Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya.
Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini. “Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa." Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. “Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-besok, sebelum kakak pergi, kakak usahain mentingin kamu dulu.” Sammy hanya merespon dengan menepuk-nepuk tangannya dan bergumam tidak jelas. Sammy memang tidak bisa berbicara. “Kamu tidur lagi ya Sam, ini masih terlalu pagi.” Salwa melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Salwa yakin, dalam diamnya Sammy mengerti ucapannya. Sehingga tak tunggu lama, Sammy merebahkan dirinya di sofa lalu mencoba memejamkan mata. Giliran dirinya yang juga sudah teramat lelah, ikut merebahkan diri di kamar. Ia sengaja tak menutup pintunya agar masih bisa mendengar gerak-gerik Sammy sambil mengawasinya. *** “Sal, aku duluan ya. Udah dijemput,” ucap Jihan. Di depannya sudah ada mobil putih yang baru saja berhenti. “Iya Ji, kamu hati-hati ya.” “Oke.” Salwa pun pergi meninggalkan dirinya dengan banyak teman-teman yang lain yang sedang menghiasi taman malam. Seperti biasa, menunggu pria berdompet tebal datang. Awalnya, Salwa tak berpikiran macam-macam semua terlihat baik-baik saja. Namun beberapa detik kemudian, Salwa tak menyadari kedatangan Satpol-PP yang bergerak cepat menggerebek sejumlah orang-orang di sekitarnya. “Woy, kaburr!” “Ada satpol!” “Semuanya lari?!” “Kabur!!” Sahut suara teman-teman, mengingatkan yang lain agar segera meninggalkan tempat itu. Semua terlihat berhamburan, kelimpungan dan panik tak terkecuali dirinya. Banyak juga yang sudah tertangkap basah da ndimasukkan ke dalam mobil untuk di gelandang ke kantor Satpol PP. Salwa berlari secepat mungkin hingga masuk ke gang-gang kecil untuk menghindari penangkapan. Terus memacu langkah kakinya sejauh mungkin, tak peduli sudah sampai di mana. “Huft…” saat merasa lelah, Salwa berhenti di lorong gang. Merasa aman, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Mengatur nafas yang terdengar, Salwa memejamkan mata. “Jangan sampai aku tertangkap, Ya Tuhan … gimana nanti nasib Sammy.” Namun nahas, pada saat dirinya lengah, tiba-tiba dia sudah diapit oleh kedua laki-laki berseragam. “Mau ke mana kamu, Mbak?” Sontak Salwa merasa syok. Dia hanya berharap agar nanti ia cepat di pulangkan tanpa alasan yang memberatkan. *** Tak pernah menyangka bahwa Salwa berada di tempat seperti ini, yaitu terjaring razia oleh Satpol-PP.Ini adalah pengalaman terburuknya menjadi bahan tontonan warga setempat dan juga disorot oleh kamera.Yang mungkin keesokan harinya akan disebar melalui media televisi atau jejak digital. Benar-benarteramat memalukan. Bersikap kooperatif adalah satu-satunya jalan agar ia bisa cepat keluar dari kantor ini. Dan merupakan termasuk proses yang cepat, karena saat ini, Salwa langsung dipindahkan ke markas untuk kemudian didata dan dimintai keterangan. “Baik, semuanya sudah selesai, terima kasih karena sudah bersikap kooperatif. Ini memudahkan kami untuk melakukan pendataan.” “Kalau begitu, kamu sudah diperbolehkan pulang,” ucap petugas yang berjenis kelamin laki-laki itu. “Terima kasih, Pak,” kata Salwa amat bersyukur. “Sama-sama, Bu.” Perasaan lega saat Salwa bisa pulang ke rumah, meskipun hari sudah berganti, matahari sudah menyingsing ke atas, pertanda hari sudah cukup siang. Salwa menghentikan angkutan umum untuk mengantarkannya sampai ke depan gapura gang masuk tempat tinggalnya. “Oh jadi ini yang semalam kena razia,” bisik ibu-ibu yang sedang melintas. “Iya bu-ibu, ih nggak tahu malu ya, kok masih aja berkeliaran.” “Orang tuh masuk TV karena prestasi, ini masuk TV karena terjaring razia prostitusi.” Rupanya dugaannya benar, pasti video penggerebekan semalam sudah tersebar luas ke mana-mana.Sial. “Malu-maluin kampung kita aja.” “Iya, malu-maluin!” Banyak yang sedang mencibirnya ketika ia melewati perkampungan. Menghakimi pekerjaannya yang hina seolah-olah merekalah yang paling benar. Salwa hanya mampu membatin dalam diam. Semua tahu, pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang menjijikkan. Tapi sebagian dari mereka hanya bisa menilai dari sisi gelapnya saja.Hanya bisa mencela terus-terusan bahwa pekerjaannya kotor. Tapi tidak ada niat untuk membantu ataupun mengulurkan tangan.Padahal jelas mereka tahu seperti apa kehidupan Salwa yang serba kekurangan itu. Sebaliknya, mereka malah menjauhi seperti melihat layaknya sebuah bahaya yang mengancam. Setiap orang mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Kita sering kali menjadi hakim dan jaksa kesalahan orang lain, tanpa mau mengetahui penyebab ia melakukan itu. Salwa terus berjalan dengan menutup telinga kanan kirinya. Hingga sampai ia di depan rumah, tiba-tiba ia dikagetkan dengan beberapa orang yang sudah berkumpul di depan rumahnya. “Maaf Pak, ini ada apa ya?” tanya Salwa. Dilihatnya, pintu rumah sudah rusak tergeletak di tanah karena didobrak paksa. Ya Tuhan, ada apa ini? Batinnya tak tenang. “Yang sabar ya, mbak Salwa,” ucap pak RT setempat. “Seharusnya, kalau punya adik seperti itu jangan ditinggal terlalu lama, Mbak,” sahut yang lain. Salwa semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya mampuberdiri dengan raut wajah kebingungan. Berusaha mencerna apa yang sedang mereka sampaikan.Tapi entah mengapa otaknya tak mampu memproses apa yang mereka maksud? Kenapa mereka tidak menjelaskannya secara gamblang? “Sekali lagi yang sabar mbak Salwa,” ucap Pak RT. “Maaf kami menemukan dia dalam keadaan sudah—” “Apa sih, kalian!” selak Salwa cepat, “ngomong itu yang jelas.” “Kami sempat mendengar Sammy teriak-teriak, makanya kami curiga. Pak Dahlan yang mendengarnya pertama kali,” kata Pak RT menjelaskan. “Setelah mengumpulkan orang kami datang kesini, tapi karena pintu dikunci, kami terpaksa mendobraknya. Tapi nahas, nyawa—” “Sammy!” pekik Salwa. Ia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihatnya di depan mata kini menjadi tragedi yang paling dahsyat dalam hidupnya. Meruntuhkan seluruh harapan dan impian. Membuat hatinya kosong melompong dalam sekejap. Bahwa memang ia harus menerima, hari esok, ia sudah benar-benar sebatang kara. Ia melihat Sammy terbaring menghadap utara dengan tubuh yang sudah ditutup kain jarik miliknya. “Aaaaaaaaaaahhhhhh Sammyyyyyy,” raungnya begitu kencang melihat sosok yang telah tiada tersebut. Sungguh memilukan. Sakit tak terperi.“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be
“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t
Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru
Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya
Raut iba terpancar jelas di raut wajah Ummi Nia. Menyaksikannya sendiri bagaimana jalan hidup Salwa selama ini membuatnya tak kuasa menahan tangis.Namun beliau berusaha menyembunyikannya. Bila Salwa saja sudah terlihat tegar, kenapa dirinya tidak? Bagi Salwa, mungkin ini adalah titik terendah di dalam hidupnya yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.Entah dosa apakah yang dilakukan orang tuanya dulu sehingga ujian hidup seperti tiada henti-hentinya melukai diri.Mungkinkah ini imbas dari perbuatan mereka yang akhirnya bisa menurun kepada dirinya? Pikirnya menerka-nerka. Keesokan harinya keadaan Salwa masih tetap sama seperti kemarin, mual, tidak nafsu makan dan sulit terpejam di malam hari.Sampai hari-hari ini mungkin masih aman karena kehamilannya belum kentara. Kabar dirinya tengah berbadan dua belum sampai tembus sampai ke masyarakat.Tapi mungkin dua atau tiga bulan lagi pasti hal ini menjadi gunjingan dan berita yang teramat heboh. Salwa membuka lemari pakaiannya. Niatnya,