Hari-hari terus berlalu. Malam terus berganti. Harapan menjadi impian dan masa lalu menjadi kenangan. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik adalah perjuangan. Setiap waktu adalah menerjang langkah menghantam rasa pilu. Salwa meninggalkan masa lalu untuk ia raih dengan sabar atas takdir hidupnya.
“Ya ampun ini gimana pulangnya kalau ujan begini?” gumamnya. Dia menengadah ke langit dan merasakan tetes-tetes di tangannya. Baru saja Salwa turun dari bus Way. Perjalanan dari hotel ke halte dekat rumahnya. Tapi sepertinya perjalanannya terhenti cukup lama disini karena terhalang oleh hujan yang cukup deras.Menghela nafas dalam beberapa kali, sudah dua puluh lima menit lamanya Salwa menunggu. Entah sampai kapan hujan mereda. Sementara tubuhnya sudah teramat lelah. Kembali duduk, Salwa melamun memikirkan bagaimana caranya pulang. “Malam-malam sendiri disini?” Salwa pun berjingkat, menoleh ke arah samping tempat duduk yang tiba-tiba telah di duduki oleh seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan. Dalam diamnya, Salwa mengagumi. Bahwa pemilik suara itu, berparas tampan dan rupawan. “Maaf, aku ikut duduk disini.” Salwa tak menjawab sama sekali gumamnya. Dia hanya merespons dengan tersenyum dan menganggukkan kepala. “Hujannya semakin malam malah semakin deras,” terdengar pria itu menggerutu. “Jadi, kamu ngapain sendirian disini? Nanti ada orang jahat.” Salwa kembali menoleh ke samping. Namun sebelum menjawab, laki-laki itu malah kembali berucap. “Nggak takut?” Salwa kembali menggeleng, takut untuk apa? Memang begini pekerjaannya sehari-hari. Dunia malam adalah dunianya. Tak perlu khawatir. Dengan preman saja Salwa tak pernah takut. “Kamu diam saja? Kamu takut aku orang jahat? Tenang, aku bukan orang jahat,” lanjutnya lagi. Beranjak berdiri, lelaki itu mengatakan, “Yaudah, kamu tunggu di sini sebentar.” Laki-laki yang masih belum diketahui namanya itu tiba-tiba meninggalkan tempat duduk, menyisakan bangku yang kosong dan meninggalkan tas ranselnya yang menurut dari penglihatan mata Salwa, berisi cukup banyak barang. Salwa mengamati laki-laki itu yang berjalan cepat untuk menghindari kebasahan. Mendekati seorang penjual minuman seduh di seberang. Yang menjajakan dagangannya dengan memakai sepeda. Beberapa menit berlalu, laki-laki itu kembali dengan membawa dua cup minum yang masih berasap. “Hei, ini aku beli teh.” Dia menyodorkannya kepada Salwa, “Tenang, aku nggak kasih apa-apa di dalamnya kok. Ini aku beli sama pedagang yang itu.” tangannya menunjuk si pedagang yang masih berada di tempat yang tadi. Meskipun merasa kurang nyaman, Salwa pun menerimanya dengan gerak ragu. “Terima kasih.” Laki-laki yang belum diketahui namanya tersebut lantas menanggapi ucapan terima kasih Salwa dengan menganggukkan kepala dan sedikit tersenyum. Masih merasa ragu dengan teh hangat yang sedang ia peluk dengan jari-jarinya, Salwa menoleh. Mengamati lamat-lamat orang yang berada di sampingnya.Wajar ‘kan? Tentu saja ia masih dalam mode waspada. Bagaimanapun dia orang asing. Setidaknya, jika ada apa-apa terjadi dengannya, Salwa sudah memahami orang itu. Sebegitu konyolnya dia berpikir. Ini hanya satu gelas cup teh hangat, Salwa. “Kamu masih takut berbicara denganku ya?” tak berapa lama pria itu menyodorkan tangannya, “Oh iya, namaku Rafa.” Salwa menyambut uluran tangan orang yang bernama Rafa itu, “Namaku Salwa.” “Nama yang bagus, berarti ketenangan.” Salwa tertegun. Rafa mengetahui arti nama Salwa di luar kepalanya. “Apa nama kepanjangan nya?” Lagi-lagi, Salwa menatapnya dengan heran. Haruskah ia mengatakan nama kepanjangan nya dengan orang asing?Namun, beberapa detik kemudian Salwa mengatakan nama panjangnya. Dalam hatinya mengakui bahwa dia sudah mulai merasa nyaman dengan orang ini. Sepertinya, dia orang baik-baik. “Nurjannah.” “Ketenangan cahaya surga,” jawab Rafa dengan cepat, “arti namamu.” Kenapa bisa tahu? Batin Salwa. Salwa membenarkan ucapan Rafa barusan dengan senyum tipis dan anggukan kepala.Tapi, rasanya, ia malu dengan namanya sendiri. Terkadang, ia berpikiran ingin menggantinya saja karena nama itu karena tak sesuai dengan perilakunya.Ayah bilang, nama itu adalah pemberian dari almarhum ibu. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” Salwa menaikkan alisnya. “Pertanyaan yang mana?” “Kamu kenapa malam-malam sendirian disini?” “Aku habis pulang kerja.” “Kerja apa pulang sampai malam-malam begini?” Salwa menelan ludahnya susah payah. Kali ini dia kembali diam lantaran tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Apa perlunya orang ini tahu? Batinnya mengatakan demikian. “Tinggal di mana? Nanti pulangnya aku antar sampai depan rumah.” Ucapan Raffa sontak membuat Salwa mengerut. Sampai mau repot-repot mengantarkannya, memangnya Salwa anak kecil? “Nggak usah, aku tinggal di dekat sini kok.” “Iya dekat sininya di daerah mana?” “Cirendeu.” “Oh daerah situ. Aku juga mau ke bawah Situgintung.” Raffa menariktasnya dan mencari-cari sesuatu di sana.Selanjutnya, dia mengeluarkan benda persegi empat berwarna putih dan korek api. Sepertinya, Raffa akan merokok. “Maaf, kalau kamu tidak suka aku akan menyingkir.” “Nggak perlu, santai saja.” Ah iya, ngapain menyingkir. Terkena asap rokok bukannya sudah biasa? “Kamu ngapain bawa-bawatas ransel sebesar itu?” tanya Salwa. Terus terang, ia teramat penasaran. Dan salwa pikir, Raffa seperti orang yang sedang kabur dari rumah. “Kabur dari rumah?” “Pergi dari rumah Abi sama Umi.” Dari panggilannya saja Salwa bisa menilai bahwa, Raffa pasti lahir dari orang agamis. Tapi kenapa penampilannya sedikit brutal? Dan malah justru terlihat berantakan? “Oh, kamu lagi ada masalah?” “Ya.” jawab Raffa singkat, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi. “Wanita yang akan kunikahi, mengkhianatiku tanpa sebab. Dan aku memergokinya sendiri.” “Sakit.” sambil menunjuk bagian dadanya. “Hahahaaa…” Salwa mengernyit pada saat melihat Raffa menertawakan dirinya sendiri. “Manusia hidup memang gitu, kalau nggak meninggalkan, pasti ditinggalkan.” Masih dengan bergumam sendiri, Salwa melihat laki-laki yang kacau di sebelahnya menghabiskan batang rokok hingga habis setengah wadahnya.Dan ternyata hujan pun mereda pada saat hari menjelang pagi. Entah kenapa, Salwa seperti enggan untuk pergi. Sesaat, kenyamanan itu ia dapatkan. Raffa telah berhasil menularinya tawa. Menghiburnya dalam kesunyian. Salwa membuang bekas minumnya ke tong sampah. Ternyata minum teh hangat membuat tubuh Salwa menjadi lebih hangat dan perasaannya jauh lebih baik. “Nah itu angkot lewat.” tunjuk Raffa pada angkot yang berwarna biru bernomor empat kosong satu jurusan Cirendeu. Kenapa nggak dari tadi sih? gerutu Salwa dalam hati. Angkot di daerah ini memang beroperasi selama dua puluh empat jam. Biasanya mereka sering mangkal di terminal lebak bulus. Tapi tak bisa dipungkiri keadaan mereka sudah sangat jarang karena kebanyakan orang-orang zaman sekarang lebih menyukai atau menggunakan ojek online. “Tapi gimana dengan kamu Raff?” Tapi kenapa Salwa justru mengkhawatirkan Raffa? Laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. “Yaudah, aku ikut. Nanti aku berhenti di gang yang mau masuk Situgintung.” Walaupun bukan jurusannya, tapi langkah Raffa mengikuti Salwa yang masuk ke dalam angkot itu. Keduanya lantas duduk dan duduk bersebelahan. “Sepertinya kamu kedinginan.” Salwa memperhatikan Raffa yang sedang melepas jaket yang dipakainya. “Kamu pakai ini, ya.” “Nggak usah,” tolak Salwa cepat. “Sebentar lagi juga pasti nyampe.” “Sudah, pakai saja.” Raffa langsung mengalungkan jaketnya kepada Salwa. Salwa menatap Raffa dengan senyum hangat. Salwa senang diperhatikan seperti ini, merasa dispesialkan. “Terima kasih Raffa.” Raffa mengangguk sebelum membuang tatapannya ke arah jalanan. “Masih jauh?” tanya Raffa tanpa menoleh. “Aku berhenti di pos polisi.” “Oh ....” Entah kenapa Raffa pun merasa kehilangan karena sebentar lagi pasti angkutan akan ini berhenti menurunkan Salwa. Itu berarti sudah waktunya mereka berpisah. “Aku dah hampir sampai, ini jaketnya,” Salwa mengembalikan jaket itu. “Ini lumayan membuat tubuhku sedikit hangat.” Raffa terpaksa menerimanya meskipun seperti tak rela. “Harusnya kamu pakai saja.” Salwa menggeleng. “Hati-hati Salwa.” “Iya, Raffa kamu juga!” serunya karena posisi Salwa sudah turun dari mobil. Meninggalkan Raffa yang masih saja menatapnya. Seolah ada yang terlupa, Raffa menyesali sesuatu. Ya, penyesalan memangselalu datang terlambat. Raffa lupa meminta atau meninggalkan nomor teleponnya.Namun, ia telah mengetahui nama indah yang mungkin tak pernah bisa ia lupa. Salwa nurjannah. Ketenangan cahaya surga. Harapan terbesarnya, suatu saat nanti ia bisa bertemu lagi.Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya. Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. “Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-b
“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be
“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t
Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru
Salwa merenung. Seandainya malam itu ia mendengarkan kata-kata Raffa dan tak pergi dari hotel meninggalkannya, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.Pun jika Raffa tak mau bertanggung jawab, setidaknya Raffa tahu bahwa ada anaknya yang tumbuh di dalam rahimnya.Sekarang ia bingung harus mencari ke mana. Salwa tidak tahu di mana Raffa tinggal karena pada saat itu, karenaalamat yang Raffa gunakan untuk bertemu, langsung di hotel X. Waktu pertama kalinya Salwa bertemu dengan Raffa di Halte, Raffa bilang dia tinggal di gang bawah Situ Gintung. Tapi, kalau dipikir-pikir, Situ Gintung itu sangat luas. Bagaimana caranya mencari?Mungkinkah dia akan mengetuk pintu dari rumah ke rumah yang dan menanyakannya satu persatu? Lagi pula Raffa waktu itu hanya kabur. Mungkin saja laki-laki itu kini telah kembali ke rumahnya.Salwa menyesal karena tak mengetahui alamatnya secara pasti. Sekarang, ia harus meminta pertanggung jawaban kepada siapa?Siapa juga yang mau hidup dengannya yang notabenenya
Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita