Raffa dan Pak Jo melanjutkan perjalanan ke rumah. Meski masih padat, namun tidak sepadat satu jam yang lalu.Keduanya sedang berbincang mengenai kedua wanita tadi. Juga di iringi tawa di sela-sela perbincangan mereka. Seru sekali. Kalau di pikir-pikir, semakin aneh saja dunia jaman sekarang, yang di mana perempuan tak lagi merasakan malu. Padahal hakikatnya perempuan haruslah mempunyai rasa malu. Mampu menjaga diri dan menjaga pandangan dari laki-laki lain yang bukan muhamnya.Sangat ekstrem sekali. Seorang ibu, malah menawarkan anaknya sendiri kepada orang tak di kenal.Namun mungkin masih lebih baik. Sebab, wanita paruh baya itu menawarkan anak perempuannya kepada orang yang tepat. Bayangkan bila wanita paruh baya itu menawarkan anaknya kepada laki-laki yang banyak duitnya. Tapi hidungnya belang dan perutnya buncit. Hiiiiyyy. Ngeri sekali.“Jadi Pak Raffa nggak mau?” ujar Pak Jo sambil terkekeh.“Saya belum siap menikah lagi. Apalagi sama orang nggak dikenal. Buntut saya udah dua,
Fery tersenyum getir. Dia kembali berdiri karena Priscilla tak kunjung menjawab lamarannya. Wanita itu diam membisu dan terlihat begitu bimbang. Layaknya seperti memberatkan sesuatu.Ya Tuhan, jantungnya benar-benar dag dig dug der. Dadanya seakan sesak seperti terhimpit beban yang besar di dalam sana.Apakah benar ia akan di permalukan di depan umum oleh Priscilla? Kekasih yang sudah di pacarinya selama bertahun-tahun?“Kamu hanya perlu menjawab iya, atau tidak Cill ...” ucap Fery pelan. Sampai kapan pun Fery tidak akan pernah siap mendengarkan penolakan Priscilla. Ah, semoga saja tidak.Dan akhirnya Priscilla mengangguk setelah terdiam selama beberapa saat.Memejemkan matanya sejenak Priscilla menjawab “Ya, aku mau ...”Sorak gembira para teman-teman semua yang ikut menghadiri lamaran suprise itu. Fery mengeluarkan cincin yang di tengahnya terdapat permata yang indah. Lalu memasukkannya ke jari manis Priscilla. Laki-laki itu lantas memeluk mesra Priscilla setelahnya. Bersyukur karen
Cilla POV.Bingung. Apa yang harus aku lakukan dengan anak-anak Raffa yang kini berada di hadapanku? Aku seperti mempunyai ikatan batin yang kuat. Mereka tidak asing denganku. Hatiku mengatakan kami dekat. Tapi karena apa?“Mama jangan pergi lagi, yaa...”Ucapan anak laki-laki yang berumuran sekitar tujuh tahunan ini benar-benar membuat hatiku teriris. Hingga tanpa sadar bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Bagaimana mungkin anak-anak sekecil ini telah kehilangan ibunya untuk selama-lamanya?Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya menjadi mereka. Apalagi Raffa yang menghadapinya setiap hari. Pasti hari-hari yang dia lalui, tidaklah mudah. Meskipun aku yakin, Tuhan mempunyai alasan yang kuat di balik semua ini. “Nggak, Sayang.” aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan mereka. Tidak mungkin aku mematahkan hati anak-anak yang terus saja menatapku dengan penuh pengharapan.Semakin lama pelukan kedua anak-anak ini semakin mengerat tanpa ada yang mau melepas. Sembari aku te
Author POV.“Mi...” panggil Raffa pelan. Ummi masih diam saja semenjak kepergian Priscilla. Tentu karena jawaban Priscilla yang beliau dengar barusan. Bahwa Priscilla, sudah memiliki calon sendiri.Raffa mengelus pundak Ummi yang berdiri membelakanginya. Posisinya menghadap keluar dinding kaca. Matanya menerawang jauh melihat lampu-lampu malam yang bersinar bertebaran dari lantai lima.“Ummi....”Ummi membalikkan tubuhnya menatap sang putra, “Apa kamu nggak kecewa seperti Ummi?” Raffa menggeleng pelan, “Nggak seharusnya Ummi berkata seperti itu tadi.”“Hati Ummi sakit melihatnya, Nak. Apalagi setelah melihat reaksi anak-anak pada Cilla. Ummi ingin sekali bisa memilikinya,” lirih Ummi yang tenggorokannya seperti tercekat. Tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan putranya selama ini.“Sebelumnya Raffa memang sudah tau saat pertama kali Raffa bertemu dengannya. Kami memang bertemu saat Priscilla sudah membawa pasangan,” jelas Raffa.“Kenapa kamu nggak bilang?”“Sudah, tapi mungkin Um
