Masih berada di tempat duduk yang tadi. Salwa mencoba menghembuskan nafasnya dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Berulang kali Salwa melakukannya agar suasana hati menjadi lebih tenang. Ia menyadari satu hal, sampai dirinya menangis darah sekalipun, tersebut tidak akan pernah bisa mengembalikan kenyataan. Raffa sudah berstatus suami Jihan, sahabatnya. Mereka sudah terikat janji sehidup semati dan tak mungkin terpisahkan.Mungkin bila suatu saat nanti dirinya dan Raffa bertemu dalam satu latar yang sama, cukuplah bersikap tak saling mengenal. Itu adalah opsi yang paling terbaik. Dan mungkin Salwa akan menyembunyikan siapa ayah bayi yang sedang ia kandung. Karena bisa jadi, pengakuan ini hanya akan menimbulkan kekacauan banyak orang.Salwa berjanji akan membesarkan anak ini dan menyayangi anak ini berkali-kali lipat dan membuatnya terbiasa menjalani hari-hari tanpasosok seorang ayah. Agar dia takkan pernah menanyakan ayahnya. Terhitung dua puluh menit lamanya Salwa terdiam
“Wa-waalaikumsalam …,” jawab Salwa bersamaan dengan membukakan pintu. Wanita yang saat ini menenteng beberapa kotak makanan itu tersenyum lebar ke arahnya. “Kamu masih sakit?” tanyanya dengan nada panik. Satu tangannya menyentuh dahi Salwa dan menempelkannya berulang kali untuk memastikan.“Kok wajah kamu pucat banget? Tubuh kamu juga masih hangat. Aku anterin ke dokter, ya?” Sederet pertanyaan dari Jihan seakan tak masuk di telinga Salwa. Justru Salwa menanyakan hal lain yang sedari tadi dikhawatirkan.Karena batang hidung laki-laki yang ia maksud tak terlihat turun dari mobil. “Ka-katanya kamu nggak sendiri?” Jujur Salwa benci dengan nada yang gugup itu. Jihan menjawab pertanyaan Salwa dengan antusias, “Oh iya, suamiku tadi mendadak nggak mau diajak karena masih banyak tamu teman-temannya yang datang ke rumah. Jadi ya, udah.” Oh … syukurlah. Akhirnya Salwa bisa bernafas lega. Seolah olah terlepas dari jeratan tali yang tadi mengikatnya. “Eh, ayo masuk-masuk, Ji
Salwa langsung memakai hijabnya cepat kala mendengar suara tamu, sebelum akhirnya ia membukakan pintu. Yang ternyata adalah laki-laki yang tinggal di sebelah rumah Ummi Nia.“Iya ada apa, ya?” Laki-laki itu menunjukkan bingkisan yang ada di tangannya, “Ini titipan dari Ummi katanya buat Eneng sama bayinya.” Ucapan laki-laki polos itu berkata cukup keras membuat Salwa membulatkan matanya. Dan yang Salwa khawatirkan, ucapan itu bisa terdengar di telinga orang yang sedang lewat apalagi tetangga.“Ssstttt.” Salwa menempelkan telunjuknya di bibir. Laki-laki itu tersenyum lebar lalu berucap lirih, “Oh iya maaf-maaf, Neng. Sudah atuh, saya cuma mau menyampaikan itu saja, neng Salwa. Saya pamit pergi dulu assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Salwa segera menutup pintunya lalu menyandarkan dirinya di belakang pintu sambil menutup matanya sejenak.Walaupun lama-kelamaan semua orang pasti akan tahu dengan kehamilannya, tapi rasanya ia takkan pernah siap. Pasti, akan ada banyak
Gamang, Salwa menatap atap-atap langit rumahnya. Pikirannya dipenuhi oleh sebuah pertimbangan.Ia memikirkan ucapan ummi dan Ustaz Adam kemarin sore. Perkataan yang bisa diartikan dengan sebuah lamaran. Begitu lebih tepatnya. Bukan ia sok kuat, sok mampu atau apapun sebagainya. Nyatanya, menikah itu janji suci kepada Allah yang disaksikan para malaikat.Ia tak mungkin mempermainkan pernikahan. Alasan dibaliknya lah yang membuatnya harus berpikir seribu kali.Pun jika pernikahan itu dilakukan, harusnya setelah Salwa melahirkan. Lagi pula, Salwa belum mengenal ustaz pendatang baru yang datang ke kampung ini.Sayup-sayup terdengar beberapa orang mengatakan bahwa Ustaz tersebut masih sendiri. Tapi, sendiri bukan berarti tak mempunyai keluarga bukan? Apa reaksi keluarganya nanti jika Ustaz Adam menikahi wanita hamil yang notabenenya mantan....Mungkin itu akan terdengar buruk. Sangat buruk. Ia tak mungkin menyeret orang lain ke dalam masalahnya. Kasihan nama orang jika harus ikut-ikutan t
Rasanya bisa di ibaratkan seperti tulang sehat yang dipatahkan serentak. Setelah berjuang bertaruh nyawa sebagai kodratnya seorang wanita, pekikan tangis bayi laki-laki menggema di sudut ruang persalinan. Tubuh Salwa masih terbaring lemah menatap senyum bayinya sudah dibersihkan dan dibalut kain hangat. Tangis haru menyelimutinya karena mulai detik ini ia sudah menjadi seorang ibu. Meskipun tanpa suami. “Ini bayinya Bu, alhamdulillah sehat lengkap, ganteng lagi. Saya bantu ibu melakukan inisiasi menyusui dini ya.” Ucap Bidan yang lantas membantunya untuk mempermudah Salwa dalam bergerak. Pertama kalinya Salwa melihat wajah tampan bayinya. Hidung yang mancung dan alis yang lumayan tebal dan mata yang bulat. Bila diperhatikan lamat-lamat, kepala bayi itu begitu mirip dengan ayahnya, apalagi saat dia membuka matanya. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya bayi itu menemukan sumber kehidupannya. Bibir yang mungil itu berupaya kuat menyesap ASI. Salwa begitu mengaguminya. Ia mengec
-Cerita ini nyambung dengan bab 3-Tak melibatkan Zikra dalam langkahnya, malam ini Salwa menuju ke rumah Ustaz Adam untuk mengembalikan uang yang diterimanya siang tadi.Beruntung, Salwa belum membuka isinya sama sekali. Sehingga memudahkannya untuk membuat mereka percaya, bahwa apa yang perempuan tuduhkan itu tidaklah benar. Pantang baginya untuk meminta-minta, pantang baginya untuk menghiba-hiba, segala hal dan apa yang ia jalani dalam hidup. “Assalamualaikum .…” “Waalaikumsalam…,” jawab Ustaz Adam yang sedang mengaji di saung samping rumahnya.Di atas kepalanya, terdapat lampu terang yang menjadikan beliau nyaman dan sering menghabiskan waktu di sini apabila tak sedang mengajar. Laki-laki yang pernah melamarnya beberapa tahun silam itu menutup kitabnya dan melihat Salwa dari atas sampai ke bawah. Sesaat Ustaz mengerutkan dahinya sebelum ia berujar, “Oh, Mbak Salwa!” Salwa mengangguk. “Iya ini saya Pak Ustaz.” Memakai niqab memang membuatnya sulit dikenali.
Keesokan harinya. Salwa baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tak hanya lelah, keringat juga tampak bercucuran di wajahnya karena siang ini cuaca sedang terasa panas sekali. Mendekatkan kipas angin ke tubuhnya, Salwa memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa panas yang menguasainya. Namun beberapa puluh menit berlalu, rasa kantuk menyerang sehingga membuatnya terpejam. “Astaghfirullahaladzim!” ucapnya saat membuka mata. Menyadari bahwa dirinya telah ketiduran. Bukankah ia harus mengantarkan pakaian yang telah dijahitnya barusan? Sudah berhari-hari baju itu menginap disini. Mengganti pakaiannya, Salwa langsung memasukkan jahitan itu ke dalam kantong plastik, lalu berjalan keluar rumah. Eh, ya ampun, Salwa baru sadar. Zikra main ke mana, ya? Dari pagi anak itu pergi sampai sekarang belum pulang juga. “Ramon, Ramon!”Salwa menghentikan Ramon yang sedang melintas. Anak itu hanya mendongak menatapnya kebingungan. “Ramon liat Zikra nggak, Sayang?” Ramon menggeleng, “Nggak tahu Tant
“Zikra …,” panggil Salwa kepada anaknya yang baru saja pulang entah dari mana lagi. “Dari mana kamu, Nak. Main boleh tapi nggak boleh pulang terlalu sore .…” Salwa sedikit kesal, pasalnya setelah makan siang Zikra kembali pergi main hingga sore hari. Hmm namanya juga anak-anak, masih susah diberi tahu. “Kan Zikra ketemu sama Om, takut Omnya pulang .…” Om itu lagi, Om itu lagi. Seberapa baik dan seberapa hebat orang itu sehingga Zikra langsung bisa menempel padanya?Zikra tak pernah seperti ini sebelumnya. Anak ini selalu berhati-hati dengan orang yang belum dikenal. Salwa menghela nafas panjang sebelum ia kembali berucap, “Memangnya Omnya ada di mana kok Zikra ketemu lagi sama Om itu?” “Kan ada di rumahnya Pak Ustaz.” Oh, jadi dia temannya Ustaz Adam?“Lain kali jangan terlalu dekat sama orang yang belum kenal.” “Tapi Om itu baik, Zikra pengen punya Ayah kaya Om.” Kembali menghembuskan nafas kasar, Salwa segera mengalihkan pembicaraan. “Ya sudah, ini sudah