Semua anggota keluarga sedang makan malam bersama di rumah. Yaitu Kiyai Hasanudin Ar Rasyid, istrinya Ummi Siti Nurmala, anak pertamanya Latief Ar Rasyid dan istrinya Maryam Habibah, dan tak terkecuali Raffa dan Jihan Huwaida. Sudah seminggu belakangan, suasana rumah menjadi semakin hangat semenjak Raffa dan Jihan pulang dari Maroko. Selain menyelesaikan pendidikan, ia juga mengelola beberapa cabang travelnya di sana. “Jangan melamun!” celetuk Ummi Siti kepada Raffa. “Iya tuh Mi, Mas Raffa jadi banyak melamun dari pagi,” sahut Jihan kepada Ummi Siti. Betapa otak Raffa dipenuhi oleh sosok kecil Zikra dan Salwa semenjak pertemuannya kemarin dan mimpinya semalam.Apalagi, nama belakang mereka yang sama. Jelas itu menjadi tanda tanya terbesar dalam hatinya pada saat ini. Meskipun nama itu bukan hanya milik keluarganya saja, tapi entah kenapa ini terdengar mengganjal di hatinya. Entah apa yang ingin Tuhan tunjukkan kepadanya. Padahal ia sudah berusaha sekeras mungkin un
Salwa tidak bisa mengartikan apa arti keterkejutan di wajah Raffa saat ini. Apakah laki-laki itu senang ataupun sebaliknya.Yang jelas, Raffa masih menatapnya nanar tanpa berkedip.Bingung bagaimana harus bersikap, Salwa memutuskan untuk meneruskan penjelasannya. Ia merasa ini adalah kesempatan yang langka. Sebab, Raffa mumpung hanya datang sendiri, sudah saatnya dia tahu kebenaran ini. Salwa menghela nafaspanjang agar ia tetap tenang. “Kamu ingat kan, malam itu?” Ia menjeda kalimatnya sejenak, lalu melanjutkan kalimatnya lagi. “Kita telah melakukan dosa besar … dan karena dosa besar itulah, Zikra lahir ke dunia.” Raffa menggeleng. Pria itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Merasa pembicaraan ini belum selesai, ia kembali mendirikan kursi yang terjatuh dan kembali duduk. Raffa menghela nafas panjang dan menelan ludahnya. “Jadi, Zikra itu putra kandungku?” “Iya, itu sebabnya aku memakai nama belakangmu,” lanjut Salwa lagi yang membuat Raffa
Mengetahui Raffa pulang, Jihan langsung menghampiri, “Katanya cuma sebentar? Ini kamu pergi udah hampir empat jam loh, Mas?” “Iya, maaf,” jawab Raffa singkat. Keduanya lantas pergi ke lantai dua. Jihan memperhatikan Raffa yang langsung mengambil gelas air minum. Jihan memeluk mesra Raffa dari belakang, “Habis dari mana sih?” “Dari rumah teman.” Lagi-lagi jawaban Raffa terdengar singkat.“Iya, kan ada namanya.”Raffa meneguk minum yang baru saja diambilnya dari dispenser.“Laki-laki atau perempuan, kenapa ngobrolnya lama banget?” “Kalau cerita belum selesai nggak mungkin juga kan ditinggal,” jawab Raffa kemudian berlalu ke balkon, meninggalkan Jihan sendiri. Ia menghempaskan tubuhnyadi tempat duduk, kemudian membuka ponselnya dan menatap lekat-lekat foto yang beberapa menit lalu diambilnya di restoran. Yaitu foto Zikra yang sedang makanu dang dengan sedemikian lahapnya. Hidup mereka yang terlampau sederhana membuat Zikra takjub ketika melihat kemewahan.
Mendengar pengakuan Raffa barusan membuat Ustaz Adam tertawa terbahak-bahak.Kedengarannya geli sekali, Sejak kapan Raffa yang terkenal lempeng itu pintar bercanda? Ada-ada saja Raffa ini. “Main dulu ya, Nak. Papa mau bicara dulu sama Pak Ustaz Adam,” kata Raffa pada sang anak. “Iya,” jawab Zikra dengan nada khas jenakanya. Raffa menurunkan Zikra yang kemudian kembali bermain.Beberapa minggu belakangan memang sedang musim bermain kelereng. Suara teriakan anak-anak terdengar ramai di samping rumah Salwa.Karena kebetulan, ada sepetak tanah yang masih kosong. “Kamu datang kesini sama siapa, Raff?” tanya Salwa. Dari tadi ia baru melihat Raffa. Kemungkinan dia baru saja datang. “Sendiri,” jawab Raffa kemudian duduk di samping Ustaz Adam. “Kayaknya ada bau-bau Raffa mau nikah lagi. Mbak Salwa harus peka sama kode laki-laki. Soalnya orang ini udah deketin Zikra,” seloroh Ustaz Adam sontak membuat Raffa tersenyum menepuk pundaknya. “Ya nggak papalah, kalau menurut saya, terima saja Mb
(Bab 32)“Jihan …” lirih Salwa seperti sedang tercekik. Bingung. Mulai dari mana ia harus menjelaskan. Dan yang jelas, pasti sedang berpikiran buruk dengan dirinya.Begitu juga dengan Raffa yang masih terduduk di lantai. Kilat terkejut sangat tampak di wajahnya. Ia merasa seperti sedang di telanjangi. Kenapa harus kepergok dalam keadaan seperti ini? Semua kesalahan ini berawal dari dirinya yang terlalu bersikap nekat.Istri mana yang tidak marah melihat suaminya mengunjungi rumah wanita lain? Apalagi saat waktu malam-malam seperti ini. Bagaikan seperti sedang menggali kuburannya sendiri.“Hiks …” Jihan terduduk lemas di kursi teras dan mulai terisak-isak. Suaranya terdengar begitu pilu. Tapi kenapa orang itu harus Salwa? Kalau orang itu wanita lain, mungkin rasanya tak seperih ini. “Ji, aku bisa jelasin semuanya …” ucap Salwa. Tubuhnya gemetaran menahan emosi yang melanda. Bila ia juga merasakan sakit yang luar biasa, apalagi dengan Jihan?Dengan tanpa menatap, Jihan mengatakan sesu
“Mamanya ke mana?“ tanya Zikra pada Jihan.“Iya, nanti Mama pulang, Nak. Mama Cuma pergi sebentar. Sabar, ya ...” Sudah hampir satu jam wanita itu berusaha menenangkan Zikra. Namun tampaknya, anak ini masih enggan untuk menyelesaikan tangisnya.“Gimana, Mas?” tanya Jihan ketika melihat Raffa baru saja sampai di rumah.“Aku udah tanya ke orang-orang yang masih terjaga di sekitar sini, tapi nggak ada salah satu pun dari mereka yang tau ke mana Salwa pergi.”Raut wajah Jihan terlihat begitu khawatir. Meskipun kenyataan ini sangat menyakitkan. Tapi hati kecilnya, ia tak ingin Salwa pergi. Zikra sangat membutuhkan Mamanya.Sudah berkali-kali Jihan menghubungi nomor Salwa, tapi nomor itu sudah tidak aktif lagi. “Ke mana Salwa pergi ya, Mas?”“Pastinya masih belum jauh dari sini.”“Dari suratnya yang kita baca, aku takut Salwa nggak akan kembali. Soalnya dia udah seratus persen nitipin Zikra sama kita.”Raffa terduduk lesu. Ya. Bagaimana kalau seandainya apa yang barusan Jihan katakan itu
“Mana, katanya Mama pulang? Kok, dari kemarin belum pulang-pulang? Papa bohongin aku, nih. Huuh ngga mau temenan lagi sama Papa, ah. Papanya bohong.”Raffa memijat pelipisnya, mendengar anak ini yang menanyakan Mamanya setiap satu menit sekali membuat kepalanya terasa begitu pening. Ya Tuhan, ia harus mencarinya ke mana lagi?Semalaman ia tak tidur untuk mencari Salwa dan menyuruh orang-orang terdekat. Tapi, belum ada kabar yang pasti mengenai keberadaan Salwa. Apalagi dengan pakaian Salwa yang tertutup sepenuhnya hanya menyisakan kedua bola mata. Pasti akan lebih sulit lagi untuk dikenali.“Mama mana, Paa?” rengeknya sambil menarik-narik tangan Raffa.“Mama lagi pergi dulu sebentar, nanti juga pulang, Nak ...”Sungguh ini benar-benar berat. Mau sampai kapan ia berbohong seperti ini kepada Zikra?“Eh, itu ada siaapa?” tanya Tasya anak pertama Latief.Merasa takut dengan teman baru yang usianya tak jauh beda darinya, Zikra langsung mendekap erat tubuh Raffa dan menelusupkan kepalanya di
“Sebutkan alasannya, Ji. Kenapa aku harus menceraikanmu?” tanya Raffa. Suaranya terdengar bergetar akan kekecewaan. “Apa karena aku memasukkan Zikra dalam hidupku?”“Ya, itu salah satunya, Mas.”“Lalu aku harus seperti apa? Zikra putraku, aku harus bertanggung jawab dengan kehidupannya,” tutur pria itu, “yang lain?”“Aku nggak mau dimadu.” Jihan menundukkan kepalanya menatap ubin yang ia pijak. “Bukankah sejak awal kita menikah aku dah tegasin aku menolak di poligami."Maaf Mas, jika itu memang terdengar egois. Tapi disisi lain aku juga sadar diri aku nggak bisa memberikanmu keturunan."Mungkin memang aku yang seharusnya mengalah.“Lagipula Salwa sudah banyak berkorban untukku. Aku malu bahagia diatas penderitaan orang lain Mas.”Raffa terdiam sebab menyimak pembicaraannya. Ingin mendengarkannya sampai selesai.“Kita nggak tau. Mungkin sudah banyak hari-hari yang ia lewati dengan tidak mudah.“Kalau Mas sudah menemukannya, kamu nikahi dia ya, Mas. Tolong bahagiakan dia. Dia pantas mend