Raffa baru saja melaksanakan empat rakaat pagi setelah terbit matahari. Tangannya melipat sajadah tempatnya bersujud memasrahkan diri. Lalu menaruhnya ke tempat yang tersedia. Ia menghampiri tempat favoritnya yaitu perpustakaan besar, yang tingginya lebih dari tubuhnya. Tatapannya mengarah ke atas. Melihat banyaknya kitab-kitab yang berderet rapi. Yang telah ia pelajari semua tanpa terlewat. Mula-mula dari Raffa kecil sampai ia menimba ilmu di Yaman, hingga sampai sekarang ini.Bila ada yang bertanya seberapa pentingnya buku-buku itu dalam hidupnya, Raffa bahkan rela tak mempunyai apa-apa dibandingkan harus kehilangan buku-bukunya. Bisa di katakan buku-bukunya adalah harta terbesarnya di dalam hidup.Tangan itu mengambil salah satu dari mereka. Tebal bersampul hijau dan sisi-sisinya bertuliskan arab dengan tinta warna keemasan. Namun ia terlebih dahulu meniup sampulnya sebelum ia membuka lembar buku.“Fuhh!”Sampai berdebu tebal seperti itu. Biasanya, Salwa yang rajin membersihkanny
“Hallo ...”Terdengar suara Priscilla dari seberang.“Assalamualaikum, Cilla.”“Ah iya, maaf Ustaz.Sampai lupa nggak ngucapin salam dulu. Emm Waalaikumsalam...”“Ada apa ya, Cil?”“Aku ... aku mau bicara. Apa kamu sedang sibuk?”“Insya Allah nggak kalau sekarang,” jawab Raffa pelan.“Aku dah nanya sama Mami aku, tapi mami aku. Tapi Mami aku keliatan nggak nyaman saat aku tanyain hal itu. Beliau justru malah mengalihkan pembicaraan.”“Apa beliau terlihat gugup?”“Ya. Banget. Aku juga nggak tau gimana caranya supaya Mami bersikap tenang dan mau terbuka soal itu. Karena aku yakin, dari gesture tubuhnya, beliau nggak jujur. keliatan banget ...”Mungkin bisa saja mami Priscill mnyembunyikannya karena takut kehilangan, pikir Raffa.“Sepertinya kita butuh bantuan orang lain untuk menyelidikinya.”“Kalau Papi, sudah kamu tanyakan?” tanya Raffa selanjutnya.“Belum, soalnya Papi pulangnya malam terus. Nggak mungkin 'kan, aku bertanya sama beliau dalam keadaan capek."Tapi nunggu sampai Papi ngga
Raffa dan Pak Jo melanjutkan perjalanan ke rumah. Meski masih padat, namun tidak sepadat satu jam yang lalu.Keduanya sedang berbincang mengenai kedua wanita tadi. Juga di iringi tawa di sela-sela perbincangan mereka. Seru sekali. Kalau di pikir-pikir, semakin aneh saja dunia jaman sekarang, yang di mana perempuan tak lagi merasakan malu. Padahal hakikatnya perempuan haruslah mempunyai rasa malu. Mampu menjaga diri dan menjaga pandangan dari laki-laki lain yang bukan muhamnya.Sangat ekstrem sekali. Seorang ibu, malah menawarkan anaknya sendiri kepada orang tak di kenal.Namun mungkin masih lebih baik. Sebab, wanita paruh baya itu menawarkan anak perempuannya kepada orang yang tepat. Bayangkan bila wanita paruh baya itu menawarkan anaknya kepada laki-laki yang banyak duitnya. Tapi hidungnya belang dan perutnya buncit. Hiiiiyyy. Ngeri sekali.“Jadi Pak Raffa nggak mau?” ujar Pak Jo sambil terkekeh.“Saya belum siap menikah lagi. Apalagi sama orang nggak dikenal. Buntut saya udah dua,
Fery tersenyum getir. Dia kembali berdiri karena Priscilla tak kunjung menjawab lamarannya. Wanita itu diam membisu dan terlihat begitu bimbang. Layaknya seperti memberatkan sesuatu.Ya Tuhan, jantungnya benar-benar dag dig dug der. Dadanya seakan sesak seperti terhimpit beban yang besar di dalam sana.Apakah benar ia akan di permalukan di depan umum oleh Priscilla? Kekasih yang sudah di pacarinya selama bertahun-tahun?“Kamu hanya perlu menjawab iya, atau tidak Cill ...” ucap Fery pelan. Sampai kapan pun Fery tidak akan pernah siap mendengarkan penolakan Priscilla. Ah, semoga saja tidak.Dan akhirnya Priscilla mengangguk setelah terdiam selama beberapa saat.Memejemkan matanya sejenak Priscilla menjawab “Ya, aku mau ...”Sorak gembira para teman-teman semua yang ikut menghadiri lamaran suprise itu. Fery mengeluarkan cincin yang di tengahnya terdapat permata yang indah. Lalu memasukkannya ke jari manis Priscilla. Laki-laki itu lantas memeluk mesra Priscilla setelahnya. Bersyukur karen
Cilla POV.Bingung. Apa yang harus aku lakukan dengan anak-anak Raffa yang kini berada di hadapanku? Aku seperti mempunyai ikatan batin yang kuat. Mereka tidak asing denganku. Hatiku mengatakan kami dekat. Tapi karena apa?“Mama jangan pergi lagi, yaa...”Ucapan anak laki-laki yang berumuran sekitar tujuh tahunan ini benar-benar membuat hatiku teriris. Hingga tanpa sadar bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Bagaimana mungkin anak-anak sekecil ini telah kehilangan ibunya untuk selama-lamanya?Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya menjadi mereka. Apalagi Raffa yang menghadapinya setiap hari. Pasti hari-hari yang dia lalui, tidaklah mudah. Meskipun aku yakin, Tuhan mempunyai alasan yang kuat di balik semua ini. “Nggak, Sayang.” aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan mereka. Tidak mungkin aku mematahkan hati anak-anak yang terus saja menatapku dengan penuh pengharapan.Semakin lama pelukan kedua anak-anak ini semakin mengerat tanpa ada yang mau melepas. Sembari aku te
Author POV.“Mi...” panggil Raffa pelan. Ummi masih diam saja semenjak kepergian Priscilla. Tentu karena jawaban Priscilla yang beliau dengar barusan. Bahwa Priscilla, sudah memiliki calon sendiri.Raffa mengelus pundak Ummi yang berdiri membelakanginya. Posisinya menghadap keluar dinding kaca. Matanya menerawang jauh melihat lampu-lampu malam yang bersinar bertebaran dari lantai lima.“Ummi....”Ummi membalikkan tubuhnya menatap sang putra, “Apa kamu nggak kecewa seperti Ummi?” Raffa menggeleng pelan, “Nggak seharusnya Ummi berkata seperti itu tadi.”“Hati Ummi sakit melihatnya, Nak. Apalagi setelah melihat reaksi anak-anak pada Cilla. Ummi ingin sekali bisa memilikinya,” lirih Ummi yang tenggorokannya seperti tercekat. Tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan putranya selama ini.“Sebelumnya Raffa memang sudah tau saat pertama kali Raffa bertemu dengannya. Kami memang bertemu saat Priscilla sudah membawa pasangan,” jelas Raffa.“Kenapa kamu nggak bilang?”“Sudah, tapi mungkin Um
Raffa menanggapinya dengan raut wajah yang tenang. Emosi yang tersulut pada wajah laki-laki itu sama sekali tak membuatnya ikut terpancing.Bukan tak bisa melawan, tapi ia hanya sedang menghindari keributan. Selain ini tempat umum, mungkin sebagian orang juga telah banyak yang mengenalnya.Sangat memalukan jika orang-orang sampai menilai buruk tentangnya yaitu 'memperebutkan seorang perempuan' yang bisa saja menjadi berita di berbagai media. “Aku tau kamu mampu mendapatkan perempuan yang lebih dari Cilla. Carilah perempuan lain. Jangan ambil Cilla dariku.” Laki-laki itu terus saja menyudutkannya tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu kepada Raffa.“Tidak pantas, seorang tokoh agama menikung perempuan yang sudah di lamar oleh seorang laki-laki. Aku pikir kamu lebih tau tentang ini!” ujarnya penuh penekanan di setiap kalimatnya.“Saat pertama kali saya bertemu dengannya, saya sudah tau kalian memiliki hubungan. Jadi saya memang tidak pernah berharap,” jawab Raffa pelan. “Mungkin kita harus
“Kak Latief kenapa nggak ikut, Bah?” tanya Raffa. Keduanya baru saja pulang dari Masjid yang lokasinya tak jauh dari Hotel.“Mereka punya liburan sendiri, lagipula nggak suka perjalanan jauh,” jawab Abah.Latief dan Maryam lebih suka ke Pantai daripada daerah pegunungan. Biasanya mereka lebih sering ke Bali. Sama sepertinya, sambil momong anak-anak.“Oh,” jawab Raffa, “Abah nggak capek jalan kaki begini?”“Eleh-eleh, jangan ragukan kemampuan Abah, atuh. Mau disuruh jalan kaki lima kilo meter saja masih sanggup.” ucapan Abah barusan sontak membuat Raffa terkekeh.Lelaki tua ini! Hanya menyusuri koridor saja sudah ngos-ngosan. Sesak seperti orang yang kekurangan oksigen. Tapi dengan percaya diri berkata demikian.“Tadi berangkat masih gelap, sekarang sudah mulai kelihatan remang-remang. Matahari juga udah mulai keliatan ya, Raff,” gumam Abah lagi.“Iya, kita tadi terlalu banyak ngobrolnya di Masjid, Bah.”“Harusnya kita itu mengaji bukan ngobrol, ya?”“Nggak papa, ‘kan ngobrolnya yang be