Rasanya bisa di ibaratkan seperti tulang sehat yang dipatahkan serentak. Setelah berjuang bertaruh nyawa sebagai kodratnya seorang wanita, pekikan tangis bayi laki-laki menggema di sudut ruang persalinan. Tubuh Salwa masih terbaring lemah menatap senyum bayinya sudah dibersihkan dan dibalut kain hangat. Tangis haru menyelimutinya karena mulai detik ini ia sudah menjadi seorang ibu. Meskipun tanpa suami. “Ini bayinya Bu, alhamdulillah sehat lengkap, ganteng lagi. Saya bantu ibu melakukan inisiasi menyusui dini ya.” Ucap Bidan yang lantas membantunya untuk mempermudah Salwa dalam bergerak. Pertama kalinya Salwa melihat wajah tampan bayinya. Hidung yang mancung dan alis yang lumayan tebal dan mata yang bulat. Bila diperhatikan lamat-lamat, kepala bayi itu begitu mirip dengan ayahnya, apalagi saat dia membuka matanya. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya bayi itu menemukan sumber kehidupannya. Bibir yang mungil itu berupaya kuat menyesap ASI. Salwa begitu mengaguminya. Ia mengec
-Cerita ini nyambung dengan bab 3-Tak melibatkan Zikra dalam langkahnya, malam ini Salwa menuju ke rumah Ustaz Adam untuk mengembalikan uang yang diterimanya siang tadi.Beruntung, Salwa belum membuka isinya sama sekali. Sehingga memudahkannya untuk membuat mereka percaya, bahwa apa yang perempuan tuduhkan itu tidaklah benar. Pantang baginya untuk meminta-minta, pantang baginya untuk menghiba-hiba, segala hal dan apa yang ia jalani dalam hidup. “Assalamualaikum .…” “Waalaikumsalam…,” jawab Ustaz Adam yang sedang mengaji di saung samping rumahnya.Di atas kepalanya, terdapat lampu terang yang menjadikan beliau nyaman dan sering menghabiskan waktu di sini apabila tak sedang mengajar. Laki-laki yang pernah melamarnya beberapa tahun silam itu menutup kitabnya dan melihat Salwa dari atas sampai ke bawah. Sesaat Ustaz mengerutkan dahinya sebelum ia berujar, “Oh, Mbak Salwa!” Salwa mengangguk. “Iya ini saya Pak Ustaz.” Memakai niqab memang membuatnya sulit dikenali.
Keesokan harinya. Salwa baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tak hanya lelah, keringat juga tampak bercucuran di wajahnya karena siang ini cuaca sedang terasa panas sekali. Mendekatkan kipas angin ke tubuhnya, Salwa memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa panas yang menguasainya. Namun beberapa puluh menit berlalu, rasa kantuk menyerang sehingga membuatnya terpejam. “Astaghfirullahaladzim!” ucapnya saat membuka mata. Menyadari bahwa dirinya telah ketiduran. Bukankah ia harus mengantarkan pakaian yang telah dijahitnya barusan? Sudah berhari-hari baju itu menginap disini. Mengganti pakaiannya, Salwa langsung memasukkan jahitan itu ke dalam kantong plastik, lalu berjalan keluar rumah. Eh, ya ampun, Salwa baru sadar. Zikra main ke mana, ya? Dari pagi anak itu pergi sampai sekarang belum pulang juga. “Ramon, Ramon!”Salwa menghentikan Ramon yang sedang melintas. Anak itu hanya mendongak menatapnya kebingungan. “Ramon liat Zikra nggak, Sayang?” Ramon menggeleng, “Nggak tahu Tant
“Zikra …,” panggil Salwa kepada anaknya yang baru saja pulang entah dari mana lagi. “Dari mana kamu, Nak. Main boleh tapi nggak boleh pulang terlalu sore .…” Salwa sedikit kesal, pasalnya setelah makan siang Zikra kembali pergi main hingga sore hari. Hmm namanya juga anak-anak, masih susah diberi tahu. “Kan Zikra ketemu sama Om, takut Omnya pulang .…” Om itu lagi, Om itu lagi. Seberapa baik dan seberapa hebat orang itu sehingga Zikra langsung bisa menempel padanya?Zikra tak pernah seperti ini sebelumnya. Anak ini selalu berhati-hati dengan orang yang belum dikenal. Salwa menghela nafas panjang sebelum ia kembali berucap, “Memangnya Omnya ada di mana kok Zikra ketemu lagi sama Om itu?” “Kan ada di rumahnya Pak Ustaz.” Oh, jadi dia temannya Ustaz Adam?“Lain kali jangan terlalu dekat sama orang yang belum kenal.” “Tapi Om itu baik, Zikra pengen punya Ayah kaya Om.” Kembali menghembuskan nafas kasar, Salwa segera mengalihkan pembicaraan. “Ya sudah, ini sudah
