Beranda / Romansa / Dosa Dibalik Cadar / DDC 4: Tertangkap

Share

DDC 4: Tertangkap

Penulis: Ana_miauw
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-18 11:49:38

Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya.  

   

Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.

 

“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."

  

Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. 

    

Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. 

Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. 

   

“Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-besok, sebelum kakak pergi, kakak usahain mentingin kamu dulu.” 

  

Sammy hanya merespon dengan menepuk-nepuk tangannya dan bergumam tidak jelas. Sammy memang tidak bisa berbicara. 

 

 “Kamu tidur lagi ya Sam, ini masih terlalu pagi.”   

    

Salwa melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Salwa yakin, dalam diamnya Sammy mengerti ucapannya. Sehingga tak tunggu lama, Sammy merebahkan dirinya di sofa lalu mencoba memejamkan mata. 

   

Giliran dirinya yang juga sudah teramat lelah, ikut merebahkan diri di kamar. Ia sengaja tak menutup pintunya agar masih bisa mendengar gerak-gerik Sammy sambil mengawasinya. 

   

*** 

    

“Sal, aku duluan ya. Udah dijemput,” ucap Jihan. Di depannya sudah ada mobil putih yang baru saja berhenti. 

   

“Iya Ji, kamu hati-hati ya.” 

   

“Oke.” 

    

Salwa pun pergi meninggalkan dirinya dengan banyak teman-teman yang lain yang sedang menghiasi taman malam. Seperti biasa, menunggu pria berdompet tebal datang. 

    

Awalnya, Salwa tak berpikiran macam-macam semua terlihat baik-baik saja. Namun beberapa detik kemudian, Salwa tak menyadari kedatangan Satpol-PP yang bergerak cepat menggerebek sejumlah orang-orang di sekitarnya. 

   

“Woy, kaburr!” 

   

“Ada satpol!” 

   

“Semuanya lari?!” 

    

“Kabur!!” Sahut suara teman-teman, mengingatkan yang lain agar segera meninggalkan tempat itu. 

 

  Semua terlihat berhamburan, kelimpungan dan panik tak terkecuali dirinya. Banyak juga yang sudah tertangkap basah da ndimasukkan ke dalam mobil untuk di gelandang ke kantor Satpol PP. 

 

  

Salwa berlari secepat mungkin hingga masuk ke gang-gang kecil untuk menghindari penangkapan. Terus memacu langkah kakinya sejauh mungkin, tak peduli sudah sampai di mana. 

   

“Huft…” saat merasa lelah, Salwa berhenti di lorong gang. Merasa aman, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Mengatur nafas yang terdengar, Salwa memejamkan mata.      

“Jangan sampai aku tertangkap, Ya Tuhan … gimana nanti nasib Sammy.”   

 

Namun nahas, pada saat dirinya lengah, tiba-tiba dia sudah diapit oleh kedua laki-laki berseragam. 

   

“Mau ke mana kamu, Mbak?” 

 

Sontak Salwa merasa syok. Dia hanya berharap agar nanti ia cepat di pulangkan tanpa alasan yang memberatkan.

    

*** 

 

Tak pernah menyangka bahwa Salwa berada di tempat seperti ini, yaitu terjaring razia oleh Satpol-PP.

Ini adalah pengalaman terburuknya menjadi bahan tontonan warga setempat dan juga disorot oleh kamera.

Yang mungkin keesokan harinya akan disebar melalui media televisi atau jejak digital. Benar-benarteramat memalukan. 

    

Bersikap kooperatif adalah satu-satunya jalan agar ia bisa cepat keluar dari kantor ini. Dan merupakan termasuk proses yang cepat, karena saat ini, Salwa langsung dipindahkan ke markas untuk kemudian didata dan dimintai keterangan. 

    

“Baik, semuanya sudah selesai, terima kasih karena sudah bersikap kooperatif. Ini memudahkan kami untuk melakukan pendataan.”   

  

“Kalau begitu, kamu sudah diperbolehkan pulang,” ucap petugas yang berjenis kelamin laki-laki itu. 

   

“Terima kasih, Pak,” kata Salwa amat bersyukur. 

  

“Sama-sama, Bu.”   

  

Perasaan lega saat Salwa bisa pulang ke rumah, meskipun hari sudah berganti, matahari sudah menyingsing ke atas, pertanda hari sudah cukup siang. 

    

Salwa menghentikan angkutan umum untuk mengantarkannya sampai ke depan gapura gang masuk tempat tinggalnya.  

    

“Oh jadi ini yang semalam kena razia,” bisik ibu-ibu yang sedang melintas. 

    

“Iya bu-ibu, ih nggak tahu malu ya, kok masih aja berkeliaran.” 

 

  

“Orang tuh masuk TV karena prestasi, ini masuk TV karena terjaring razia prostitusi.” 

 

  

Rupanya dugaannya benar, pasti video penggerebekan semalam sudah tersebar luas ke mana-mana.

Sial. 

   

“Malu-maluin kampung kita aja.” 

   

“Iya, malu-maluin!” 

    

Banyak yang sedang mencibirnya ketika ia melewati perkampungan. Menghakimi pekerjaannya yang hina seolah-olah merekalah yang paling benar. Salwa hanya mampu membatin dalam diam.  

    

Semua tahu, pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang menjijikkan. Tapi sebagian dari mereka hanya bisa menilai dari sisi gelapnya saja.

Hanya bisa mencela terus-terusan bahwa pekerjaannya kotor. Tapi tidak ada niat untuk membantu ataupun mengulurkan tangan.

Padahal jelas mereka tahu seperti apa kehidupan Salwa yang serba kekurangan itu. Sebaliknya, mereka malah menjauhi seperti melihat layaknya sebuah bahaya yang mengancam. 

    

Setiap orang mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Kita sering kali menjadi hakim dan jaksa kesalahan orang lain, tanpa mau mengetahui penyebab ia melakukan itu.  

    

Salwa terus berjalan dengan menutup telinga kanan kirinya. Hingga sampai ia di depan rumah, tiba-tiba ia dikagetkan dengan beberapa orang yang sudah berkumpul di depan rumahnya. 

    

“Maaf Pak, ini ada apa ya?” tanya Salwa. Dilihatnya, pintu rumah sudah rusak tergeletak di tanah karena didobrak paksa. Ya Tuhan, ada apa ini? Batinnya tak tenang. 

   

“Yang sabar ya, mbak Salwa,” ucap pak RT setempat. 

 

“Seharusnya, kalau punya adik seperti itu jangan ditinggal terlalu lama, Mbak,” sahut yang lain. 

  

Salwa semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya mampuberdiri dengan raut wajah kebingungan. Berusaha mencerna apa yang sedang mereka sampaikan.

Tapi entah mengapa otaknya tak mampu memproses apa yang mereka maksud? Kenapa mereka tidak menjelaskannya secara gamblang? 

   

“Sekali lagi yang sabar mbak Salwa,” ucap Pak RT. 

    

“Maaf kami menemukan dia dalam keadaan sudah—”   

  

“Apa sih, kalian!” selak Salwa cepat, “ngomong itu yang jelas.”   

  

“Kami sempat mendengar Sammy teriak-teriak, makanya kami curiga. Pak Dahlan yang mendengarnya pertama kali,” kata Pak RT menjelaskan. “Setelah mengumpulkan orang kami datang kesini, tapi karena pintu dikunci, kami terpaksa mendobraknya. Tapi nahas, nyawa—”  

 

  

“Sammy!” pekik Salwa. Ia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumah. Namun apa yang dilihatnya di depan mata kini menjadi tragedi yang paling dahsyat dalam hidupnya. Meruntuhkan seluruh harapan dan impian. Membuat hatinya kosong melompong dalam sekejap. Bahwa memang ia harus menerima, hari esok, ia sudah benar-benar sebatang kara. Ia melihat Sammy terbaring menghadap utara dengan tubuh yang sudah ditutup kain jarik miliknya. 

   

“Aaaaaaaaaaahhhhhh Sammyyyyyy,” raungnya begitu kencang melihat sosok yang telah tiada tersebut. Sungguh memilukan. Sakit tak terperi.

  

Bab terkait

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 5: Kepergian sammy+Melibatkan Perasaan

    “Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 6: Telah Kehilangan Dia

    “Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 7: Lentera Dalam Kegelapan

    Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 8: Merindukan Bintang

    “Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 9: Sesuatu yang Mengejutkan

    “Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 10: Garis Dua

    Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 11: TItik Keberadaan Ayah

    Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-19
  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 12: Seperti Terenggut Dari Tempatnya

    Raut iba terpancar jelas di raut wajah Ummi Nia. Menyaksikannya sendiri bagaimana jalan hidup Salwa selama ini membuatnya tak kuasa menahan tangis.Namun beliau berusaha menyembunyikannya. Bila Salwa saja sudah terlihat tegar, kenapa dirinya tidak? Bagi Salwa, mungkin ini adalah titik terendah di dalam hidupnya yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.Entah dosa apakah yang dilakukan orang tuanya dulu sehingga ujian hidup seperti tiada henti-hentinya melukai diri.Mungkinkah ini imbas dari perbuatan mereka yang akhirnya bisa menurun kepada dirinya? Pikirnya menerka-nerka. Keesokan harinya keadaan Salwa masih tetap sama seperti kemarin, mual, tidak nafsu makan dan sulit terpejam di malam hari.Sampai hari-hari ini mungkin masih aman karena kehamilannya belum kentara. Kabar dirinya tengah berbadan dua belum sampai tembus sampai ke masyarakat.Tapi mungkin dua atau tiga bulan lagi pasti hal ini menjadi gunjingan dan berita yang teramat heboh. Salwa membuka lemari pakaiannya. Niatnya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02

Bab terbaru

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 77: End

    Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 76: Menjemput Kesayangan

    Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 75: With You

    Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 74: Penyesalan Seorang Pengkhianat

    “Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 73: Meminta Maaf

    “Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 72: Menguping Pembicaraan Maryam

    Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 71: Emosi Selalu Mengundang Bahaya

    Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 70: Kabar Baik Tapi Tak Menyenangkan

    “Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 69: KENANGAN MENYAKITKAN

    Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita

DMCA.com Protection Status