Flashback enam tahun lalu.
Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, salah satu dari beberapa wanita malam itu masih setia menghirup asap kenikmatan di sebuah taman yang terletak di gerbang ibukota. Menunggu pria berdompet tebal yang sudah menghubunginya beberapa menit yang lalu.Harap-harap cemas menunggu pria itu datang. Berdiri gelisah tak tenang. Sorot matanya selalu menyapu bersih sekitar. Memastikan bahwa tak ada bahaya yang mengancam.Tak jarang, penggerebekan oleh Satpol PP dilakukan. Karena menurut media informasi. Keberadaan mereka mengganggu kenyamanan ketertiban umum. Selain taman ini berada di tepi jalan utama, tempat ini juga protokol kebanggaan masyarakat. Sekaligus dekat dengan pemukiman warga. Yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada anak-anak.“Jadi dateng nggak sih orang itu?” tanya Salwa kepada Jihan, teman di sebelahnya. Namun yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Juga tengah sibuk dengan batang rokoknya sendiri.“Kalau nggak dateng, adik gue nggak bisa makan,” katanya lagi meratapi nasibnya yang malang. Matanya mengembun mengharap ampunan Tuhan untuknya yang terpaksa menjalani pekerjaan haram seperti ini.Salwa tak punya jalan lain. Ia mempunyai adik yang sedang sakit. Sakit dalam arti lain keterbelakangan mental. Tumbuh kembangnya sangat berbeda dengan anak-anak seusianya.Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Untuk makanannya, untuk membeli pampersnya, dan biaya yang lain-lain. Malah terkadang, adik laki-laki yang bernama Sammy itu (sekarang sudah berusia sepuluh tahun) sering kejang mendadak. Dan harus cepat dibawa ke rumah sakit. Mau tak mau ia harus siap dengan biayanya, tak peduli kantong.Seperti biasa, jika malam ini tak ada yang mau menggunakan jasanya, ia hanya pulang membawa rasa kantuk dan kekecewaan.“Ini sih nggak dateng deh, Ji. Kayaknya emang laki-laki itu bohong mau nemuin aku. Betewe, aku pulang aja, ya.” Sudah terbiasa ia dibuat menunggu seperti ini. Tidak merasa kaget. “Aku ninggalin adikku yang aku kunciin di dalam.”Sebab bila tak dikunci atau tak berada dalam pengawasannya, Sammy akan keluar dari besi pembatas. Pergi entah ke mana. Membuat orang-orang di sekitar takutkan.“Oh ya udah Sal, ati-ati ya di jalan. Kamu naik apa?”“Ojek aja, Ji …”Seperti kalong, siang ia gunakan untuk tidur, malam ia gunakan untuk mencarikan mangsa. Ia jarang berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Hampir semua orang sudah tahu statusnya dan apa pekerjaannya. Menghindar dari cemoohan orang-orang adalah cara terbaik.***“Sammy!” panggilnya tigakali. Namun dia masih terus memanggil Sammy agar anak itu menatapnya. Tapi sayangnya anak itu tetap tak menghiraukannya dan malah berbicara sendiri. Salwa sangat kesal karena yang dilakukan Sammy hanyalah mengobrak-abrik isi rumah.“Kesal aku Ya Tuhannn ...,” desahnya sangat nelangsa. “Kenapa aku di titipin adik kayak gini....” sesak sedih ia tumpahkan di pojok kamarnya. Nasi yang baru ia tumpuk dengan sayur dan sambal tergeletak begitu saja. Tak ada lagi yang terasa asin dan manis di lidahnya yang berganti dengan rasa hambar.Malam ini hati terasa gundah, sehingga ia menemui temannya untuk sekedar bercerita.“Aku pengen berhenti dari pekerjaan ini, Ji …,” ucapnya sambil menyusut air mata dengan punggung tangannya. Perih dan sakit.“Sama aku juga, pengen menjalani hidup normal kayak yang lainnya.”Salwa duduk mendekati Jihan. Kali ini mereka bukan sedang di tempat mangkal, tapi sedang tiduran berdua di kosan Jihan. “Sampai kapan ya, nasib kita akan berubah?”“Entahlah Sal, aku juga nggak tau. Yang penting jangan sampai kiamat duluan ah. Ngeri. Pengennya si meninggal sesudah taubat. Biar husnul khatimah seperti kata Ustadz-Ustadz yang ada di tipi-tipi tuh.”Salwa menoleh ke arah Jihan. Penasaran dengan arti kalimat itu, “Apa artinya?”“Husnul khotimah itu akhir yang baik. Jaminannya masuk surga.”“Apa perempuan rusak kayak kita bisa jadi penghuni surga?” Salwa tersenyum pahit. Baginya dunia dan akhirat sudah tidak ada bedanya baginya. Suram.“Katanya Tuhan itu maha pengampun, maha baik, maha segala-galanya.”Tak menyetujui apa yang Jihan ucapkan, Salwa pun melayangkan protes. “Kalau Tuhan maha baik, kenapa Tuhan nggak baik sama kita ya, Ji?”Mana yang katanya Tuhan maha baik. Buktinya, ia merasa hidupnya begitu-begitu saja pikirnya. Kalau Tuhan itu maha baik, kenapa dirinya selalu ditakdirkan hidup sengsara?Tadinya, ia pernah bekerja menjadi waiters di sebuah restoran, di cafe-cafe, jadi cleaning service, jadi ART, dan masih banyak lagi. Sangat menguras waktu, tapi hasil yang ia terima tak seberapa. Tak cukup untuk biaya mereka sehari-hari apalagi untuk berobat Sammy.Bahkan sebelum ia bekerja seperti ini, hutangnya sangat menumpuk.“Nggak enak rasanya,” lanjut Salwa lagi.Menjadi seorang kupu-kupu malam sama dengan menjebloskan diri ke dalam jurang yang amat curam. Karena harga diri mereka sudah sangat tercoreng. Dipandang sebelah mata, dijauhi oleh orang sekitar, juga sulit mendapatkan pasangan hidup.“Kita mudah mendapatkan dalam waktu semalam. Tapi uang itu juga langsung lenyap entah ke mana.”“Itu karena duit kita haram, nggak berkah. Jadi cepet habis,” jawab Jihan.“Tau dari mana kamu?”“Kan sering ngaji.”“Ngaji di mana?”“Di internet lah. Jaman sekarang apa sih, yang nggak bisa.”Salwa tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.“Ayah kamu masih belum ada kabarnya?” tanya Jihan lagi.“Nggak Ji,” Salwa menatap langit-langit kamar dengan senyum sumbang.Menjadi pezina adalah perbuatan dosa yang membuat pelakunya merasa tak pernah tenang, bingung, resah, gelisah serta khawatir.Tapi ia sendiri tak mengerti apa yang sedang ia khawatirkan. Perasaan yang menurutnya begitu aneh. Dan itu akan terjadi mungkin sepanjang hidupnya sebelum ia benar-benar bertaubat. “Aku semakin yakin kalau ayahku pasti sudah mati. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau akan pulang.”Jihan merangkul temannya, “Walaupun ayah kamu udah mati, kamu masih jauh lebih beruntung bisa ngeliat ayahmu. Aku malah nggak tau ayahku sama sekali.”Jihan tumbuh di lingkungan sempit. Yang Jihan tahu, dia hanya mempunyai seorang ibu tapi sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan itu pun, mempunyai pekerjaan yang sama sepertinya.“Aku mau pinjam uang,” kata Salwa sangat merasa tidak enak. “Kamu ada?”“Ada,” jawab Jihan tanpa merasa keberatan karena dia tahu Salwa sangatbutuh uang ini. Lantas segera membuka tasnya untuk mengeluarkan uang.“Nggak papa nih?” tanya Salwa. Dia menggenggam dengan ragu beberapa lembar uang ratusan yang Jihan pinjamkan. “Kamu masih ada simpanan kan?”“Iya tenang aja, kan aku hidup sendiri. Untuk beli apa-apa kayaknya masih cukup,” jawab Jihan.“Pakailah, kalian hidup berdua. Kamu pasti akan bingung mau pinjam ke mana kalau nggak sama aku. Coba lihat orang-orang sekitar? Memangnya ada yang mau peduli?”“Jangan karena kamu nolongin aku kamu jadi ngorbanin diri kamu sendiri Ji. Aku nggak enak di pinjemin segini.” Sahut Salwa.“Kamu bisa gantiin itu dalam semalam. Sebentar lagi mau tahun baru, pasti banyak job.”“Makasih ya Ji.”“Sama-sama.” Jihan tersenyum.Hari-hari terus berlalu. Malam terus berganti. Harapan menjadi impian dan masa lalu menjadi kenangan. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik adalah perjuangan. Setiap waktu adalah menerjang langkah menghantam rasa pilu. Salwa meninggalkan masa lalu untuk ia raih dengan sabar atas takdir hidupnya. “Ya ampun ini gimana pulangnya kalau ujan begini?” gumamnya. Dia menengadah ke langit dan merasakan tetes-tetes di tangannya. Baru saja Salwa turun dari bus Way. Perjalanan dari hotel ke halte dekat rumahnya. Tapi sepertinya perjalanannya terhenti cukup lama disini karena terhalang oleh hujan yang cukup deras.Menghela nafas dalam beberapa kali, sudah dua puluh lima menit lamanya Salwa menunggu. Entah sampai kapan hujan mereda. Sementara tubuhnya sudah teramat lelah. Kembali duduk, Salwa melamun memikirkan bagaimana caranya pulang. “Malam-malam sendiri disini?” Salwa pun berjingkat, menoleh ke arah samping tempat duduk yang tiba-tiba telah di duduki oleh seorang pemuda berusia
Merasa berbunga-bunga saat Salwa turun dari mobil angkutan. Dan inikah yang namanya jatuh cinta? Salwa menyukai perasaan itu. Menyukai sikap pria itu yang begitu peduli terhadapnya. Namun ia sadar diri siapa dirinya yang hanya seorang kupu-kupu malam yang bernoda dan kotor. Siapalah yang mau dengannya, menerima keadaan ini.“Aku nggak pantas bersanding dengan siapa pun. Jadi jangan terlalu banyak bermimpi. Jangan, Salwa! Cukup hidup sendiri, jangan pikirkan cinta supaya kamu nggak kecewa."Setelah Salwa tiba di rumah, ia langsung membersihkan diri, lalu mengurus rumah. Yang lagi-lagi, sudah terlihat berantakan. Siapa lagi kalau bukan karena Sammy. Setelah semuanya selesai, lanjut membersihkan tubuh Sammy, menggantikannya pampersnya, dan memberinya makan malam yang sempat terlewat. Dari cara makan Sammy yang sedang disuapinya, Sammy terlihat begitu kelaparan. Dua piring nasi langsung tandas dilahapnya dalam waktu cepat. “Maafin kakak ya Sam, karena telat ngasih kamu makan. Besok-b
“Awal mula cerita itu gimana, pak?” tanya salah satu warga kepada pak RT. “Jadi pak Dahlan itu melapor kepada saya, katanya dek Sammy itu teriak-teriak keras di dalam rumah. Jadi kami kumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumahnya. Trus karena pintu dikunci, jadilah terpaksa kami dobrak.” “Tapi rupanya pas kami sentuh pergelangan tangannya, sudah nggak ada denyut nadinya lagi. Kemungkinan sebelumnya dia mengalami kejang yang cukup lama.” “Astaghfirullahaladzim …” sebut bapak-bapak yang bertanya tersebut. “Memangnya kakaknya lagi ada di mana?” “Dia kalau malam suka pergi, pulangnya pagi,” sahut yang lain. “Jangan diperpanjang, ini lagi dalam kondisi berkabung,” ucap pak RT yang membuat semua bapak-bapak langsung terdiam. Semua sudah tahu siapa Salwa dan pekerjaannya, jadi tak perlu diperjelas lagi. Proses pemakaman baru saja selesai. Beberapa warga juga sudah pulang dan hanya menyisakan Salwa yang masih terdengar tersedu-sedu dalam kesendiriannya. Dia masih mengajak Sammy be
“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” “Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.” Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” “Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. “Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.” Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” “Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. “Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” “Ini yang t
Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. N
“Apa Tuhan mau mengampuni dosa-dosaku Ummi?” lirih Salwa setengah putus asa. “Tentu diampuni, Allah itu maha pengampun, ” kata Ummi menjelaskan. Namun ada setitik penasaran mengenai Salwa dan masa lalunya. Bukankah itu wajar? “Memangnya, kalau boleh Ummi tau, dosa besarapa yang sudah kamu perbuat?” Salwa mengusap pipi dengan punggung tangannya sebelum akhirnya ia berucap lirih, “Aku mantan--” lama Salwa menjeda kalimatnya sehingga Ummi mengetahui lebih dulu apa yang Salwa maksud. “Ya sudah, jangan dilanjutkan, Ummi sudah tau.” Beliau berkata lembut dan mengusap pundaknya pelan. Tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut beliau, karena setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.Dan kelihatannya Salwa anak yang baik. Justru karena keinginan kuat untuk berubah yang membuat beliau bangga kepada anak ini. “Mungkin kamu mempunyai alasan yang kuat penyebab kamu melakukan hal ini,” beliau berusaha membesarkan hatinya. “Allah tidak melihat siapa dia di masa lalu. Tapi Allah melihat sia
“Syukurlah, jadi aku nggak perlu jauh-jauh ke seberang kalau Mbak salwa bisa.” “Secepatnya langsung saya kerjakan, Mbak Dini.” “Wah berarti bisa cepat diambil dong.” “Kurang dari seminggu insyaallah sudah beres.” “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak Salwa…” “Iya silahkan.” Setelah Dini pergi, Salwa langsung segera mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Lumayan, tidak ke mana-mana tapi masih bisa mendapatkan penghasilan. Dia juga tak terlalu banyak pengeluaran karena hanya dirinya seorang sekarang. Kaki Salwa terus berguncang menggerakkan mesin setelah ia mencoret-coret bahan dengan kapur dan memotongnya sesuai garis ukuran.Tersedia juga mesin obras di sampingnya bekas milik ibunya dulu. Kebetulan masih tersimpan rapi di gudang dan masih layak pakai. Memang terdengar sedikit aneh, mesin jahit dijual, tapi mesin obras masih disimpan huhh, keluhnya. Hari berganti sore, matahari mulai bergeser mengarah ke barat. Sudah waktunya ia berangkat ke rumah Ummi Nia untuk m
Mata itu membelalak sempurna melihat kalender yang kini sedang berada di tangannya. Bagian angka yang biasa Salwa lingkari ternyata telah lewat satu minggu lamanya.Antara bingung, takut, cemas was-was bercampur menjadi satu membuat tubuhnya bergetar hebat. Isak tangis tak dapat lagi ia tahan, tatkala membayangkan apa yang akan dilakukannya bila dugaannya adalah benar. Tapi kalau Salwa ingat-ingat dan pikir-pikir lagi … astaga! Lagi-lagi jantungnya seperti terjun bebas dari ketinggian.Salwa baru ingat malam itu, karena terlalu terburu-buru Raffa menariknya ke dalam kamar, laki-laki itu bertindak semaunya sesuka hati karena merasa berhak atas diri Salwa atas nama uang. Paginya, Salwa kabur dan langsung tidur seharian selama sebelas jam lamanya. Salwa melupakan sesuatu yang biasanya ia minum.Dan waktu itu sedang dalam masa-- astaghfirullah…apalagi ini? Kenapa pada saat ia akan berubah masalah besar malah datang menghampiri? Tenang Salwa, tenang! ujarnya terus meyakinkan diri, beru