“Kasihan anak sekecil ini kalau ikut jadi korban,” sambungnya lagi. “Iya kasihan saya liat nya juga.” Tidak mengerti apa yang sedang orang dewasa bicarakan, Zikra turun dari tempat duduknya. Kebetulan, matahari tak seterik tadi karena tertutup awan.“Zikra pamit ya Om, Pak Jul, Zikra mau pulang dulu. Nanti dicariin Mama.” Zikra mengulurkan tangannya untuk salim. “Kamu pintar sekali,” puji laki-laki itu yang malah tak kuasa untuk tak memeluknya. Anak itu seperti mempunyai daya tarik tersendiri di matanya. Sehingga ia merasa ingin selalu dekat. Ada perasaan yang begitu nyaman ketika mereka saling bersentuhan, tapi entah perasaan apa itu, sulit untuk dijelaskan. Laki-laki tersebut merenggangkan pelukan, lalu menatap Zikra dengan intens. Sangat jarang ada anak kecil seusia Zikra yang mempunyai attitude yang baik seperti ini. Ia yakin bahwa Zikra adalah anak dari ibu yang hebat. “Mama kamu pasti baik sekali. Buktinya bisa punya anak sesalih kamu.” Zikra tersenyu
Bruk! Zikra menubruk Mamanya cukup keras dan langsung memeluknya erat tanpa menyisakan celah sedikit pun. “Aduh, Nak. Pelan-pelan dong, nanti Mamanya bisa sakit, Sayang,” keluh Salwa.Tapi anak itu malah semakin menenggelamkan wajahnya di pangkuannya.“Salim dulu sama tante, Nak. Kenalan dulu, ya?” titahnya namun direspons dengan rengekan penolakan. Sepertinya Zikra sudah sangat mengantuk hari ini. Wajahnya terlihat tak bersahabat lagi. Sementara Jihan masih menatap kebingungan dengan penuh tanda tanya.“Plis Sal, kamu harus jelasin ini sama aku!” ujarnya terdengar menuntut.“Iya, sebentar ya, Ji. Aku mau nidurin dia dulu. Kayaknya udah ngantuk banget.” Salwa lantas membawa Zikra ke dalam kamar setelah mencuci kaki sebelumnya. “Makan dulu, ya. Mama suapin?” “Ngga mau,” rengeknya setengah menutup mata. Baterai tersisa lima watt, harus segera di cas maksimal pikirnya. Mendekatkan kipas angin, Salwa menjalankannya dengan nomor paling tengah. “Ya udah, Mama temenin Zikra bobo.
Raffa POV. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagiku. Karena aku dapat menemukannya lagi. Wanita yang selama ini aku cari-cari sekarang berada di dekapanku.Bahagia sekaligus haru. Entah apa yang harus kulakukan pada pertemuan mengejutkan ini. Enam tahun lamanya, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk mempertemukan kita kembali.Tapi, dalam kondisi yang mungkin kurang tepat. Aku sudah tak sendiri lagi. “Kenapa kamu harus pingsan? Tidakkah kamu ingin berbicara denganku setelah sekian lama tak bertemu?” Aku berkata sambil mengguncang bahunya.“Salwa bangunlah, aku ingin berbicara denganmu! Ayo buka matamu Sal.” tanpa sadar air menetes dari pelupuk mata. Namun sepertinya Tuhan tak memberiku kesempatan lebih lama. Meskipun aku sangat berharap waktu ini tak segera berlalu. Sesaat kemudian Aku mendengar derap langkah kaki seseorang tengah mendekat. “Mas Raffa!” pekik Jihan yang tiba-tiba entah datang dari mana. Mungkin dari toilet. “Itu Salwa kenapa? Pingsan?” Aku
POV Author. “Ya ampun, Nak. Kamu kan belum selesai mandinya. Liat tuh, masih ada busanya.” Salwa langsung mengangkat tubuh Zikra yang jelas-jelas masih telanjang bulat. Rambutnya pun masih berbusa seban belum dibilas air.Dasar anak bocil! “Tapi Omnya mau pergi ….” Anak itu benar-benartak rela melihat Om baiknya pergi. “Iya kan sudah sore, mereka mau pulang.” Raffa mengurungkan langkahnya yang hendak masuk ke dalam mobil. Dia kembali mendekati Zikra yang bibirnya sedang mencebir menahan tangis. “Besok-besok, Om sama Tante main kesini lagi, ya.” Raffa mengusap kepala Zikra. Ia tak merasa berkeberatan walau tangannya harus kena busa sampo. “Tapi Zikra mau ikut, Ma. Mau ikut!” Zikra memberontak ingin turun dari gendongan Salwa. Mata anak itu sudah mulai menggenang. “Hwaaaaa … mau ikut. Mau ikut!” “Kan Omnya tadi ilang besok-besok mau main ke sini lagi.” Salwa menjelaskannya pelan-pelan. Merasa tidak enak karena Zikra telah merepotkan, Salwa memberanikan di
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita