Hari-hari terus berlalu. Malam terus berganti. Harapan menjadi impian dan masa lalu menjadi kenangan. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik adalah perjuangan. Setiap waktu adalah menerjang langkah menghantam rasa pilu. Salwa meninggalkan masa lalu untuk ia raih dengan sabar atas takdir hidupnya.
“Ya ampun ini gimana pulangnya kalau ujan begini?” gumamnya. Dia menengadah ke langit dan merasakan tetes-tetes di tangannya. Baru saja Salwa turun dari bus Way. Perjalanan dari hotel ke halte dekat rumahnya. Tapi sepertinya perjalanannya terhenti cukup lama disini karena terhalang oleh hujan yang cukup deras.Menghela nafas dalam beberapa kali, sudah dua puluh lima menit lamanya Salwa menunggu. Entah sampai kapan hujan mereda. Sementara tubuhnya sudah teramat lelah. Kembali duduk, Salwa melamun memikirkan bagaimana caranya pulang. “Malam-malam sendiri disini?” Salwa pun berjingkat, menoleh ke arah samping tempat duduk yang tiba-tiba telah di duduki oleh seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan. Dalam diamnya, Salwa mengagumi. Bahwa pemilik suara itu, berparas tampan dan rupawan. “Maaf, aku ikut duduk disini.” Salwa tak menjawab sama sekali gumamnya. Dia hanya merespons dengan tersenyum dan menganggukkan kepala. “Hujannya semakin malam malah semakin deras,” terdengar pria itu menggerutu. “Jadi, kamu ngapain sendirian disini? Nanti ada orang jahat.” Salwa kembali menoleh ke samping. Namun sebelum menjawab, laki-laki itu malah kembali berucap. “Nggak takut?” Salwa kembali menggeleng, takut untuk apa? Memang begini pekerjaannya sehari-hari. Dunia malam adalah dunianya. Tak perlu khawatir. Dengan preman saja Salwa tak pernah takut. “Kamu diam saja? Kamu takut aku orang jahat? Tenang, aku bukan orang jahat,” lanjutnya lagi. Beranjak berdiri, lelaki itu mengatakan, “Yaudah, kamu tunggu di sini sebentar.” Laki-laki yang masih belum diketahui namanya itu tiba-tiba meninggalkan tempat duduk, menyisakan bangku yang kosong dan meninggalkan tas ranselnya yang menurut dari penglihatan mata Salwa, berisi cukup banyak barang. Salwa mengamati laki-laki itu yang berjalan cepat untuk menghindari kebasahan. Mendekati seorang penjual minuman seduh di seberang. Yang menjajakan dagangannya dengan memakai sepeda. Beberapa menit berlalu, laki-laki itu kembali dengan membawa dua cup minum yang masih berasap. “Hei, ini aku beli teh.” Dia menyodorkannya kepada Salwa, “Tenang, aku nggak kasih apa-apa di dalamnya kok. Ini aku beli sama pedagang yang itu.” tangannya menunjuk si pedagang yang masih berada di tempat yang tadi. Meskipun merasa kurang nyaman, Salwa pun menerimanya dengan gerak ragu. “Terima kasih.” Laki-laki yang belum diketahui namanya tersebut lantas menanggapi ucapan terima kasih Salwa dengan menganggukkan kepala dan sedikit tersenyum. Masih merasa ragu dengan teh hangat yang sedang ia peluk dengan jari-jarinya, Salwa menoleh. Mengamati lamat-lamat orang yang berada di sampingnya.Wajar ‘kan? Tentu saja ia masih dalam mode waspada. Bagaimanapun dia orang asing. Setidaknya, jika ada apa-apa terjadi dengannya, Salwa sudah memahami orang itu. Sebegitu konyolnya dia berpikir. Ini hanya satu gelas cup teh hangat, Salwa. “Kamu masih takut berbicara denganku ya?” tak berapa lama pria itu menyodorkan tangannya, “Oh iya, namaku Rafa.” Salwa menyambut uluran tangan orang yang bernama Rafa itu, “Namaku Salwa.” “Nama yang bagus, berarti ketenangan.” Salwa tertegun. Rafa mengetahui arti nama Salwa di luar kepalanya. “Apa nama kepanjangan nya?” Lagi-lagi, Salwa menatapnya dengan heran. Haruskah ia mengatakan nama kepanjangan nya dengan orang asing?Namun, beberapa detik kemudian Salwa mengatakan nama panjangnya. Dalam hatinya mengakui bahwa dia sudah mulai merasa nyaman dengan orang ini. Sepertinya, dia orang baik-baik. “Nurjannah.” “Ketenangan cahaya surga,” jawab Rafa dengan cepat, “arti namamu.” Kenapa bisa tahu? Batin Salwa. Salwa membenarkan ucapan Rafa barusan dengan senyum tipis dan anggukan kepala.Tapi, rasanya, ia malu dengan namanya sendiri. Terkadang, ia berpikiran ingin menggantinya saja karena nama itu karena tak sesuai dengan perilakunya.Ayah bilang, nama itu adalah pemberian dari almarhum ibu. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” Salwa menaikkan alisnya. “Pertanyaan yang mana?” “Kamu kenapa malam-malam sendirian disini?” “Aku habis pulang kerja.” “Kerja apa pulang sampai malam-malam begini?” Salwa menelan ludahnya susah payah. Kali ini dia kembali diam lantaran tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Apa perlunya orang ini tahu? Batinnya mengatakan demikian. “Tinggal di mana? Nanti pulangnya aku antar sampai depan rumah.” Ucapan Raffa sontak membuat Salwa mengerut. Sampai mau repot-repot mengantarkannya, memangnya Salwa anak kecil? “Nggak usah, aku tinggal di dekat sini kok.” “Iya dekat sininya di daerah mana?” “Cirendeu.” “Oh daerah situ. Aku juga mau ke bawah Situgintung.” Raffa menariktasnya dan mencari-cari sesuatu di sana.Selanjutnya, dia mengeluarkan benda persegi empat berwarna putih dan korek api. Sepertinya, Raffa akan merokok. “Maaf, kalau kamu tidak suka aku akan menyingkir.” “Nggak perlu, santai saja.” Ah iya, ngapain menyingkir. Terkena asap rokok bukannya sudah biasa? “Kamu ngapain bawa-bawatas ransel sebesar itu?” tanya Salwa. Terus terang, ia teramat penasaran. Dan salwa pikir, Raffa seperti orang yang sedang kabur dari rumah. “Kabur dari rumah?” “Pergi dari rumah Abi sama Umi.” Dari panggilannya saja Salwa bisa menilai bahwa, Raffa pasti lahir dari orang agamis. Tapi kenapa penampilannya sedikit brutal? Dan malah justru terlihat berantakan? “Oh, kamu lagi ada masalah?” “Ya.” jawab Raffa singkat, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi. “Wanita yang akan kunikahi, mengkhianatiku tanpa sebab. Dan aku memergokinya sendiri.” “Sakit.” sambil menunjuk bagian dadanya. “Hahahaaa…” Salwa mengernyit pada saat melihat Raffa menertawakan dirinya sendiri. “Manusia hidup memang gitu, kalau nggak meninggalkan, pasti ditinggalkan.” Masih dengan bergumam sendiri, Salwa melihat laki-laki yang kacau di sebelahnya menghabiskan batang rokok hingga habis setengah wadahnya.Dan ternyata hujan pun mereda pada saat hari menjelang pagi. Entah kenapa, Salwa seperti enggan untuk pergi. Sesaat, kenyamanan itu ia dapatkan. Raffa telah berhasil menularinya tawa. Menghiburnya dalam kesunyian. Salwa membuang bekas minumnya ke tong sampah. Ternyata minum teh hangat membuat tubuh Salwa menjadi lebih hangat dan perasaannya jauh lebih baik. “Nah itu angkot lewat.” tunjuk Raffa pada angkot yang berwarna biru bernomor empat kosong satu jurusan Cirendeu. Kenapa nggak dari tadi sih? gerutu Salwa dalam hati. Angkot di daerah ini memang beroperasi selama dua puluh empat jam. Biasanya mereka sering mangkal di terminal lebak bulus. Tapi tak bisa dipungkiri keadaan mereka sudah sangat jarang karena kebanyakan orang-orang zaman sekarang lebih menyukai atau menggunakan ojek online. “Tapi gimana dengan kamu Raff?” Tapi kenapa Salwa justru mengkhawatirkan Raffa? Laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. “Yaudah, aku ikut. Nanti aku berhenti di gang yang mau masuk Situgintung.” Walaupun bukan jurusannya, tapi langkah Raffa mengikuti Salwa yang masuk ke dalam angkot itu. Keduanya lantas duduk dan duduk bersebelahan. “Sepertinya kamu kedinginan.” Salwa memperhatikan Raffa yang sedang melepas jaket yang dipakainya. “Kamu pakai ini, ya.” “Nggak usah,” tolak Salwa cepat. “Sebentar lagi juga pasti nyampe.” “Sudah, pakai saja.” Raffa langsung mengalungkan jaketnya kepada Salwa. Salwa menatap Raffa dengan senyum hangat. Salwa senang diperhatikan seperti ini, merasa dispesialkan. “Terima kasih Raffa.” Raffa mengangguk sebelum membuang tatapannya ke arah jalanan. “Masih jauh?” tanya Raffa tanpa menoleh. “Aku berhenti di pos polisi.” “Oh ....” Entah kenapa Raffa pun merasa kehilangan karena sebentar lagi pasti angkutan akan ini berhenti menurunkan Salwa. Itu berarti sudah waktunya mereka berpisah. “Aku dah hampir sampai, ini jaketnya,” Salwa mengembalikan jaket itu. “Ini lumayan membuat tubuhku sedikit hangat.” Raffa terpaksa menerimanya meskipun seperti tak rela. “Harusnya kamu pakai saja.” Salwa menggeleng. “Hati-hati Salwa.” “Iya, Raffa kamu juga!” serunya karena posisi Salwa sudah turun dari mobil. Meninggalkan Raffa yang masih saja menatapnya. Seolah ada yang terlupa, Raffa menyesali sesuatu. Ya, penyesalan memangselalu datang terlambat. Raffa lupa meminta atau meninggalkan nomor teleponnya.Namun, ia telah mengetahui nama indah yang mungkin tak pernah bisa ia lupa. Salwa nurjannah. Ketenangan cahaya surga. Harapan terbesarnya, suatu saat nanti ia bisa bertemu lagi.Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya. Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. “Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-b
“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be
“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t
Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru
Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya