tempat itu. 

 

  Semua terlihat berhamburan, kelimpungan dan panik tak terkecuali dirinya. Banyak juga yang sudah tertangkap basah da ndimasukkan ke dalam mobil untuk di gelandang ke kantor Satpol PP. 

 

  

Salwa berlari secepat mungkin hingga masuk ke gang-gang kecil untuk menghindari penangkapan. Terus memacu langkah kakinya sejauh mungkin, tak peduli sudah sampai di mana. 

   

“Huft…” saat merasa lelah, Salwa berhenti di lorong gang. Merasa aman, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Mengatur nafas yang terdengar, Salwa memejamkan mata.      

“Jangan sampai aku tertangkap, Ya Tuhan … gimana nanti nasib Sammy.”   

 

Namun nahas, pada saat dirinya lengah, tiba-tiba dia sudah diapit oleh kedua laki-laki berseragam. 

   

“Mau ke mana kamu, Mbak?” 

 

Sontak Salwa merasa syok. Dia hanya berharap agar nanti ia cepat di pulangkan tanpa alasan yang memberatkan.

    

*** 

 

Tak pernah menyangka bahwa Salwa berada di tempat seperti ini, yaitu terjaring razia oleh Satpol-PP.

Ini adalah pengalaman terburuknya menjadi bahan tontonan warga setempat dan juga disorot oleh kamera.

Yang mungkin keesokan harinya akan disebar melalui media televisi atau jejak digital. Benar-benarteramat memalukan. 

    

Bersikap kooperatif adalah satu-satunya jalan agar ia bisa cepat keluar dari kantor ini. Dan merupakan termasuk proses yang cepat, karena saat ini, Salwa langsung dipindahkan ke markas untuk kemudian didata dan dimintai keterangan. 

    

“Baik, semuanya sudah selesai, terima kasih karena sudah bersikap kooperatif. Ini memudahkan kami untuk melakukan pendataan.”   

  

“Kalau begitu, kamu sudah diperbolehkan pulang,” ucap petugas yang berjenis kelamin laki-laki itu. 

   

“Terima kasih, Pak,” kata Salwa amat bersyukur. 

  

“Sama-sama, Bu.”   

  

Perasaan lega saat Salwa bisa pulang ke rumah, meskipun hari sudah berganti, matahari sudah menyingsing ke atas, pertanda hari sudah cukup siang. 

    

Salwa menghentikan angkutan umum untuk mengantarkannya sampai ke depan gapura gang masuk tempat tinggalnya.  

    

“Oh jadi ini yang semalam kena razia,” bisik ibu-ibu yang sedang melintas. 

    

“Iya bu-ibu, ih nggak tahu malu ya, kok masih aja berkeliaran.” 

 

  

“Orang tuh masuk TV karena prestasi, ini masuk TV karena terjaring razia prostitusi.” 

 

  

Rupanya dugaannya benar, pasti video penggerebekan semalam sudah tersebar luas ke mana-mana.

Sial. 

   

“Malu-maluin kampung kita aja.” 

   

“Iya, malu-maluin!” 

    

Banyak yang sedang mencibirnya ketika ia melewati perkampungan. Menghakimi pekerjaannya yang hina seolah-olah merekalah yang paling benar. Salwa hanya mampu membatin dalam diam.  

    

Semua tahu, pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang menjijikkan. Tapi sebagian dari mereka hanya bisa menilai dari sisi gelapnya saja.

Hanya bisa mencela terus-terusan bahwa pekerjaannya kotor. Tapi tidak ada niat untuk membantu ataupun mengulurkan tangan.

Padahal jelas mereka tahu seperti apa kehidupan Salwa yang serba kekurangan itu. Sebaliknya, mereka malah menjauhi seperti melihat layaknya sebuah bahaya yang mengancam. 

    

Setiap orang mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Kita sering kali menjadi hakim dan jaksa kesalahan orang lain, tanpa mau mengetahui penyebab ia melakukan itu.  

    

Salwa terus berjalan dengan menutup telinga kanan kirinya. Hingga sampai ia di depan rumah, tiba-tiba ia dikagetkan dengan beberapa orang yang sudah berkumpul di depan rumahnya. 

    

“Maaf Pak, ini ada apa ya?” tanya Salwa. Dilihatnya, pintu rumah sudah rusak tergeletak di tanah karena didobrak paksa. Ya Tuhan, ada apa ini? Batinnya tak tenang. 

   

“Yang sabar ya, mbak Salwa,” ucap pak RT setempat. 

 

“Seharusnya, kalau punya adik seperti itu jangan ditinggal terlalu lama, Mbak,” sahut yang lain. 

  

Salwa semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya mampuberdiri dengan raut wajah kebingungan. Berusaha mencerna apa yang sedang mereka sampaikan.

Tapi entah mengapa otaknya tak mampu memproses apa yang mereka maksud? Kenapa mereka tidak menjelaskannya secara gamblang? 

   

“Sekali lagi yang sabar mbak Salwa,” ucap Pak RT. 

    

“Maaf kami menemukan dia dalam keadaan sudah—”   

  

“Apa sih, kalian!” selak Salwa cepat, “ngomong itu yang jelas.”   

  

“Kami sempat mendengar Sammy teriak-teriak, makanya kami curiga. Pak Dahlan yang mendengarnya pertama kali,” kata Pak RT menjelaskan. “Setelah mengumpulkan orang kami datang kesini, tapi karena pintu dikunci, kami terpaksa mendobraknya. Tapi nahas, nyawa—”  

 

  

“Sammy!” pekik Salwa. Ia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihatnya di depan mata kini menjadi tragedi yang paling dahsyat dalam hidupnya. Meruntuhkan seluruh harapan dan impian. Membuat hatinya kosong melompong dalam sekejap. Bahwa memang ia harus menerima, hari esok, ia sudah benar-benar sebatang kara. Ia melihat Sammy terbaring menghadap utara dengan tubuh yang sudah ditutup kain jarik miliknya. 

   

“Aaaaaaaaaaahhhhhh Sammyyyyyy,” raungnya begitu kencang melihat sosok yang telah tiada tersebut. Sungguh memilukan. Sakit tak terperi.

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status