“Alhamdulillah, sudah selesai Kak, Cilla,” ucap MUA yang baru saja memoles wajahnya.“Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Priscilla ramah. Priscilla menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia melihat dirinya yang teramat berbeda di sana. Lebih cantik daripada biasanya.Namun sisa-sisa kesedihan, sepertinya tak bisa dihilangkan walau wajahnya sudah dipoles sedemikian rupa. Kantung matanya terlihat begitu jelas karena menangis sepanjang malam.Priscilla memperhatikan MUA yang sedang membereskan alat-alat make-upnya dan memasukkannya ke dalam tas khusus.Setelah selesai, MUA itu lantas berucap, “Saya tunggu di luar ya, Kak. Sambil medang dulu. Belum medang dari pagi soalnya.” MUA bersama asistennya itu keluar dari kamarnya. Medang adalah bahasa Jawa yang berarti minum.Sambil menunggu dipanggil untuk keluar, Priscilla meraih ponselnya Berniat untuk membuka pesan. Karena beberapa menit yang lalu, ia mendengar ponselnya berulang kali berdering. Sangat ramai sekali.Dan ternyata benar. Ada beber
Flashback dua hari yang lalu.“Bismillahirrahmaanirrahiim. Fery Nurdana saya nikahkan engkau ....”Fery menggeleng. Ia melepaskan tangannya dari jabatan tangan Pak Toha yang sebentar lagi akan menjadi Ayah mertuanya. Lalu mengangkat satu tangannya untuk menghentikan acara ini. “Tolong hentikan dan matikan semua kamera!” serunya dengan memakai mike.Apa-apaan ini? Fery membuat semuanya menjadi bingung dan saling bertanya dalam diam. Juga dengan Priscilla yang sedang meneteskan bulir air matanya. Sangat terlihat jelas walaupun wanita itu terus saja menunduk.“Tapi kenapa Nak Fery? Kenapa kita harus berhenti?” tanya Pak penghulu. “Apa ada keraguan? Atau Nak Fery sedang gugup?” tanya Pak Penghulu lagi yang sedang menebak-nebak.Beliau tahu betul kendala apa yang sering dialami oleh calon-calon pengantin sebelum akad. Terkadang mereka belum siap sepenuhnya. Gugup, sulit mengingat ijab kabul, atau masih ada lain yang sedang ditunggu. Entah itu saudaranya atau kerabat yang belum datang.“Sa
Priscilla menajamkan telinganya. Meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja di dengarnya adalah benar. Bahwa, Raffa melamarnya barusan.Tapi, ia justru terdiam tak bisa bersuara sepatah kata pun. Selain terkejut, ia juga butuh waktu untuk berpikir. Apa ini tak terlalu cepat setelah pembatalan pernikahannya kemarin? Ini terkesan terburu-buru menurutnya. Lagi pula mereka belum tahu perasan mereka satu sama lain.Jeda beberapa detik kemudian Raffa kembali membuka suara. Raut wajah ketidak jelasan begitu tampak di wajah laki-laki yang berjambang tipis itu. Raffa terlihat ragu-ragu. Pertanyaannya adalah, apakah ia menyesali ucapannya sendiri barusan?“Maaf, Sarah. Mungkin ini terlalu cepat dan mungkin terlalu mengejutkan untukmu. Saya hanya tak ingin, orang lain mendahuluiku mengkhitbahmu. Sementara, aku dan anak-anak—” Raffa menggantungkan kalimatnya. “Sebaiknya, kita bahas lain waktu sambil kita berpikir. Saya juga belum melakukan salat istikharah untuk meyakinkan diri lagi.”“Kita akan ke
Triiing ....Raffa langsung terkesiap begitu mendengar nada dering yang berasal dari ponselnya. Sedikit kesal, ia meraih ponsel itu. Pasalnya, nada dering yang memekik telinga itu membuatnya harus kembali pada kenyataan dunia. Padahal rindu masih sangat begitu menggebu kepada sang pemilik hati. Penguasa jiwa dan raganya selama ini.Namun pada saat ia secepat kilat menggeser layar, panggilan terhenti kemudian. Menandakan sinyal di sana cukup buruk. Tapi ia segera membuka pesan masuk yang ternyata berasal dari Umminya, wanita mulia yang selalu menyayanginya tanpa syarat.Ummi mengatakan, "Hari ini Ummi nggak kerepotan. Ada Sarah yang menemani mereka. Tadi sepulang Zikra sekolah, Sarah langsung mengurus semuanya. Lalu mengajak mereka tidur siang.”Dan di bawahnya tersemat potret Sarah, Zikra dan Syifa sedang tidur siang bersama. Dengan posisi Sarah di tengah sedang memeluk mereka nan tulus dan penuh kasih sayang. Raffa langsung teringat perkataan Salwa saat ia berada dalam sebuah mimpi.
