Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.
Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya. “Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram. Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli. "Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!" Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal. "Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidupku! Kali ini aku tidak akan kalah dari pria tua brengsek itu!" Namun, meski sudah yakin dengan keputusannya, Daniel tetap tak bisa lepas dari ucapan Dylan yang mengancamnya. Kata-kata itu terus berputar di kepalanya. "Kalau kamu kehilangan kesempatan ini, aku akan mengeluarkanmu dari perusahaan!" Daniel mendengus. "Silakan aja! Akan aku buktikan kalau aku tidak butuh dia!" Namun, jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan kecil. Papanya benar—tanpa nama Zionathan di belakangnya, tidak akan ada Pengusaha besar yang mau melirik bisnisnya. Nama keluarganya adalah tiket emas yang selama ini membukakan pintu di dunia bisnis. Tapi Daniel menepis pikiran itu. Matanya fokus ke jalan, tetapi pikirannya masih berkecamuk. Ia tidak menyadari lampu merah di depan. HONK!!! Suara klakson keras membuyarkan lamunannya. Saat Daniel menoleh, sebuah mobil lain melaju dari arah berlawanan. Brakkk! Benturan keras mengguncang tubuhnya. Mobilnya terpental ke sisi jalan, menabrak tiang lampu sebelum berhenti dengan suara dentuman memekakkan telinga. Airbag mengembang, melindungi tubuhnya dari benturan fatal, tetapi kepalanya tetap terbentur dashboard. Pandangan Daniel mulai kabur. Suara hujan, klakson mobil, dan teriakan samar-samar terdengar di kejauhan. Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, hanya satu hal yang terlintas di pikirannya— "Sial... ini di luar rencana..." ••• Malam itu, ketenangan di rumah sakit mendadak terusik. Alicia yang baru saja duduk santai di ruang dokter bersama rekan-rekannya, menikmati kopi hangat, harus kembali bertugas ketika seorang perawat datang dengan wajah panik. "Dr. Alicia! Ada korban kecelakaan baru masuk!" Alicia segera berdiri. "Bagaimana kondisinya?" "Pria, sekitar tiga puluh tahunan, luka di pelipis dan kemungkinan keseleo di pergelangan tangan. Butuh observasi segera!" Tanpa membuang waktu, Alicia mengenakan jas dokternya dan bergegas menuju IGD. Namun, begitu ia melihat siapa pasiennya, ia langsung berhenti di ambang pintu. "Itu... itu bukannya Daniel?" Astaga. Ini tidak mungkin. Bahkan di rumah sakit pun dia harus melihat pria itu? Padahal mereka baru bertemu beberapa menit lalu. Alicia merasa ingin tertawa miris. Tuhan benar-benar sedang bercanda dengannya. Ia pernah berharap Danielmenghilang dari hidupnya. Bahkan pernah, dalam kemarahannya, ia berpikir kalau Daniel mati pun, ia tidak akan peduli. Namun, lihat sekarang—bukannya mati, pria itu malah muncul di hadapannya lagi dalam keadaan nyaris utuh. Sementara pacarnya dulu… ketika mengalami kecelakaan, langsung kehilangan nyawanya tanpa ada kesempatan kedua. Sungguh menyebalkan. Tak kalah kesal dengan Alicia, melihat wanita itu yang berdiri dengan menatapnya, Daniel pun bergumam, "Sial… dia lagi?" Alicia menghela napas panjang, mencoba menekan emosinya. Bagaimana pun juga ia seorang dokter, siapapun pasiennya ia harus profesional "Oke Alicia, di sini kamu adalah dokter dan pria itu adalah pasienmu," ucap Alicia dalam hati. Sebelum melanjutkan langkahnya ia menarik napas panjang-panjang. Menghadapi Daniel harus menyiapkan kesabaran penuh. Daniel berusaha duduk, tapi Alicia dengan cepat menahannya. "Jangan banyak bergerak. Anda mengalami benturan di kepala. Cukup serius, jadi tetaplah berbaring. Saya akan memeriksa anda," katanya dengan sigap, menganggap Daniel seperti orang asing dengan mamakai panggilan "anda" menunjukkan sikap keprofesionalannya sebagai dokter. Daniel mendengus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa pulang sekarang juga." "Tidak," Alicia menjawab tegas. "Melihat luka anda, anda harus tetap dirawat." Daniel tidak mau mendengarkan. Ia pun duduk lalu mengatakan, "Aku bisa membayar rumah sakit ini berapa pun yang mereka mau, jadi aku bisa keluar sekarang juga," tegasnya dengan kesombongan. Alicia menatap tajam. "Ini bukan soal uang, Bapak Daniel Zionathan yang terhormat. Ini soal kesehatanmu. Aku dokter di sini dan aku berhak menentukan apakah pasien boleh pulang atau tidak. Kamu itu pasienku dan aku yang tahu kondisi kesehatanmu!" tekannya penuh kesal. Ya, kesabarannya yang setipis tisu sudah habis. Menghadapi seorang CEO sombong dan angkuh itu tidak cocok dengan hati. Harus dengan urat leher. Daniel menatapnya dengan sinis, lalu menyilangkan tangan dengan ekspresi malas. "Huh… Dokter cerewet!" Alicia mengepalkan tangan. "Beraninya anda menilai saya seperti itu!" Daniel menyeringai. "Memangnya kenapa? Kamu memang dokter yang cerewet 'kan? Pasien merasa sehat malah dipaksa untuk stay di rumah sakit." Alicia menghela napas panjang. "Daniel!" Ia setengah berteriak. Tak peduli lagi repotasinya sebagai dokter yang lembut, yang disayangi para pasien yang ia tangani. Namun, untuk pasien yang satu ini ia tak bisa seperti malaikat. Tidak cocok. Setan seperti Daniel harus dilawan dengan jiwa iblis. Daniel menatapnya dengan ekspresi puas. "Kenapa Alicia? Kamu sudah cinta padaku makanya kamu tidak mau jauh-jauh dari seorang Daniel?" Alicia membelalakan matanya. Jatuh cinta? Ia lalu tertawa keras. Lucu sekali pria itu. Namun, kemudian ia menyadari sesuatu. Ruangan ini tiba-tiba terasa ramai. Mata Alicia bergerak ke sekitar dan mendapati beberapa perawat berdiri di pojok ruangan, menatap mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, bahkan ada yang berbisik-bisik. "Hei, bukankah itu CEO Zion Corp?" bisik seorang perawat. "Iya! Yang katanya dingin dan nggak berperasaan itu, kan," sahut perawat lain. "Terus kenapa dia dan Dr. Alicia malah ribut seperti pasangan yang bertengkar? Apa jangan-jangan..." Alicia langsung memijat pelipisnya, menahan kesal. "Oke, semuanya keluar," katanya tegas. "Tapi, Dok—" "KE LU AR!" ulang Alicia dengan nada lebih tajam. Para perawat akhirnya keluar dengan enggan, tapi tak berhenti berbisik-bisik. "Astaga, mereka berdua ada apa, ya?" "Aku nggak pernah melihat Dr. Alicia semarah itu!" "Pasti ada sesuatu di antara mereka!" Begitu pintu tertutup dan hanya tersisa Alicia dan Daniel di ruangan itu, Alicia kembali menatap pria itu dengan ekspresi geram. Daniel, dengan wajah menyebalkannya, justru menyeringai puas. "Kenapa mengusir mereka? Takut mereka tahu bahwa kamu tertarik padaku?" Alicia menatapnya dengan tatapan membunuh. "Dengar ya, Bapak Daniel. Aku bisa saja menyuntik mati pasien yang menyebalkan sepertimu, dan nggak akan ada yang curiga. Aku akan bilang ini adalah efek samping dari kecelakaanmu." Daniel malah tertawa. "Dokter macam apa yang memeriksaku ini," sindirnya. Alicia mengepalkan tangan. "Aku serius, Daniel! Aku benar-benar muak denganmu!" Daniel masih dengan ekspresi menyebalkannya. "Kalau muak, beri aku izin pergi dari rumah sakit ini." Alicia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Ya Tuhan, beri aku kesabaran. Atau kalau tidak… beri aku izin untuk melempar pria ini dari jendela." Daniel hanya tertawa kecil, menikmati bagaimana Alicia terlihat begitu frustrasi karenanya. Namun, sebelum Alicia bisa benar-benar menghantamkan clipboard ke kepala Daniel, pria itu tiba-tiba berkata dengan nada dingin, "Aku ingin ditangani dokter lain." Alicia membeku. "Apa?" Daniel menatapnya dengan santai. "Aku tidak percaya kamu bisa menangani kondisiku dengan baik. Lebih baik dokter lain aja yang merawatku." Alicia mendelik. "Kamu meremehkan kemampuanku?" Daniel tersenyum miring. "Kamu sendiri yang memulainya, Dokter. Malam itu, kamu meremehkan kejantananku. Bahkan kamu bilang aku gay, bukan?" Ia tak tahan menyimpan rasa dendamnya pada Alicia. Malam itu Alicia benar-benar berani merendahkannya. Maka ia tak akan melepaskan gadis itu sebelum ia merasa puas. Alicia terbelalak. "Oh, jadi ini balas dendam?!" Daniel diam. Alicia nyaris gila dibuatnya. "Kamu benar-benar tidak tahu diri!" Daniel hanya mengangkat bahu. "Aku hanya ingin memastikan orang yang menanganiku adalah seseorang yang kompeten." "Oke, kamu pikir aku sudi merawatmu? Tidak sudi sama sekali, Daniel!" Darah Alicia mendidih. Ia menatap pria itu penuh kebencian, lalu dengan gerakan kasar, ia merapikan jas dokternya, membetulkan poninya yang berantakan, dan berbalik menuju pintu. Begitu ia membuka pintu dan keluar, para perawat langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. Alicia melotot. "Apa yang kalian lihat?!" Para perawat langsung menunduk takut dan buru-buru berpura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka. ...Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat.Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya."Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana.""Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah.""Tapi, Yah...""Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan."Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?"Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-malui
PLAK!Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri."Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan.Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk.“Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan.Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya.PLAK!Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras.Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!"Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka ham
Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya.“Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram.Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli."Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!"Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal."Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidu
PLAK!Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri."Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan.Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk.“Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan.Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya.PLAK!Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras.Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!"Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka ham
"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat.Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya."Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana.""Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah.""Tapi, Yah...""Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan."Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?"Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-malui
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan