Sesampainya di Kota Jakarta“Nah, ini rumah Ummi dan keluarga,” ucap Ummi kepada Priscilla saat menunjukkan rumah tinggalnya.Priscilla menatap bangunan besar yang ada di depannya penuh dengan kekaguman. Memang tidak terlalu mewah, tapi sangat nyaman untuk di huni. Terdapat beberapa pilar di teras untuk membantu menopang besarnya bangunan. Di hiasi tanaman-tanaman dan rerumputan hijau yang kian menambah kesejukan.“Sangat nyaman sekali rumahnya, Mi,” jawab Priscilla akhirnya. Masih dengan terus menatap sekeliling. Lalu menginjakkan kakinya ke tanah. Duduk di saung yang terletak di ujung rumah.Mereka sampai lebih dulu daripada mobil Raffa beserta anak-anaknya. Sebab, Raffa terlebih dahulu menyelesaikan urusannya bersama Pak Jo di rumah sakit tempat Syifa di rawat.“Dulu, menantu Ummi, biasa menyuapi Zikra di sini. Nanti nggak lama disusul sama Raffa,” ucap Ummi yang juga ikut duduk di sampingnya. “Mereka keluarga yang sangat bahagia dan romantis sekali. Ummi sampai iri melihatnya.”Ma
“Priscilla, bisa kita berangkat sekarang?” Raffa mengulang pertanyaannya karena Priscilla tak kunjung menjawab.Priscilla akhirnya berdiri dan berucap, “Ustadz, Mami aku ngabarin kalau Papi aku sakit.”Namun bukannya Raffa berucap Innanilah atas musibah yang Cilla sampaikan, laki-laki itu malah mengerutkan dahi. Terasa mengganjal, sebab bisa jadi ini hanyalah tipu daya mereka saja agar Priscilla mau pulang ke rumah.“Jadi, kamu mau pulang dulu apa gimana?” tanya Raffa.“Aku bingung ,” jawab Priscilla.“Itu akibatnya kalau kamu pergi tanpa izin.”“Aku nggak izin karena ada sesuatu yang bikin aku marah banget. Aku kesel sama mereka. Apalagi ...” Priscilla menggantung ucapannya. Ia bingung akan menceritakan masalahnya atau tidak pada pria ini.Tapi setelah sesaat berpikir ia menjawab, “Pokoknya aku lagi marah kemaren, jadi aku nggak izin!” wanita itu tampak enggan menjelaskan lebih lanjut.“Sebaiknya Cilla hubungi dulu orang tua Cilla atau orang terdekat. Pastikan sekarang keadaan Papi Ci
Sesampainya di makam~“Jalannya memang sedikit becek, soalnya baru saja hujan,” ujar Raffa pada Priscilla yang sedang memilih-milih jalan yang di lewatinya. Agar alas kakinya yang bertungkak satu jari dengan tinggi lima senti itu tak menapaki tanah basah.“Apa masih jauh?” tanya Priscilla kemudian.“Nggak, itu sedikit lagi,” tunjuk Raffa pada makam yang di pinggirannya terdapat pohon kamboja putih, berukuran setinggi tubuhnya.“Aaaakkh!” Priscilla menjerit kecil saat tungkak sandalnya masuk ke dalam tanah dan membuatnya sedikit terhuyung. Beruntung, Raffa segera menahan tubuhnya sehingga Cilla tak sampai terjatuh. “Sorry, Cil. Nggak ada maksud buat pegang tanganmu.” Raffa membantu menegakkan tubuh Priscilla.“Justru aku berterima kasih,” jawab Priscilla sambil membenarkan kembali posisinya.Takut terjatuh lagi, Priscilla pun melepas sendalnya dan bertelanjang kaki saja mengikuti Raffa ke pemakaman Salwa.Tidak ada lagi pembicaraan setelah mereka sampai ke tempat yang di tuju. Raffa l
“Apa begitu kelakuanmu sebagai seorang dokter?” serang balik Prisilla. Kilat terkejut tampak di wajah laki-laki itu. “Masuk ke rumah orang nggak tau sopan santun!”“Kamu yang seharusnya cukup, Cil. Berhenti mengejar laki-laki ini. Kita udah lamaran. Kita sudah berhubungan hampir lima tahun. Jangan kamu hancurkan begitu saja hanya karena si karena si duda gatal ini.” Priscilla menggeleng, “Tolong beri aku waktu untuk memulainya lagi.”Takut anak-anaknya mendengar perdebatan orang dewasa, Raffa segera pergi meninggalkan ruang tamu. Ia memberikan kesempatan mereka untuk saling berbicara.“Anak-anak Papa, kita masuk, yuk,” titah Raffa pelan, “kita salat magrib dulu, abis itu ngaji.”“Ceritain tentang Umar bin khatab juga, Pa Kan yang kemarin belum selesai,” jawab Zikra dan diikuti oleh adik kecilnya. “Ok, siap bosku,” jawab Raffa lalu membopong tubuh putrinya. Ketiganya lantas naik ke kamar atas. Mengabulkan keinginan anak-anaknya.Sementara di bawah~“Jangan bilang kamu udah jatuh cinta
“Alhamdulillah, sudah selesai Kak, Cilla,” ucap MUA yang baru saja memoles wajahnya.“Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Priscilla ramah. Priscilla menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia melihat dirinya yang teramat berbeda di sana. Lebih cantik daripada biasanya.Namun sisa-sisa kesedihan, sepertinya tak bisa dihilangkan walau wajahnya sudah dipoles sedemikian rupa. Kantung matanya terlihat begitu jelas karena menangis sepanjang malam.Priscilla memperhatikan MUA yang sedang membereskan alat-alat make-upnya dan memasukkannya ke dalam tas khusus.Setelah selesai, MUA itu lantas berucap, “Saya tunggu di luar ya, Kak. Sambil medang dulu. Belum medang dari pagi soalnya.” MUA bersama asistennya itu keluar dari kamarnya. Medang adalah bahasa Jawa yang berarti minum.Sambil menunggu dipanggil untuk keluar, Priscilla meraih ponselnya Berniat untuk membuka pesan. Karena beberapa menit yang lalu, ia mendengar ponselnya berulang kali berdering. Sangat ramai sekali.Dan ternyata benar. Ada beber
Flashback dua hari yang lalu.“Bismillahirrahmaanirrahiim. Fery Nurdana saya nikahkan engkau ....”Fery menggeleng. Ia melepaskan tangannya dari jabatan tangan Pak Toha yang sebentar lagi akan menjadi Ayah mertuanya. Lalu mengangkat satu tangannya untuk menghentikan acara ini. “Tolong hentikan dan matikan semua kamera!” serunya dengan memakai mike.Apa-apaan ini? Fery membuat semuanya menjadi bingung dan saling bertanya dalam diam. Juga dengan Priscilla yang sedang meneteskan bulir air matanya. Sangat terlihat jelas walaupun wanita itu terus saja menunduk.“Tapi kenapa Nak Fery? Kenapa kita harus berhenti?” tanya Pak penghulu. “Apa ada keraguan? Atau Nak Fery sedang gugup?” tanya Pak Penghulu lagi yang sedang menebak-nebak.Beliau tahu betul kendala apa yang sering dialami oleh calon-calon pengantin sebelum akad. Terkadang mereka belum siap sepenuhnya. Gugup, sulit mengingat ijab kabul, atau masih ada lain yang sedang ditunggu. Entah itu saudaranya atau kerabat yang belum datang.“Sa
Priscilla menajamkan telinganya. Meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja di dengarnya adalah benar. Bahwa, Raffa melamarnya barusan.Tapi, ia justru terdiam tak bisa bersuara sepatah kata pun. Selain terkejut, ia juga butuh waktu untuk berpikir. Apa ini tak terlalu cepat setelah pembatalan pernikahannya kemarin? Ini terkesan terburu-buru menurutnya. Lagi pula mereka belum tahu perasan mereka satu sama lain.Jeda beberapa detik kemudian Raffa kembali membuka suara. Raut wajah ketidak jelasan begitu tampak di wajah laki-laki yang berjambang tipis itu. Raffa terlihat ragu-ragu. Pertanyaannya adalah, apakah ia menyesali ucapannya sendiri barusan?“Maaf, Sarah. Mungkin ini terlalu cepat dan mungkin terlalu mengejutkan untukmu. Saya hanya tak ingin, orang lain mendahuluiku mengkhitbahmu. Sementara, aku dan anak-anak—” Raffa menggantungkan kalimatnya. “Sebaiknya, kita bahas lain waktu sambil kita berpikir. Saya juga belum melakukan salat istikharah untuk meyakinkan diri lagi.”“Kita akan ke
Triiing ....Raffa langsung terkesiap begitu mendengar nada dering yang berasal dari ponselnya. Sedikit kesal, ia meraih ponsel itu. Pasalnya, nada dering yang memekik telinga itu membuatnya harus kembali pada kenyataan dunia. Padahal rindu masih sangat begitu menggebu kepada sang pemilik hati. Penguasa jiwa dan raganya selama ini.Namun pada saat ia secepat kilat menggeser layar, panggilan terhenti kemudian. Menandakan sinyal di sana cukup buruk. Tapi ia segera membuka pesan masuk yang ternyata berasal dari Umminya, wanita mulia yang selalu menyayanginya tanpa syarat.Ummi mengatakan, "Hari ini Ummi nggak kerepotan. Ada Sarah yang menemani mereka. Tadi sepulang Zikra sekolah, Sarah langsung mengurus semuanya. Lalu mengajak mereka tidur siang.”Dan di bawahnya tersemat potret Sarah, Zikra dan Syifa sedang tidur siang bersama. Dengan posisi Sarah di tengah sedang memeluk mereka nan tulus dan penuh kasih sayang. Raffa langsung teringat perkataan Salwa saat ia berada dalam sebuah mimpi.