Raffa tersenyum saat mendengarnya. Pengakuan Priscilla barusan terdengar cukup menutrisi kebutuhan gizi hatinya. Tubuh yang panas karena kurangnya cairan bagaikan telah tersiram satu ember air es. Dingin dan sejuk. Rasa lelah karena perjalanan panjang Padang Jakarta seakan hilang seketika bergantikan rasa bahagia dan suka cita.Sedangkan keanehan lain juga terjadi kepada Prisilla. Wanita itu langsung berbalik badan dan memukul-mukul kepalanya sambil merutuk dirinya sendiri. Sedang mulutnya terus bergumam 'bodoh bodoh bodoh!Raffa memperhatikannya dari belakang Priscilla lalu berucap meledek. “Kepala nggak bersalah, jangan di pukulin.”Priscilla memutar kepalanya lalu meringis, “Jadi aku harus pukul siapa dong?”“Pukul Pa Jo aja nggak papa,” celetuk Raffa.“Ngawur. Lebih baik aku pukul kamu daripada Pak Jo,” cebik Priscilla. “Aku mau ke dalam, ya. Sekalian siap-siap mau pulang. Kan kamu dah sampai." Kalau sudah ada Raffa pasti Ummi tidak akan kerepotan lagi, pikirnya. Jadi untuk apa i
Hah, apa tadi? Apa Raffa tak salah dengar. Sarah memanggilnya dengan sebutan ‘Abang’. Abang tukang baso kah?Tapi ia tak memikirkan itu. Karena yang terngiang di kepalanya adalah suara Sarah yang telah mempersilahkan masuk, dengan nada yang cukup memperdaya keseluruhan tubuhnya.Dan secara naluriah membangkitkan lagi bagian tertentu yang telah lama redup dari otaknya. Memang aneh. Ini bahkan baru suaranya saja, bagaimana jika lebih dari itu?Raffa membuka pintu perlahan. Matanya langsung tertuju kepada gadis cantik yang saat ini sedang duduk di ranjang memamerkan deretan gigi putih bersihnya.Memakai dress mini satin berwarna merah muda dengan aksen renda di bagian ujungnya. Sedangkan rambut hitamnya dibiarkan terurai begitu saja. Menggantung tergerai indah alami. Seperti telah menunggunya dengan segala persiapan.Pelan, Raffa duduk di depannya dengan tatapan penuh arti. Percayalah, tak ada objek lain yang lebih indah daripada sosok itu sehingga matanya enggan berpaling sedikit pun.Wa
“Kamu nggak mau punya anak dariku?” tanya Sarah. Raut wajahnya begitu sedih dan kecewa. Semua orang bahkan tahu, tidak ada kebahagiaan yang paling ditunggu setelah perempuan menikah selain menanti lahirnya seorang anak dari keturunan mereka.“Bukan begitu Sarah, Zikra dan Syifa saja bagiku sudah cukup. Bukan berarti aku nggak mau punya anak dari kita.”“Itu alasan yang nggak logis, Mas. Jawaban kamu terdengar aneh di telingaku. Di saat semua orang ingin mempunyai banyak keturunan agar kehidupannya semakin bahagia, kamu malah menutup diri dari semua itu. Kenapa dengan jalan pikiranmu?”“Sarah! Sarah!” panggil Raffa karena Sarah meninggalkannya.Berlalu ke balkon, Sarah berdiri di sana dengan pikiran yang menerawang. Ada apa dengan suaminya kenapa jadi seperti ini. Lantas apa gunanya ia menikah jika tak boleh melahirkan seorang anak? Lucu sekali. Dan tak lama kemudian Raffa mengikutinya. “Sarah ....” panggilnya lembut.Sarah berbalik, lalu menatap Raffa dengan sedih. “Aku tau kita ud
Sarah mundur secara perlahan. Wanita itu meletakan tangannya di atas dadanya yang terasa begitu nyeri, “Jangan kamu pikir aku ini Salwa. Apa selama ini kamu menggauliku dengan bayangan itu?” tanya Sarah dengan air mata telah yang bercucuran membasahi pipi cantiknya.“Sa-Sarah ...,” ucap Raffa merasa bersalah. Pelan, Raffa mendekati Sarah untuk membujuk wanitanya.“Nggak, Mas. Jangan dekati aku dulu sebelum kamu lihat kalau ini aku, Sarah, bukan Salwa.”“Sarah, tolong dengarkan aku. Maafkan aku, Sarah.”“Aku bukan Salwa. Aku bukan Salwa!” Sarah menutup telinganya tak mau mendengarkan apa-apa lagi. Ia terlalu shock mendengar pengakuan Raffa yang terasa sedrmikian menyakitkan itu.“Tolong biarkan aku sendiri dulu, Mas. Tolong.”“Sayang, dengarkan aku.”Giliran seperti ini saja dia memanggilnya dengan kata sayang, batin Sarah geram.“KELUAR!” usirnya dengan tangan menunjuk ke arah pintu. “Keluar aku bilang!” Tanpa berkata apa-apa lagi, Raffa keluar dengan perasaan campur aduk. Ia menutup