PLAK!
Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri. "Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan. Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk. “Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan. Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya. PLAK! Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras. Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!" Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Kalau kamu bukan darah dagingku, Daniel, sudah aku usir kau dari rumah! Dan aku tidak akan peduli dengan masa depanmu!” geramnya pada anak keduanya yang tak mau diatur itu. Semakin besar semakin keras kepala dan pembangkang. Daniel menepis tangan papanya dengan kasar. "Papa pikir aku takut? Lakukan! Aku juga sudah muak menjadi bagian keluargamu!" Dylan menyipitkan matanya, lalu berjalan ke sudut ruangan. Ia mengambil tongkat golf yang tersandar di sana, menggenggamnya erat, dan mengarahkannya ke Daniel. Sudah lama ia tak menyentuhkan tongkat golf ini ke tubuh besar putranya itu. “Jangan bodoh, Daniel,” ucapnya dingin. “Kalau kamu kehilangan kesempatan ini, aku akan mengeluarkanmu dari perusahaan!” Daniel tercekat. Dikeluarkan dari perusahaan? Takut tapi Daniel harus menyembunyikan kegelisahannya. Malam ini ia tak mau kalah dengan papanya. Siapa yang mau nikah sama dokter itu. Enak saja. Ia pun tertawa sinis. “Aku tidak butuh perusahaanmu! Aku bisa membangun perusahaanku sendiri!” tantangnya. Dylan tertawa mengejek. “Kamu pikir semudah itu?” Ia mengayunkan tongkat golfnya perlahan ke udara. “Tidak akan ada pengusaha yang mau menanamkan saham di perusahaanmu tanpa aku, Daniel! Tidak akan ada! Tanpa aku, tanpa nama Zionatan di belakangmu, kamu itu bukan siapa-siapa!” Daniel mengepalkan tangannya. Amarah membakar dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih tongkat golf yang dipegang ayahnya dan hampir saja mengayunkannya. “Daniel, stop!” Sebuah tangan kuat menahan gerakannya. Agala, kakak laki-lakinya, muncul entah dari mana dan dengan cepat menahan adiknya. Daniel meronta. “Lepaskan aku, Gala! Aku muak dengan orang ini!” Namun, Agala justru menamparnya. Daniel membeku. Ia menatap kakaknya dengan terkejut dan tak percaya. Selama ini, Agala selalu membelanya. Namun, sekarang? “Agala…?” suaranya lirih. “Kamu pikir memukul papa akan menyelesaikan masalah?” suara Agala dingin. “Kendalikan emosimu, Daniel.” Daniel terdiam beberapa saat, lalu menepis tangan kakaknya dengan kasar. Dengan wajah penuh kejengkelan, ia berbalik dan meninggalkan ruangan. Brak! Pintu kamarnya dibanting dengan keras. Ia masuk ke dalam dengan napas memburu, dadanya masih dipenuhi amarah yang membakar. Beberapa saat kemudian, Agala masuk ke dalam kamar adiknya itu. “Daniel, kita harus bicara.” “Pergi!” bentak Daniel. “Aku tidak mau dengar omonganmu! Aku sudah muak dengan semuanya! Muak dengan Papa! Muak juga denganmu!” “Daniel, dengarkan aku dulu—” "Apa yang mau didengar, hah?" Agala Zionatahan—pria 38 tahun itu menghela napas. "Aku tahu papa selalu menuntutmu dengan beberapa hal yang tidak kau sukai, Daniel. Namun, bukan berarti kamu boleh bersikap kasar ke papa. Bagaimana pun juga dia itu tetap ayah kita." Daniel tertawa sinis. "Ayah kita? Ayahmu saja, kali. Aku merasa tidak ada peran ayah di hidupku selama ini." Ya, sejak kecil Daniel diperlakukan berbeda. Karena memiliki karakter yang wataknya sangat keras dan tak mau diatur membuatnya sering dididik dengan cara lebih istimewa. Diberi hukuman dengan pukulan atau dikurung di gudang. Tak seperti Agala yang penurut. Diperintahkan apapun selalu saja menerima tanpa perlawanan. "Daniel..." Agala mencoba membujuk. Namun, saat tangannya ingin menyentuh pundak adiknya itu, Daniel justru menepisnya dengan sorot mata yang tajam. “Pergi, Gala!” Daniel menatap kakaknya dengan tajam. “Aku tidak butuh nasihatmu! Aku sudah mengambil keputusan!” Tanpa menunggu jawaban Agala, Daniel meraih kopernya, mengambil beberapa barang penting, lalu berjalan menuju pintu. “Daniel!” Daniel menoleh sebentar, sorot matanya penuh kebencian. “Aku keluar dari rumah ini.” Alis Agala bertaut. “Jangan gegabah, Daniel.” Daniel tersenyum miring. “Gegabah?” Ia tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Aku tidak mau tinggal di rumah ini lagi. Aku tidak butuh keluarga yang hanya melihatku sebagai alat bisnis!” Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan melangkah pergi. Agala hanya bisa memandang kepergian adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Malam itu, Agala kembali ke ruang kerja papanya. Dylan duduk di kursi kebesarannya, terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa. “Papa sudah kelewatan.” Suara Agala penuh tekanan. Dylan tidak langsung menjawab. Ia menutup berkas yang sedang dibacanya, lalu menatap putra sulungnya. “Kamu datang untuk memarahiku?” “Aku ingin penjelasan,” tegas Agala. “Kenapa Papa begitu memaksa Daniel untuk menikah? Apa Papa masih tidak puas mengatur hidup Daniel sejak kecil? Sekarang masalah menikah pun Papa ingin mengaturnya? Pa, cukup. Biarkan Daniel menentukan hidupnya. Dia sudah cukup sukses sekarang. Berikan dia kepercayaan. Aku yakin Daniel tahu apa yang terbaik untuk dirinya." Dylan menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menautkan jemarinya. “Karena ini adalah kesempatan emas. Kesempatan tidak datang dua kali, Agala. Aku tidak mau melewatkannya." Agala mengernyit. “Kesempatan emas?” “Papa ingin menjodohkan Daniel dengan Alicia Agandana,” jawab Dylan tanpa basa-basi. “Putri dari rekan bisnis Papa yang sangat kaya. Keluarga mereka tidak memiliki penerus. Jika Daniel menikahi Alicia, itu berarti kita akan memiliki kendali lebih besar atas perusahaan mereka. Bisnis kita akan semakin berkembang. Sebelum Alicia jatuh ke pria lain. Bukankah lebih baik Daniel yang mendapatkannya?" Agala terdiam. Ini jauh lebih buruk dari yang ia duga. “Jadi bagi Papa, pernikahan Daniel bukan soal kebahagiaannya? Hanya soal uang dan bisnis?” Dylan mendengus. “Kebahagiaan itu bisa dibeli, Agala. Uang jauh lebih penting. Tanpa uang kamu pikir bisa bahagia? Jangan bodoh, Agala." Agala mengepalkan tangannya. “Daniel bukan orang yang bisa dipaksa. Jika Papa menentangnya, dia bisa saja nekat pergi dan meninggalkan keluarga ini selamanya. Bagaimana pun dia adikku, dan aku tidak mau keluarga kita terpecah cuma karena perjodohan itu." Dylan tersenyum kecil. “Itu sebabnya, kedatangamu ke sini adalah langkah yang tepat, aku memintamu untuk membujuknya.” “Apa?” “Kamu kakaknya, dia mungkin akan mendengar kata-katamu.” Dylan menatapnya tajam. “Bujuk dia, buat dia mengerti bahwa ini bukan hanya untuk kepentingan keluarga, tapi juga untuk masa depannya sendiri.” Agala menggeleng tegas. “Aku tidak akan melakukannya.” Dylan menyipitkan matanya. “Jadi, kamu menentang Papa juga? Sudah berani?" “Bukan begitu, Pa. Aku hanya ingin Papa memahami bahwa Daniel berhak memilih jalannya sendiri. Aku sudah muak dengan pertengkaran antara Papa dan Daniel. Apa tidak bisa kalian sekali saja akur dan hidup normal seperti ayah dan anak?" Dylan tertawa kecil. “Kalau begitu, aku punya tawaran untukmu.” Agala mulai merasa tidak nyaman. “Kamu tahu posisimu di perusahaan, kan?” Dylan menyeringai. “Jika kamu menolak membantu, aku akan menurunkanmu dari jabatan direktur.” Mata Agala melebar. “Apa? Papa tidak serius, kan?” “Aku sangat serius.” Agala terdiam. “Kamu sudah berkeluarga, punya istri,” lanjut Dylan. “Kamu pasti butuh uang, kan? Kehilangan jabatan berarti kehilangan gaji besar dan fasilitas perusahaan.” Agala mengepalkan tangannya semakin erat. Ia merasa dijebak. Ini bukan hanya tentang Daniel, tapi juga tentang keluarganya sendiri. "Kalau jabatanmu hilang, istrimu mungkin meninggalkanmu," tambah Dylan. Mau tak mau, akhirnya ia mengangguk pelan. “Oke…” suaranya terdengar berat. “Aku akan mencoba berbicara dengan Daniel.” Dylan tersenyum puas. “Pastikan dia tidak menolak." Agala menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah keputusan yang salah, tapi ia tidak punya pilihan lain. ....Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya.“Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram.Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli."Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!"Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal."Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidu
Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat.Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya."Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana.""Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah.""Tapi, Yah...""Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan."Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?"Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-malui
Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya.“Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram.Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli."Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!"Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal."Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidu
PLAK!Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri."Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan.Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk.“Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan.Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya.PLAK!Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras.Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!"Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka ham
"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat.Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya."Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana.""Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah.""Tapi, Yah...""Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan."Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?"Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-malui
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan