“Mana, katanya Mama pulang? Kok, dari kemarin belum pulang-pulang? Papa bohongin aku, nih. Huuh ngga mau temenan lagi sama Papa, ah. Papanya bohong.”Raffa memijat pelipisnya, mendengar anak ini yang menanyakan Mamanya setiap satu menit sekali membuat kepalanya terasa begitu pening. Ya Tuhan, ia harus mencarinya ke mana lagi?Semalaman ia tak tidur untuk mencari Salwa dan menyuruh orang-orang terdekat. Tapi, belum ada kabar yang pasti mengenai keberadaan Salwa. Apalagi dengan pakaian Salwa yang tertutup sepenuhnya hanya menyisakan kedua bola mata. Pasti akan lebih sulit lagi untuk dikenali.“Mama mana, Paa?” rengeknya sambil menarik-narik tangan Raffa.“Mama lagi pergi dulu sebentar, nanti juga pulang, Nak ...”Sungguh ini benar-benar berat. Mau sampai kapan ia berbohong seperti ini kepada Zikra?“Eh, itu ada siaapa?” tanya Tasya anak pertama Latief.Merasa takut dengan teman baru yang usianya tak jauh beda darinya, Zikra langsung mendekap erat tubuh Raffa dan menelusupkan kepalanya di
“Sebutkan alasannya, Ji. Kenapa aku harus menceraikanmu?” tanya Raffa. Suaranya terdengar bergetar akan kekecewaan. “Apa karena aku memasukkan Zikra dalam hidupku?”“Ya, itu salah satunya, Mas.”“Lalu aku harus seperti apa? Zikra putraku, aku harus bertanggung jawab dengan kehidupannya,” tutur pria itu, “yang lain?”“Aku nggak mau dimadu.” Jihan menundukkan kepalanya menatap ubin yang ia pijak. “Bukankah sejak awal kita menikah aku dah tegasin aku menolak di poligami."Maaf Mas, jika itu memang terdengar egois. Tapi disisi lain aku juga sadar diri aku nggak bisa memberikanmu keturunan."Mungkin memang aku yang seharusnya mengalah.“Lagipula Salwa sudah banyak berkorban untukku. Aku malu bahagia diatas penderitaan orang lain Mas.”Raffa terdiam sebab menyimak pembicaraannya. Ingin mendengarkannya sampai selesai.“Kita nggak tau. Mungkin sudah banyak hari-hari yang ia lewati dengan tidak mudah.“Kalau Mas sudah menemukannya, kamu nikahi dia ya, Mas. Tolong bahagiakan dia. Dia pantas mend
(BAB 36)“Jadi kamu bohongin aku, Raff?” tanya Salwa teramat jengkel dengan ulah pria itu.“Maaf aku terpaksa menggunakan cara ini. Karena hanya ini satu-satunya cara agar kamu keluar dari persembunyian. Aku tau kamu pasti belum jauh dari sini...”“Kamu jahat Raff, kamu jahat ...” isaknya pelan.Raffa memberi kode kepada orang yang berada di belakang Salwa untuk meninggalkan mereka berdua.“Apa sih mau kamu? Tolong biarin aku tenang tanpa bayang-bayang kalian lagi. Cukupkan semuanya, Raffa. Aku ingin menemukan kebahagiaanku sendiri ...”“Bagaimana kamu bisa tenang dan bahagia kalau masih ada bagian hidupmu yang tertinggal disini ...” balas Raffa, “kamu meninggalkan anak yang masih kecil. Apa kamu tega meninggalkannya?”“Hampir setiap hari dia menangis selalu menanyakanmu ..”“Mamaa ...” Suara itu membuat Salwa menegakkan kepalanya.“Zikra!” Entah dari mana datangnya Zikra sudah ada di dekat mereka bersama dengan Jihan di belakangnya.“Ya Allah, Nak ...” Zikra langsung berhambur me
Rasanya, baru beberapa jam yang lalu mereka tidur. Kini, bunyi alarm seakan menggedor-gedor mereka agar segera terbangun. Tak tahan dengan suara berisik yang berasal dari meja nakas samping kirinya, Raffa terpaksa terbangun dan meraih ponsel itu.“Berisik banget!” desah Raffa dengan masih memejamkan matanya.“Aku baru tidur ya, ampun! PRAK!” terlalu kesal dengan bunyi ponsel itu, Raffa melemparnya ke sembarang arah.SeketikaSalwa terbangun dan bola matanya membulat, “Raff, kamu lempar ponselku?” tanyanya sedikit kesal. Rasa kantuk seakan lenyap mendengar ponselnya terlempar ke lantai.“Hah?!” Raffa baru menyadari bahwa ia telah merusak ponsel milik istrinya. Bola matanya juga ikut membulat saat melihat baterai ponsel tercecer di lantai terlepas dari badannya. Namun sepertinya ponsel itu sama sekali tak memancing perhatiannya. Bahwa apa yang di sampingnya lebih menarik daripada apapun keindahan di dunia ini. “Raff? Itu ponsel aku satu-satunya ...”“Aku bahkan bisa membelikanmu sepul
Beberapa bulan kemudian~“Miii! Ummi! Ummiiiii!!” teriak Raffa dari luar.“Ada apa ini...Ya Allah, Nak. Datang-datang bukannya ngucapin salam malah teriak-teriak,” omel Ummi dengan wajah cemberut. Sudah besar masih seperti anak kecil saja pikir beliau.“Abah mana Ummi? Abah Mana?” Raffa mengguncang tubuh Ummi-nya dengan cukup keras. “Astaghfirullahhaladzim! Ini lagi kenapa, sih?” Ummi lantas melihat Salwa masuk dengan sedikit kepayahan. Karena kandungan Salwa sudah berusia lima bulan.Ummi mencubit lengan putranya merasa gemas, “Itu kenapa istrinya ditinggal?”Raffa menepuk keningnya cukup keras. Saking bahagianya dia sampai melupakan Salwa, “Oh, iya. Maaf, Sayang!” laki-laki itu membantu menuntun Salwa untuk duduk, “abisnya Raffa terlalu bahagia, Mi. Raffa mau punya anak perempuan...”“Masyaaallah ... alhamdulillah... bayinya sehat kan?”“Tadi bayinya juga sehat, Mi,” Lanjut Raffa sangat antusias, "Raffa liat bayinya di layar monitor bergerak-gerak lincah.""Maaf ya, Nak. Raffa terl
Menikmati udara segar bersama memang sangat tepat di sore hari yang cerah seperti ini. Seperti tak ada bosan-bosannya Raffa dan Salwa menikmati waktu berharga mereka di belakang rumah itu. Mumpung Raffa sedang tak ke mana-mana pikirnya.Membuat Ummi dan Abah melihat dengan haru kebersamaan mereka yang sedang memperhatikannya dari jauh. Lebih tepatnya berada atas balkon atas sana. Sungguh sangat menyenangkan. Damai dan sejahtera.“Kaya kita waktu muda ya, Bah,” ucap Ummi sambil menyenggol lengan suaminya.“Sampai tua juga kita begitu kan, Mi.”“Udah nggak lagi kali, Bah ...” Ummi mengerucutkan bibirnya, “Abah mah sibuk terus.” Perempuan mana pun walau sudah tua akan terlihat manja dan bergantung bila di hadapan suaminya. “Manja kamu teh, Mi,” ucap Abah tanpa menoleh dari layar berukuran kurang lebih enam belas inchi.“Terserah!” jawab Ummi sedikit kesal. “Lihat deh, Abah, Abah! Aduhh... Ummi teh seneng pisan atuh, Bah... Alhamdulillah ...” Ummi mengguncang-guncang tubuh Abah kegira
(Bab 40)Ummi mengusap-usap punggung Raffa berupaya menenangkannya. Melihat putranya seperti itu membuat ummi merasa terenyuh.Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa Salwa mengalami ketuban kering. Jadi, Dokter menyarankan agar Salwa segera di operasi. Agar bayi di dalam kandungannya selamat.Tak kuasa dengan apa yang terjadi, Raffa hanya memasrahkan kepada-Nya dan mengatakan kepada dokter untuk melakukan yang terbaik demi keselamatan istri dan anaknya. “Sabar ya, Nak....”“Apa orang melahirkan selalu seperti itu, Mi?”Ummi menganggukkan kepalanya pelan.“Maafin semua kesalahan Raffa kiranya Raffa berdosa sama Ummi, ya ..”“Raffa baru tau, ternyata berat sekali perjuangan seorang ibu demi memberi gelar ayah untuk suaminya.”“Itu selalu, Nak. Ummi akan selalu memaafkan dan mendoakan semua kesalahan anak-anak Ummi.” “Apa Salwa akan selamat, Mi?” Salwa pendarahan sangat banyak ...”Mendengar pertanyaan Raffa yang konyol itu membuat Latief mencibir, “Lebay banget, sih. N
Berat sekali hari ini bagi Raffa. Jika dulu ia membawa tubuh istrinya ke kamar pengantin, tapi hari ini ia membawanya ke liang lahat. Detik detik kian menyiksa saat kakinya memijak tanah pemakaman, tempat berkumpulnya hari akhir para insan.Terdengar bisik-bisik iba dari para orang-orang mengenai dirinya. Belum genap setahun menikah, baru melahirkan, dan masih mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi Allah lebih dulu mengambil Salwa darinya. Entah takdir apa yang akan Allah berikan kepadanya. Allah membiarkan Raffa membesarkan kedua anak-anaknya seorang diri.“Aku mengazankan dua orang hari ini. Ya Allah, kenapa Kau memberikan satu nyawa kepadaku, jika Kau ambil nyawa lainnya dariku. Yaitu nyawa orang yang teramat aku cintai ...” gumamnya sambil meniti tanah yang basah.Hanya Raffa, Abah, Maryam dan Latief yang ikut mengantarkan Salwa ke peristirahatan terakhir. Sedangkan Ummi terbaring di kamarnya karena berulang kali beliau tak sadarkan diri. **“Bismillahirrahmaanirrahiim... or
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita