Raffa tersenyum saat mendengarnya. Pengakuan Priscilla barusan terdengar cukup menutrisi kebutuhan gizi hatinya. Tubuh yang panas karena kurangnya cairan bagaikan telah tersiram satu ember air es. Dingin dan sejuk. Rasa lelah karena perjalanan panjang Padang Jakarta seakan hilang seketika bergantikan rasa bahagia dan suka cita.Sedangkan keanehan lain juga terjadi kepada Prisilla. Wanita itu langsung berbalik badan dan memukul-mukul kepalanya sambil merutuk dirinya sendiri. Sedang mulutnya terus bergumam 'bodoh bodoh bodoh!Raffa memperhatikannya dari belakang Priscilla lalu berucap meledek. “Kepala nggak bersalah, jangan di pukulin.”Priscilla memutar kepalanya lalu meringis, “Jadi aku harus pukul siapa dong?”“Pukul Pa Jo aja nggak papa,” celetuk Raffa.“Ngawur. Lebih baik aku pukul kamu daripada Pak Jo,” cebik Priscilla. “Aku mau ke dalam, ya. Sekalian siap-siap mau pulang. Kan kamu dah sampai." Kalau sudah ada Raffa pasti Ummi tidak akan kerepotan lagi, pikirnya. Jadi untuk apa i
Hah, apa tadi? Apa Raffa tak salah dengar. Sarah memanggilnya dengan sebutan ‘Abang’. Abang tukang baso kah?Tapi ia tak memikirkan itu. Karena yang terngiang di kepalanya adalah suara Sarah yang telah mempersilahkan masuk, dengan nada yang cukup memperdaya keseluruhan tubuhnya.Dan secara naluriah membangkitkan lagi bagian tertentu yang telah lama redup dari otaknya. Memang aneh. Ini bahkan baru suaranya saja, bagaimana jika lebih dari itu?Raffa membuka pintu perlahan. Matanya langsung tertuju kepada gadis cantik yang saat ini sedang duduk di ranjang memamerkan deretan gigi putih bersihnya.Memakai dress mini satin berwarna merah muda dengan aksen renda di bagian ujungnya. Sedangkan rambut hitamnya dibiarkan terurai begitu saja. Menggantung tergerai indah alami. Seperti telah menunggunya dengan segala persiapan.Pelan, Raffa duduk di depannya dengan tatapan penuh arti. Percayalah, tak ada objek lain yang lebih indah daripada sosok itu sehingga matanya enggan berpaling sedikit pun.Wa
“Kamu nggak mau punya anak dariku?” tanya Sarah. Raut wajahnya begitu sedih dan kecewa. Semua orang bahkan tahu, tidak ada kebahagiaan yang paling ditunggu setelah perempuan menikah selain menanti lahirnya seorang anak dari keturunan mereka.“Bukan begitu Sarah, Zikra dan Syifa saja bagiku sudah cukup. Bukan berarti aku nggak mau punya anak dari kita.”“Itu alasan yang nggak logis, Mas. Jawaban kamu terdengar aneh di telingaku. Di saat semua orang ingin mempunyai banyak keturunan agar kehidupannya semakin bahagia, kamu malah menutup diri dari semua itu. Kenapa dengan jalan pikiranmu?”“Sarah! Sarah!” panggil Raffa karena Sarah meninggalkannya.Berlalu ke balkon, Sarah berdiri di sana dengan pikiran yang menerawang. Ada apa dengan suaminya kenapa jadi seperti ini. Lantas apa gunanya ia menikah jika tak boleh melahirkan seorang anak? Lucu sekali. Dan tak lama kemudian Raffa mengikutinya. “Sarah ....” panggilnya lembut.Sarah berbalik, lalu menatap Raffa dengan sedih. “Aku tau kita ud
Sarah mundur secara perlahan. Wanita itu meletakan tangannya di atas dadanya yang terasa begitu nyeri, “Jangan kamu pikir aku ini Salwa. Apa selama ini kamu menggauliku dengan bayangan itu?” tanya Sarah dengan air mata telah yang bercucuran membasahi pipi cantiknya.“Sa-Sarah ...,” ucap Raffa merasa bersalah. Pelan, Raffa mendekati Sarah untuk membujuk wanitanya.“Nggak, Mas. Jangan dekati aku dulu sebelum kamu lihat kalau ini aku, Sarah, bukan Salwa.”“Sarah, tolong dengarkan aku. Maafkan aku, Sarah.”“Aku bukan Salwa. Aku bukan Salwa!” Sarah menutup telinganya tak mau mendengarkan apa-apa lagi. Ia terlalu shock mendengar pengakuan Raffa yang terasa sedrmikian menyakitkan itu.“Tolong biarkan aku sendiri dulu, Mas. Tolong.”“Sayang, dengarkan aku.”Giliran seperti ini saja dia memanggilnya dengan kata sayang, batin Sarah geram.“KELUAR!” usirnya dengan tangan menunjuk ke arah pintu. “Keluar aku bilang!” Tanpa berkata apa-apa lagi, Raffa keluar dengan perasaan campur aduk. Ia menutup
Terdengar helaan napas berat yang keluar dari rongga hidung laki-laki yang sedang mengajar di tengah-tengah kelas itu. Pikirannya tak fokus. Otaknya pun terasa tumpul karena mendadak tak bisa menjelaskan secara detail tentang materi yang diajarkannya hari ini. Karena siapa lagi kalau bukan karena Sarah?Semalaman, Sarah tak mau berbicara dengannya. Habis rasanya harga diri seorang suami yang selalu saja salah di mata Sarah. Maaf sudah berulang kali terucap, tapi tak juga membuat Sarah memaafkan dirinya. Dan yang paling membuatnya perih adalah sikap Sarah yang tidur membelakangi.Jadi ia harus seperti apalagi?Sarah memang bukan Salwa. Raffa benar-benar belum siap menerima kenyataan perbedaan mereka yang begitu timpang. Seperti saran Abah agar dirinya belajar menyesuaikan diri lagi karena sifat mereka yang berbeda. Ya, Raffa akan lakukan itu. Tapi itu bukanlah suatu hal yang mudah baginya, semua butuh proses.“Pak, sepertinya Ustaz salah tulis,” ujar salah satu siswa mengingatkan. Ast
Malam telah berganti pagi. Dunia terasa cepat sekali berganti hari. Tak terasa sebentar lagi sudah waktunya Raffa pergi dari rumah dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Sanggupkah? Sanggupkah Sarah menahan rindu selama itu. Sarah sudah terbiasa dengan Raffa yang selalu tidur di sisinya. Bagaimana bila besok ia sendiri?Sarah akui, ia sudah sangat mencintai Raffa. Tak bisa hidup tanpanya.Sarah membuka pintu pintu lemari mengeluarkan baju-baju milik suaminya untuk ia packing ke dalam koper. Tapi bukannya mengambil, Sarah malah tertegun seakan tak rela bila suaminya pergi.“Kenapa melamun?” tanya Raffa lalu memeluknya dari belakang. Jarak yang begitu dekat membuatnya mampu merasakan hembusan nafas hangat Raffa yang menerpa kulit lehernya. Dan Sarah menyukai itu.“Nggak papa,” elaknya, "jangan lama-lama di sana ya."“Aku hanya pergi sebentar. Kalau kamu sama anak-anak bisa ikut sih udah aku bawa. Kita ke sana sama-sama sambil bulan madu. Tapi sayangnya Zikra masih sekolah ‘kan?”"Kita
“Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam,” jawab Ummi seraya berjalan keluar menyambut suara yang tak asing di telinganya. Siapa lagi kalau bukan putra kesayangannya, yaitu, Raffa Ar Rasyid.Ummi sangat merindukan Raffa yang sudah pergi meninggalkan rumah selama hampir satu bulan lamanya. Banyak hal yang terjadi setelah Raffa pergi. Ummi pikir, beliau harus segera menyampaikannya setelah Raffa tak lelah lagi.“Waduh, itu jambang sudah sampai ke mana-mana, kamu nggak cukur di sana Nak?” tanya Ummi yang pangling dengan penampilan baru putranya. Jambang hampir menutup sebagian wajahnya. "Sudah seperti Wan Qodir kamu, Nak."Raffa terkekeh pelan.“Lagi malas merawat diri, Ummi. Akhir-akhir ini Raffa jadi pemalas,” jawab Raffa kemudian menyambut uluran tangan Ummi, cinta pertamanya.“Hati-hati, malas itu salah satu godaan setan. Jangan lupa terus beristigfar kalau malas ya, Nak,” kata Ummi menasihati. Lalu di respons dengan anggukan kepala.“Memangnya kelihatan jelek, ya?”“Iya, sedikit lebih tua
Raffa keluar setelah obrolan mereka selesai. Ia buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan yang baru saja terlukis di wajahnya untuk menyambut anak-anaknya tercinta. Yang kini sudah terdengar celotehannya setelah mobil jemputan terhenti di depan rumah.“Papaaaaa!” teriak anak-anak yang baru saja pulang bersama Maryam dan juga kedua anaknya. Wajah-wajah ceria dan suka cita berlarian ke dalam rumah. Tas masih menggendong di punggung keduanya. Syifa tidak sekolah, tapi anak kecil itu hanya meniru-niru membawa tas seperti kakak-kakaknya.Kedua anak itu langsung memeluk papanya yang sudah sangat dirindukan. Berapa minggu mereka tak bertemu? “Hihihi, Papa kok banak rambutna?” tanya Syifa lucu melihat jambang Papanya.“Iya ini papa belum cukur, sayang. Gimana kabarnya ini anak-anak Papa.”“Baik, Pa,” jawab Zikra.“Cipa juda baik Pa,” sahut Syifa ikut-ikutan.Raffa berjongkok untuk mengimbangi tinggi mereka untuk berbalas mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah bosan rasanya mena