"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."
Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat. Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya. "Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana." "Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah." "Tapi, Yah..." "Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan." Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?" Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-maluin, Ayah." "Ih, bawel banget sih!" Alicia berjalan dengan malas menuju kamarnya. Setelah kejadian semalam ia uring-uringan. Masih tak bisa moveon dengan hal gila yang sudah ia lakukan dengan pria asing itu. Setelah melewati banyak drama, akhirnya Alicia dan ayahnya tiba di Restoran. Ketika sampai di ruang VVIP yang telah dibooking dan melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu, duduk di kursi—menatap kedatangannya. Matanya langsung terbelalak. Pria itu. Pria asing yang ia ajak tidur di bar kemarin. "Astaga Tuhan, emang boleh secepat ini aku dipertemukan dengan pria itu lagi?" Alicia memekik dalam hati. Tuhan benar-benar mengujinya. Apakah dirinya banyak dosa sehingga doanya sama sekali tak dikabulkan? Pulang-pulang ia harus tobat nasuha deh. Alicia hampir saja berbalik dan pergi jika saja ayahnya tidak langsung menarik tangannya. "Eh, mau kemana? Ini ruangan pertemuannya." 'Ayah, aku ingin kabur.' Jika saja Alicia bisa bicara seperti itu. Panik, Alicia mencoba menutupi wajahnya dengan tangan, berharap pria itu tidak mengenalinya. Namun, tatapan pria itu tetap terkunci padanya, membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. "Semoga dia nggak ingat sama gue. Semoga dia lupa dengan kejadian itu," doanya dalam hati. "Alicia, kenapa sih menutup-nutupi wajahmu begitu?" suara ayahnya terdengar santai, tidak menyadari kegelisahan putrinya. "Jangan khawatir, kamu cantik kok malam ini." Alicia terpaksa tersenyum kecil, berpura-pura tetap elegan dan tidak terpengaruh. Ia berusaha bertindak seolah tidak ada yang terjadi, seolah ia tidak pernah bertemu pria itu sebelumnya. Begitu duduk, ayahnya langsung membuka percakapan. "Alicia, kenalkan, ini Daniel Zionathan, CEO Zion Corporation," katanya dengan bangga. "Pria tampan berbakat, ambisius, dan memiliki masa depan cerah. Ayah yakin kalian akan cocok jika saling kenal satu sama lain. Kalian sama-sama cinta pekerjaan dan juga ambisius dalam keinginan untuk meraih kesuksesan." Daniel yang dibanggkan pun tersenyum miring. Merasa sangat senang dengan pujian itu. Sementara Alicia hampir tersedak air putihnya. SIAPA? CEO ZION CORPORATION? Ah, sial. Matilah. Rupanya pria yang ia ajak tidur kemarin bukan pria sembarangan. Zion Corporation adalah salah satu perusahaan raksasa yang bergerak di bidang perhotelan. Dikenal dengan perusahaan pencakar langit karena memiliki gedung tertinggi dan terkenal tak hanya dalam negeri tapi juga sudah internasional. Berita dan pengiklannya sering muncul di internet dan juga di televisi. Melibatkan bintang-bintang besar seperti aktor, artis, model, bahkan idol kpop. Dan lagi, Daniel Zionathan. Pria 35 tahun itu bukan sekadar Pengusaha biasa. Ia terkenal sebagai sosok yang dingin, angkuh, dan keras kepala. Di dunia bisnis, ia dijuluki "The King of Ice" karena sikapnya yang dingin dan tak berperasaan. Keputusannya selalu tegas dan tak bisa diganggu gugat, membuat para bawahannya lebih memilih menunduk daripada menantang pendapatnya. Seorang Daniel dikenal perfeksionis, tidak suka basa-basi, dan punya reputasi sebagai pria yang ditakuti oleh siapa pun yang bekerja di bawahnya. Lalu, bencana yang sebenarnya pun datang. "Jadi, bagaimana dengan perjodohan mereka?" Suara pria paruh baya yang duduk di seberang tiba-tiba memecah keheningan. Pria itu ayah Daniel—Dylan Zionathan. Alicia membelalakkan mata, refleks menoleh ke sumber suara. Namun, kali ini, bukan hanya dia yang terkejut. Daniel yang terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apa pun, kini menatap papanya dengan sorot mata tajam. Bukan hanya terkejut, tetapi sangat tidak senang. Sebagai seseorang yang begitu berkuasa di dunia bisnis, Daniel bisa saja menolak ide ini di tempat. Ia bisa mengatakan dengan tegas bahwa ia tidak tertarik dijodohkan, bahwa ia tidak ingin terikat dalam hubungan apapun. Tapi ia tidak bisa melakukannya jika orang yang ia hadapi adalah... Dylan Zionathan—ayah sekaligus Dewan direksi di Perusahaannya. Alicia menangkap sesuatu dalam tatapan Daniel. Sesuatu yang hanya bisa dilihat jika diperhatikan lebih dalam. Dylan Zionathan. Pria itu bukan orang sembarangan. Ia bukan sekadar seorang ayah, tetapi seseorang yang memiliki pengaruh besar dalam hidup Daniel. Jika pria seangkuh dan sekaku Daniel tidak berani menolak langsung, maka sudah jelas bahwa ada sesuatu di antara mereka yang membuatnya harus menahan diri. Alicia menoleh ke arah ayahnya, berharap ini hanya gurauan. Namun, ayahnya malah tersenyum santai. "Ayah belum sempat memberitahumu, ya?" katanya sambil menyeruput air putih di tangannya. "Kami sudah membahas ini cukup lama. Daniel adalah pria yang baik, dan ayah pikir kalian akan cocok kalau jadi pasangan." Alicia ingin berteriak. 'Cocok?' Bagaimana mungkin ia bisa cocok dengan pria yang baru saja ia temui dan lebih parahnya lagi, pria yang sudah pernah berbagi ranjang dengannya? Sementara itu, ingatan buruk itu kembali menyerang Alicia seperti ledakan besar. Ia teringat betapa mabuknya ia saat itu, bagaimana ia bertemu dengan Daniel di bar, dan entah bagaimana akhirnya mereka berakhir di kamar hotel. Namun, bagian terburuknya bukan hanya itu. Ia ingat bagaimana dirinya, menghina pria itu. Alicia meneguk salivanya dengan susah payah. Ia ingin menenggelamkan dirinya sendiri saat ini juga. Apakah takdir gila ini tanda mereka berjodoh? Ah, pikiran macam apa itu. Tidak mau. Ia tidak mau menikah apalagi dengan pria yang memiliki julukan "The King of Ice." Sungguh takdir yang akan ia tolak mentah-mentah. Setelah banyak berbincang tentang bisnis dan perjodohan Daniel dan Alicia, akhirnya pertemuan itu berakhir. Para orang tua lebih dulu meninggalkan meja, seolah sengaja memberi waktu berdua untuk Daniel dan Alicia. Alicia berniat segera pergi. Namun, baru saja ia berdiri, tangan Daniel mencengkeram pergelangannya. Kuat. Menahannya di tempat. "Aku tidak menyangka, begitu cepat menemukanmu, Dokter Alicia," gumam Daniel dengan nada suara khasnya yang dingin. "Dokter yang berani memfitnahku dan juga merendahkanku," lanjutnya. Dari nada bicaranya kali ini, