Raffa menanggapinya dengan raut wajah yang tenang. Emosi yang tersulut pada wajah laki-laki itu sama sekali tak membuatnya ikut terpancing.Bukan tak bisa melawan, tapi ia hanya sedang menghindari keributan. Selain ini tempat umum, mungkin sebagian orang juga telah banyak yang mengenalnya.Sangat memalukan jika orang-orang sampai menilai buruk tentangnya yaitu 'memperebutkan seorang perempuan' yang bisa saja menjadi berita di berbagai media. “Aku tau kamu mampu mendapatkan perempuan yang lebih dari Cilla. Carilah perempuan lain. Jangan ambil Cilla dariku.” Laki-laki itu terus saja menyudutkannya tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu kepada Raffa.“Tidak pantas, seorang tokoh agama menikung perempuan yang sudah di lamar oleh seorang laki-laki. Aku pikir kamu lebih tau tentang ini!” ujarnya penuh penekanan di setiap kalimatnya.“Saat pertama kali saya bertemu dengannya, saya sudah tau kalian memiliki hubungan. Jadi saya memang tidak pernah berharap,” jawab Raffa pelan. “Mungkin kita harus
“Kak Latief kenapa nggak ikut, Bah?” tanya Raffa. Keduanya baru saja pulang dari Masjid yang lokasinya tak jauh dari Hotel.“Mereka punya liburan sendiri, lagipula nggak suka perjalanan jauh,” jawab Abah.Latief dan Maryam lebih suka ke Pantai daripada daerah pegunungan. Biasanya mereka lebih sering ke Bali. Sama sepertinya, sambil momong anak-anak.“Oh,” jawab Raffa, “Abah nggak capek jalan kaki begini?”“Eleh-eleh, jangan ragukan kemampuan Abah, atuh. Mau disuruh jalan kaki lima kilo meter saja masih sanggup.” ucapan Abah barusan sontak membuat Raffa terkekeh.Lelaki tua ini! Hanya menyusuri koridor saja sudah ngos-ngosan. Sesak seperti orang yang kekurangan oksigen. Tapi dengan percaya diri berkata demikian.“Tadi berangkat masih gelap, sekarang sudah mulai kelihatan remang-remang. Matahari juga udah mulai keliatan ya, Raff,” gumam Abah lagi.“Iya, kita tadi terlalu banyak ngobrolnya di Masjid, Bah.”“Harusnya kita itu mengaji bukan ngobrol, ya?”“Nggak papa, ‘kan ngobrolnya yang be
“Ya Allah, Sifaa!!”“Aaaaakhhh!!” Terdengar suara teriakan Priscilla dan orang-orang yang berada di sana. Semua sangat terkejut. Sangat terkejut. “Syifa ...” terdengar suara Ummi yang melemah. Air mata sudah membanjiri pipinya. Begitu juga dengan Raffa yang langsung berlari menghampiri. Ketakutan dan kekhawatiran akan keadaan Syifa sangat menguasai dirinya.Semua orang yang berada di sana juga berhambur mendekati Syifa. Berkerumun layaknya sebuah tontonan. Melihat lebih dekat tubuh kecil bocah berusia dua tahun lima bulan itu sudah terkapar lemas di lantai. Dengan kaki dan jidat yang luka akibat terkena pinggiran Luggage trolley. Yang bahannya terbuat dari besi.“Adeeeek, bangun Dek, bangun ...” Zikra menangis tersedu-sedu sambil mengguncang tubuh adiknya. “Maafin Kakak dek, ngga bisa jagai adek. Adek baanguuuuuunnn, adeeeekkk ....”Raffa langsung mengangkat putrinya lalu membopongnya keluar Hotel. Disusul oleh Priscilla yang menuntun tangan Zikra. Beruntung, Pak Jo sangat sigap sehi
Ketiga orang itu terkejut. Yaitu Fery, Yoto dan istrinya saat mendengar kejujuran dari Nida.Mereka sama sekali tak pernah menaruh curiga terhadap keluarga ini dan seluk beluknya. Tak menyangka sama sekali bahwa anak kesayangan pasangan Surya dan Nida ternyata bukanlah darah daging mereka. “Ja-jadi Priscilla bukan anak kandungmu?” tanya Yoto. Beliau terlihat pias.“Iya Pak Yoto,” jawab Papi Surya sejujur-jujurnya. Ini adalah langkah yang paling baik menurutnya.Mereka sudah memikirkannya dari jauh-jauh hari. Ketika Priscilla akan menikah nanti, mereka akan membuka yang sebenar-benarnya. Bahwa, ada wali sebenarnya yang jauh lebih berhak menikahkan Priscilla daripada dirinya. Terkecuali, jika Ayahnya memang telah tiada.“Saya tidak bisa memiliki anak. Tiga puluh tahun silam, saya di vonis mandul oleh dokter. Jadi kami terpaksa mengadopsi Priscilla dari orang tua yang sangat kekurangan. Kami sama-sama saling membutuhkan, kita butuh anak, dan dia butuh sekali uang untuk biaya kehidupannya
Sesampainya di Kota Jakarta“Nah, ini rumah Ummi dan keluarga,” ucap Ummi kepada Priscilla saat menunjukkan rumah tinggalnya.Priscilla menatap bangunan besar yang ada di depannya penuh dengan kekaguman. Memang tidak terlalu mewah, tapi sangat nyaman untuk di huni. Terdapat beberapa pilar di teras untuk membantu menopang besarnya bangunan. Di hiasi tanaman-tanaman dan rerumputan hijau yang kian menambah kesejukan.“Sangat nyaman sekali rumahnya, Mi,” jawab Priscilla akhirnya. Masih dengan terus menatap sekeliling. Lalu menginjakkan kakinya ke tanah. Duduk di saung yang terletak di ujung rumah.Mereka sampai lebih dulu daripada mobil Raffa beserta anak-anaknya. Sebab, Raffa terlebih dahulu menyelesaikan urusannya bersama Pak Jo di rumah sakit tempat Syifa di rawat.“Dulu, menantu Ummi, biasa menyuapi Zikra di sini. Nanti nggak lama disusul sama Raffa,” ucap Ummi yang juga ikut duduk di sampingnya. “Mereka keluarga yang sangat bahagia dan romantis sekali. Ummi sampai iri melihatnya.”Ma
“Priscilla, bisa kita berangkat sekarang?” Raffa mengulang pertanyaannya karena Priscilla tak kunjung menjawab.Priscilla akhirnya berdiri dan berucap, “Ustadz, Mami aku ngabarin kalau Papi aku sakit.”Namun bukannya Raffa berucap Innanilah atas musibah yang Cilla sampaikan, laki-laki itu malah mengerutkan dahi. Terasa mengganjal, sebab bisa jadi ini hanyalah tipu daya mereka saja agar Priscilla mau pulang ke rumah.“Jadi, kamu mau pulang dulu apa gimana?” tanya Raffa.“Aku bingung ,” jawab Priscilla.“Itu akibatnya kalau kamu pergi tanpa izin.”“Aku nggak izin karena ada sesuatu yang bikin aku marah banget. Aku kesel sama mereka. Apalagi ...” Priscilla menggantung ucapannya. Ia bingung akan menceritakan masalahnya atau tidak pada pria ini.Tapi setelah sesaat berpikir ia menjawab, “Pokoknya aku lagi marah kemaren, jadi aku nggak izin!” wanita itu tampak enggan menjelaskan lebih lanjut.“Sebaiknya Cilla hubungi dulu orang tua Cilla atau orang terdekat. Pastikan sekarang keadaan Papi Ci
Sesampainya di makam~“Jalannya memang sedikit becek, soalnya baru saja hujan,” ujar Raffa pada Priscilla yang sedang memilih-milih jalan yang di lewatinya. Agar alas kakinya yang bertungkak satu jari dengan tinggi lima senti itu tak menapaki tanah basah.“Apa masih jauh?” tanya Priscilla kemudian.“Nggak, itu sedikit lagi,” tunjuk Raffa pada makam yang di pinggirannya terdapat pohon kamboja putih, berukuran setinggi tubuhnya.“Aaaakkh!” Priscilla menjerit kecil saat tungkak sandalnya masuk ke dalam tanah dan membuatnya sedikit terhuyung. Beruntung, Raffa segera menahan tubuhnya sehingga Cilla tak sampai terjatuh. “Sorry, Cil. Nggak ada maksud buat pegang tanganmu.” Raffa membantu menegakkan tubuh Priscilla.“Justru aku berterima kasih,” jawab Priscilla sambil membenarkan kembali posisinya.Takut terjatuh lagi, Priscilla pun melepas sendalnya dan bertelanjang kaki saja mengikuti Raffa ke pemakaman Salwa.Tidak ada lagi pembicaraan setelah mereka sampai ke tempat yang di tuju. Raffa l
“Apa begitu kelakuanmu sebagai seorang dokter?” serang balik Prisilla. Kilat terkejut tampak di wajah laki-laki itu. “Masuk ke rumah orang nggak tau sopan santun!”“Kamu yang seharusnya cukup, Cil. Berhenti mengejar laki-laki ini. Kita udah lamaran. Kita sudah berhubungan hampir lima tahun. Jangan kamu hancurkan begitu saja hanya karena si karena si duda gatal ini.” Priscilla menggeleng, “Tolong beri aku waktu untuk memulainya lagi.”Takut anak-anaknya mendengar perdebatan orang dewasa, Raffa segera pergi meninggalkan ruang tamu. Ia memberikan kesempatan mereka untuk saling berbicara.“Anak-anak Papa, kita masuk, yuk,” titah Raffa pelan, “kita salat magrib dulu, abis itu ngaji.”“Ceritain tentang Umar bin khatab juga, Pa Kan yang kemarin belum selesai,” jawab Zikra dan diikuti oleh adik kecilnya. “Ok, siap bosku,” jawab Raffa lalu membopong tubuh putrinya. Ketiganya lantas naik ke kamar atas. Mengabulkan keinginan anak-anaknya.Sementara di bawah~“Jangan bilang kamu udah jatuh cinta