Raffa menanggapinya dengan raut wajah yang tenang. Emosi yang tersulut pada wajah laki-laki itu sama sekali tak membuatnya ikut terpancing.Bukan tak bisa melawan, tapi ia hanya sedang menghindari keributan. Selain ini tempat umum, mungkin sebagian orang juga telah banyak yang mengenalnya.Sangat memalukan jika orang-orang sampai menilai buruk tentangnya yaitu 'memperebutkan seorang perempuan' yang bisa saja menjadi berita di berbagai media. “Aku tau kamu mampu mendapatkan perempuan yang lebih dari Cilla. Carilah perempuan lain. Jangan ambil Cilla dariku.” Laki-laki itu terus saja menyudutkannya tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu kepada Raffa.“Tidak pantas, seorang tokoh agama menikung perempuan yang sudah di lamar oleh seorang laki-laki. Aku pikir kamu lebih tau tentang ini!” ujarnya penuh penekanan di setiap kalimatnya.“Saat pertama kali saya bertemu dengannya, saya sudah tau kalian memiliki hubungan. Jadi saya memang tidak pernah berharap,” jawab Raffa pelan. “Mungkin kita harus
“Kak Latief kenapa nggak ikut, Bah?” tanya Raffa. Keduanya baru saja pulang dari Masjid yang lokasinya tak jauh dari Hotel.“Mereka punya liburan sendiri, lagipula nggak suka perjalanan jauh,” jawab Abah.Latief dan Maryam lebih suka ke Pantai daripada daerah pegunungan. Biasanya mereka lebih sering ke Bali. Sama sepertinya, sambil momong anak-anak.“Oh,” jawab Raffa, “Abah nggak capek jalan kaki begini?”“Eleh-eleh, jangan ragukan kemampuan Abah, atuh. Mau disuruh jalan kaki lima kilo meter saja masih sanggup.” ucapan Abah barusan sontak membuat Raffa terkekeh.Lelaki tua ini! Hanya menyusuri koridor saja sudah ngos-ngosan. Sesak seperti orang yang kekurangan oksigen. Tapi dengan percaya diri berkata demikian.“Tadi berangkat masih gelap, sekarang sudah mulai kelihatan remang-remang. Matahari juga udah mulai keliatan ya, Raff,” gumam Abah lagi.“Iya, kita tadi terlalu banyak ngobrolnya di Masjid, Bah.”“Harusnya kita itu mengaji bukan ngobrol, ya?”“Nggak papa, ‘kan ngobrolnya yang be
“Ya Allah, Sifaa!!”“Aaaaakhhh!!” Terdengar suara teriakan Priscilla dan orang-orang yang berada di sana. Semua sangat terkejut. Sangat terkejut. “Syifa ...” terdengar suara Ummi yang melemah. Air mata sudah membanjiri pipinya. Begitu juga dengan Raffa yang langsung berlari menghampiri. Ketakutan dan kekhawatiran akan keadaan Syifa sangat menguasai dirinya.Semua orang yang berada di sana juga berhambur mendekati Syifa. Berkerumun layaknya sebuah tontonan. Melihat lebih dekat tubuh kecil bocah berusia dua tahun lima bulan itu sudah terkapar lemas di lantai. Dengan kaki dan jidat yang luka akibat terkena pinggiran Luggage trolley. Yang bahannya terbuat dari besi.“Adeeeek, bangun Dek, bangun ...” Zikra menangis tersedu-sedu sambil mengguncang tubuh adiknya. “Maafin Kakak dek, ngga bisa jagai adek. Adek baanguuuuuunnn, adeeeekkk ....”Raffa langsung mengangkat putrinya lalu membopongnya keluar Hotel. Disusul oleh Priscilla yang menuntun tangan Zikra. Beruntung, Pak Jo sangat sigap sehi
Ketiga orang itu terkejut. Yaitu Fery, Yoto dan istrinya saat mendengar kejujuran dari Nida.Mereka sama sekali tak pernah menaruh curiga terhadap keluarga ini dan seluk beluknya. Tak menyangka sama sekali bahwa anak kesayangan pasangan Surya dan Nida ternyata bukanlah darah daging mereka. “Ja-jadi Priscilla bukan anak kandungmu?” tanya Yoto. Beliau terlihat pias.“Iya Pak Yoto,” jawab Papi Surya sejujur-jujurnya. Ini adalah langkah yang paling baik menurutnya.Mereka sudah memikirkannya dari jauh-jauh hari. Ketika Priscilla akan menikah nanti, mereka akan membuka yang sebenar-benarnya. Bahwa, ada wali sebenarnya yang jauh lebih berhak menikahkan Priscilla daripada dirinya. Terkecuali, jika Ayahnya memang telah tiada.“Saya tidak bisa memiliki anak. Tiga puluh tahun silam, saya di vonis mandul oleh dokter. Jadi kami terpaksa mengadopsi Priscilla dari orang tua yang sangat kekurangan. Kami sama-sama saling membutuhkan, kita butuh anak, dan dia butuh sekali uang untuk biaya kehidupannya