Bruk! Zikra menubruk Mamanya cukup keras dan langsung memeluknya erat tanpa menyisakan celah sedikit pun. “Aduh, Nak. Pelan-pelan dong, nanti Mamanya bisa sakit, Sayang,” keluh Salwa.Tapi anak itu malah semakin menenggelamkan wajahnya di pangkuannya.“Salim dulu sama tante, Nak. Kenalan dulu, ya?” titahnya namun direspons dengan rengekan penolakan. Sepertinya Zikra sudah sangat mengantuk hari ini. Wajahnya terlihat tak bersahabat lagi. Sementara Jihan masih menatap kebingungan dengan penuh tanda tanya.“Plis Sal, kamu harus jelasin ini sama aku!” ujarnya terdengar menuntut.“Iya, sebentar ya, Ji. Aku mau nidurin dia dulu. Kayaknya udah ngantuk banget.” Salwa lantas membawa Zikra ke dalam kamar setelah mencuci kaki sebelumnya. “Makan dulu, ya. Mama suapin?” “Ngga mau,” rengeknya setengah menutup mata. Baterai tersisa lima watt, harus segera di cas maksimal pikirnya. Mendekatkan kipas angin, Salwa menjalankannya dengan nomor paling tengah. “Ya udah, Mama temenin Zikra bobo.
Raffa POV. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagiku. Karena aku dapat menemukannya lagi. Wanita yang selama ini aku cari-cari sekarang berada di dekapanku.Bahagia sekaligus haru. Entah apa yang harus kulakukan pada pertemuan mengejutkan ini. Enam tahun lamanya, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku untuk mempertemukan kita kembali.Tapi, dalam kondisi yang mungkin kurang tepat. Aku sudah tak sendiri lagi. “Kenapa kamu harus pingsan? Tidakkah kamu ingin berbicara denganku setelah sekian lama tak bertemu?” Aku berkata sambil mengguncang bahunya.“Salwa bangunlah, aku ingin berbicara denganmu! Ayo buka matamu Sal.” tanpa sadar air menetes dari pelupuk mata. Namun sepertinya Tuhan tak memberiku kesempatan lebih lama. Meskipun aku sangat berharap waktu ini tak segera berlalu. Sesaat kemudian Aku mendengar derap langkah kaki seseorang tengah mendekat. “Mas Raffa!” pekik Jihan yang tiba-tiba entah datang dari mana. Mungkin dari toilet. “Itu Salwa kenapa? Pingsan?” Aku
POV Author. “Ya ampun, Nak. Kamu kan belum selesai mandinya. Liat tuh, masih ada busanya.” Salwa langsung mengangkat tubuh Zikra yang jelas-jelas masih telanjang bulat. Rambutnya pun masih berbusa seban belum dibilas air.Dasar anak bocil! “Tapi Omnya mau pergi ….” Anak itu benar-benartak rela melihat Om baiknya pergi. “Iya kan sudah sore, mereka mau pulang.” Raffa mengurungkan langkahnya yang hendak masuk ke dalam mobil. Dia kembali mendekati Zikra yang bibirnya sedang mencebir menahan tangis. “Besok-besok, Om sama Tante main kesini lagi, ya.” Raffa mengusap kepala Zikra. Ia tak merasa berkeberatan walau tangannya harus kena busa sampo. “Tapi Zikra mau ikut, Ma. Mau ikut!” Zikra memberontak ingin turun dari gendongan Salwa. Mata anak itu sudah mulai menggenang. “Hwaaaaa … mau ikut. Mau ikut!” “Kan Omnya tadi ilang besok-besok mau main ke sini lagi.” Salwa menjelaskannya pelan-pelan. Merasa tidak enak karena Zikra telah merepotkan, Salwa memberanikan di
Semua anggota keluarga sedang makan malam bersama di rumah. Yaitu Kiyai Hasanudin Ar Rasyid, istrinya Ummi Siti Nurmala, anak pertamanya Latief Ar Rasyid dan istrinya Maryam Habibah, dan tak terkecuali Raffa dan Jihan Huwaida. Sudah seminggu belakangan, suasana rumah menjadi semakin hangat semenjak Raffa dan Jihan pulang dari Maroko. Selain menyelesaikan pendidikan, ia juga mengelola beberapa cabang travelnya di sana. “Jangan melamun!” celetuk Ummi Siti kepada Raffa. “Iya tuh Mi, Mas Raffa jadi banyak melamun dari pagi,” sahut Jihan kepada Ummi Siti. Betapa otak Raffa dipenuhi oleh sosok kecil Zikra dan Salwa semenjak pertemuannya kemarin dan mimpinya semalam.Apalagi, nama belakang mereka yang sama. Jelas itu menjadi tanda tanya terbesar dalam hatinya pada saat ini. Meskipun nama itu bukan hanya milik keluarganya saja, tapi entah kenapa ini terdengar mengganjal di hatinya. Entah apa yang ingin Tuhan tunjukkan kepadanya. Padahal ia sudah berusaha sekeras mungkin un
Salwa tidak bisa mengartikan apa arti keterkejutan di wajah Raffa saat ini. Apakah laki-laki itu senang ataupun sebaliknya.Yang jelas, Raffa masih menatapnya nanar tanpa berkedip.Bingung bagaimana harus bersikap, Salwa memutuskan untuk meneruskan penjelasannya. Ia merasa ini adalah kesempatan yang langka. Sebab, Raffa mumpung hanya datang sendiri, sudah saatnya dia tahu kebenaran ini. Salwa menghela nafaspanjang agar ia tetap tenang. “Kamu ingat kan, malam itu?” Ia menjeda kalimatnya sejenak, lalu melanjutkan kalimatnya lagi. “Kita telah melakukan dosa besar … dan karena dosa besar itulah, Zikra lahir ke dunia.” Raffa menggeleng. Pria itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Merasa pembicaraan ini belum selesai, ia kembali mendirikan kursi yang terjatuh dan kembali duduk. Raffa menghela nafas panjang dan menelan ludahnya. “Jadi, Zikra itu putra kandungku?” “Iya, itu sebabnya aku memakai nama belakangmu,” lanjut Salwa lagi yang membuat Raffa
Mengetahui Raffa pulang, Jihan langsung menghampiri, “Katanya cuma sebentar? Ini kamu pergi udah hampir empat jam loh, Mas?” “Iya, maaf,” jawab Raffa singkat. Keduanya lantas pergi ke lantai dua. Jihan memperhatikan Raffa yang langsung mengambil gelas air minum. Jihan memeluk mesra Raffa dari belakang, “Habis dari mana sih?” “Dari rumah teman.” Lagi-lagi jawaban Raffa terdengar singkat.“Iya, kan ada namanya.”Raffa meneguk minum yang baru saja diambilnya dari dispenser.“Laki-laki atau perempuan, kenapa ngobrolnya lama banget?” “Kalau cerita belum selesai nggak mungkin juga kan ditinggal,” jawab Raffa kemudian berlalu ke balkon, meninggalkan Jihan sendiri. Ia menghempaskan tubuhnyadi tempat duduk, kemudian membuka ponselnya dan menatap lekat-lekat foto yang beberapa menit lalu diambilnya di restoran. Yaitu foto Zikra yang sedang makanu dang dengan sedemikian lahapnya. Hidup mereka yang terlampau sederhana membuat Zikra takjub ketika melihat kemewahan.
Mendengar pengakuan Raffa barusan membuat Ustaz Adam tertawa terbahak-bahak.Kedengarannya geli sekali, Sejak kapan Raffa yang terkenal lempeng itu pintar bercanda? Ada-ada saja Raffa ini. “Main dulu ya, Nak. Papa mau bicara dulu sama Pak Ustaz Adam,” kata Raffa pada sang anak. “Iya,” jawab Zikra dengan nada khas jenakanya. Raffa menurunkan Zikra yang kemudian kembali bermain.Beberapa minggu belakangan memang sedang musim bermain kelereng. Suara teriakan anak-anak terdengar ramai di samping rumah Salwa.Karena kebetulan, ada sepetak tanah yang masih kosong. “Kamu datang kesini sama siapa, Raff?” tanya Salwa. Dari tadi ia baru melihat Raffa. Kemungkinan dia baru saja datang. “Sendiri,” jawab Raffa kemudian duduk di samping Ustaz Adam. “Kayaknya ada bau-bau Raffa mau nikah lagi. Mbak Salwa harus peka sama kode laki-laki. Soalnya orang ini udah deketin Zikra,” seloroh Ustaz Adam sontak membuat Raffa tersenyum menepuk pundaknya. “Ya nggak papalah, kalau menurut saya, terima saja Mb
(Bab 32)“Jihan …” lirih Salwa seperti sedang tercekik. Bingung. Mulai dari mana ia harus menjelaskan. Dan yang jelas, pasti sedang berpikiran buruk dengan dirinya.Begitu juga dengan Raffa yang masih terduduk di lantai. Kilat terkejut sangat tampak di wajahnya. Ia merasa seperti sedang di telanjangi. Kenapa harus kepergok dalam keadaan seperti ini? Semua kesalahan ini berawal dari dirinya yang terlalu bersikap nekat.Istri mana yang tidak marah melihat suaminya mengunjungi rumah wanita lain? Apalagi saat waktu malam-malam seperti ini. Bagaikan seperti sedang menggali kuburannya sendiri.“Hiks …” Jihan terduduk lemas di kursi teras dan mulai terisak-isak. Suaranya terdengar begitu pilu. Tapi kenapa orang itu harus Salwa? Kalau orang itu wanita lain, mungkin rasanya tak seperih ini. “Ji, aku bisa jelasin semuanya …” ucap Salwa. Tubuhnya gemetaran menahan emosi yang melanda. Bila ia juga merasakan sakit yang luar biasa, apalagi dengan Jihan?Dengan tanpa menatap, Jihan mengatakan sesu
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita