“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa.
Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun. “Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang terakhir, kamu adalah pelanggan terakhirku.” Salwa langsung menangis terisak-isak dan Raffa berinisiatif menyodorkan tisu. “Aku dah janji sama almarhum adikku, untuk berhenti dari pekerjaan ini.” “Kalau begitu, menikahlah denganku!” Raffa benar-benar nekat. Ia terdengar tak main-main dengan ucapannya. Salwa kembali menolak dengan tegas, “Plis Raffa, kenapa kamu terus memaksaku!” “Aku yakin kamu menyukaiku, sama sepertiku.” “Kamu pede sekali.” “Aku mendengar detak jantungmu, Salwa.” “Itu tidak bisa dijadikan sebagai acuan Tuan Raffa!” “Ya Sudah, kita bicarakan lagi lain kali. Mungkin kamu masih butuh waktu.” “Tidurlah!” titah Raffa, “ini masih pukul tiga pagi, kamu harus beristirahat, aku janji akan mengantarmu pulang.” Melihat Salwa yang mengacuhkan ucapannya membuat Raffa kembali memberi titah “Tidur Salwa, tidur!" Akhirnya Salwa mau merebahkan tubuhnya di ranjang, tak lama kemudian ia merasakan Raffa memeluknya dari belakang. Ia merasa begitu nyaman. Masih dengan mata yang terbuka, Salwa memikirkan tawaran Raffa barusan. Tapi, sepertinya bukan jalan yang mudah untuk Salwa. Ia menyadari siapa dirinya dan siapa Raffa sebenarnya. “Danaku sebenarnya terlahir dari keluarga religius,” kata-kata itu terus terngiang di benak Salwa.Salwa tak mungkin memberikan keluarga Raffa setitik noda karena suatu saat nanti pasti mereka tahu siapa dirinya sebenarnya. Mungkin, Raffa akan bersikap biasa saja, tapi yang lain? Keluarga yang religius tidak mungkin mempunyai menantu seorang kupu-kupu malam. Tentu saja akan mencoreng nama baik keluarga Raffa. Alfatihah saja Salwa tidak hafal, apalagi shalat, membaca al qur'an, atau yang lain-lain.Bagaimana kalau ibu mertuanya menanyakan sudah berapa jus hafalan suratnya atau hal lain yang berhubungan dengan itu?Atau lebih parahnya, mengorek tentang sudah sejauh mana kemampuannya? Sementara, pakaian Salwa saja masih terbuka seperti ini. Tidak, tidak. Bukankah sudah dari awal batinnya menegaskan, tidak boleh melibatkan perasaan? Plis stop Salwa, stop! Jangan banyak bermimpi. Salwa lebih nyaman hidup sendiri walau serba kekurangan. Ia tak ingin berkomitmen yang berujung menyakitkan.Tidak sedikit di dunia ini orang-orangyang menikah lalu bercerai, menikah lagi, lalu bercerai lagi. Sebagian dari mereka mempunyai penyebab atau faktor yang berbeda-beda.Meskipun tidak semua rumah tangga seperti itu, tapi Salwa tidak ingin menjadi salah satunya. Dan dari hasil uang kerjanya hari ini, mungkin Salwa bisa mempergunakannya untuk membuka usaha kecil-kecilan.Tak peduli dengan kata orang-orang. Mulai besok, Salwa akan membuka lembaran baru, membersihkan diri dan mulai menjadi muslim sejati.Salwa benar-benar takut akan Tuhan. Apalagi mengenai kepergian Sammy kemarin, membuat tekadnya semakin bulat. Masih dengan posisi yang tadi, Salwa mengembalikan tubuhnya menghadap Raffa yang juga sama-sama sedang tidur menghadapnya. Terdengar dengkuran halus, yang menandakan bahwa laki-laki itu sudah terlelap dengan nyenyak.Terlihat bulir-bulir keringat yang mengalir membasahi pelipisnya. Ia perhatikan lamat-lamat wajah tampan itu.Kulit wajah kuning langsat, alis yang tebal, garis wajah yang nyaris sempurna, bibir tipis nan tegas dan terdapat bulu-bulu halus di sekitar dagu yang menambah aura sisi kedewasaannya.Salwa membelai lembut pipi Raffa, menyusuri tiap garis dan lekuk wajah itu dan Salwa menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba ia menginginkannya lagi. “Sudah puas melihatnya?” “Raffa!” pekik Salwa ia langsung memundurkan tubuhnya tapi dengan sigap, Raffa menahannya.“Bukannya kamu tadi sudah tidur?” tanyanya panik. “Kalau aku tidur, pasti kamu akan kabur. Dan aku nggak akan membiarkannya. Kamu harus jadi milikku!”Tahu saja apa yang akan Salwa lakukan setelah ini. “Kenapa kamu menginginkannya lagi?” “Nggak!” “Bohong!” Namun Raffa tidak mempercayai kata-katanya, perkataan wanita tidak selalu benar. Dengan atau tanpa persetujuannya, Raffa kembali mengulang seperti apa yang sebelumnya mereka lakukan. *** Matahari telah masuk melalui celah-celah jendela menandakan fajar telah menyingsing.Raffamerasakan hangatnya wajahnya yang tersapu sinar mentari. Silau mendera pada kedua matanya yang membuatnya menyipit kala ia berusaha mengerjap.Dengan kepala yang masih terasa berputar, ia mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian bersandar di headboard. Ia terlebih dahulu duduk untuk menetralkan rasa pusing yang mendera. Oh iya, Raffa baru sadar. Raffa sedang berada di hotel. Ia menguap lebar-lebar. Rasanya masih mengantuk sekali, sebab,ia hanya tidur beberapa jam saja. Rasa lelah dan letih juga masih ia rasakan karena kegiatannya sepanjang malam. Eh tunggu-tunggu, sekarang ini ia di hotel, lantas jika begitu… Salwa? Di mana salwa? “Sal! Salwa! Salwa?” panggilnya berulang-ulang. Namun tak terdengar jawaban. “Apa kamu lagi di kamar mandi?” Ternyata tidak ada suara air yang terdengar dari dalam sana. “Ke mana Salwa?” Atau dia sedang mengambil sarapan? Batinnya terus berusaha menenangkan diri.Sambil menunggu, Raffa juga sambil membersihkan diri dan memakai lagi pakaian yang semalam. Namun kali ini ada yang janggal, hingga beberapa puluh menit berlalu, ternyata Salwa tak kunjung kembali.Raffa panik, ia mengecek ke seluruh kamar hotel. Ternyata Salwa benar-benar pergi. Tak ada satu pun barang-barang Salwa yang tertinggal di sana. Sial! Raffa langsung turun ke bagian resepsionis, menanyakan hal ini kepada mereka. “Ada perempuan yang check out dari kamar saya nggak, Kak?" Raffa menyebut nomor kamarnya, "orangnya tinggi, putih, rambutnya panjang, pakai dress warna merah selutut.” Ia berusaha menjelaskan semua ciri-cirinya. “Oh iya, sekitar satu jam yang lalu, kami melihat perempuan dengan ciri-ciri yang bapak sebutkan, keluar dari hotel, Pak…” Astaga … Salwa benar-benar kabur darinya. Apa Raffa terlihat semenakutkan itu? Ia menyesali tidurnya. Kenapa harus tidur tadi? Akhirnya jadi begini kan? Raffa mengeluarkan ponselnya. Bukannya mereka sudah saling komunikasi semalam? Raffa langsung menghubunginya, tapi … nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Begitu terus berulang-ulang. Kini Raffa semakin yakin, bahwa Salwa memang telah benar-benar meninggalkannya. Raffa duduk di kursi dekat lobby, ia menghempaskan tubuhnya, lalu mengacak rambutnya frustrasi. Sungguh ia sangat menyesal telah kehilangan Salwa. Raffa mencintai Salwa. Wanita yang baru dua kali ia temui. Sekarang, Raffa harus mencari Salwa ke mana? Bahkan aplikasi yang semalam ia gunakan untuk saling terhubung kini sudah tidak aktif lagi.Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru
Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya
Raut iba terpancar jelas di raut wajah Ummi Nia. Menyaksikannya sendiri bagaimana jalan hidup Salwa selama ini membuatnya tak kuasa menahan tangis.Namun beliau berusaha menyembunyikannya. Bila Salwa saja sudah terlihat tegar, kenapa dirinya tidak? Bagi Salwa, mungkin ini adalah titik terendah di dalam hidupnya yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.Entah dosa apakah yang dilakukan orang tuanya dulu sehingga ujian hidup seperti tiada henti-hentinya melukai diri.Mungkinkah ini imbas dari perbuatan mereka yang akhirnya bisa menurun kepada dirinya? Pikirnya menerka-nerka. Keesokan harinya keadaan Salwa masih tetap sama seperti kemarin, mual, tidak nafsu makan dan sulit terpejam di malam hari.Sampai hari-hari ini mungkin masih aman karena kehamilannya belum kentara. Kabar dirinya tengah berbadan dua belum sampai tembus sampai ke masyarakat.Tapi mungkin dua atau tiga bulan lagi pasti hal ini menjadi gunjingan dan berita yang teramat heboh. Salwa membuka lemari pakaiannya. Niatnya,
Masih berada di tempat duduk yang tadi. Salwa mencoba menghembuskan nafasnya dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Berulang kali Salwa melakukannya agar suasana hati menjadi lebih tenang. Ia menyadari satu hal, sampai dirinya menangis darah sekalipun, tersebut tidak akan pernah bisa mengembalikan kenyataan. Raffa sudah berstatus suami Jihan, sahabatnya. Mereka sudah terikat janji sehidup semati dan tak mungkin terpisahkan.Mungkin bila suatu saat nanti dirinya dan Raffa bertemu dalam satu latar yang sama, cukuplah bersikap tak saling mengenal. Itu adalah opsi yang paling terbaik. Dan mungkin Salwa akan menyembunyikan siapa ayah bayi yang sedang ia kandung. Karena bisa jadi, pengakuan ini hanya akan menimbulkan kekacauan banyak orang.Salwa berjanji akan membesarkan anak ini dan menyayangi anak ini berkali-kali lipat dan membuatnya terbiasa menjalani hari-hari tanpasosok seorang ayah. Agar dia takkan pernah menanyakan ayahnya. Terhitung dua puluh menit lamanya Salwa terdiam
“Wa-waalaikumsalam …,” jawab Salwa bersamaan dengan membukakan pintu. Wanita yang saat ini menenteng beberapa kotak makanan itu tersenyum lebar ke arahnya. “Kamu masih sakit?” tanyanya dengan nada panik. Satu tangannya menyentuh dahi Salwa dan menempelkannya berulang kali untuk memastikan.“Kok wajah kamu pucat banget? Tubuh kamu juga masih hangat. Aku anterin ke dokter, ya?” Sederet pertanyaan dari Jihan seakan tak masuk di telinga Salwa. Justru Salwa menanyakan hal lain yang sedari tadi dikhawatirkan.Karena batang hidung laki-laki yang ia maksud tak terlihat turun dari mobil. “Ka-katanya kamu nggak sendiri?” Jujur Salwa benci dengan nada yang gugup itu. Jihan menjawab pertanyaan Salwa dengan antusias, “Oh iya, suamiku tadi mendadak nggak mau diajak karena masih banyak tamu teman-temannya yang datang ke rumah. Jadi ya, udah.” Oh … syukurlah. Akhirnya Salwa bisa bernafas lega. Seolah olah terlepas dari jeratan tali yang tadi mengikatnya. “Eh, ayo masuk-masuk, Ji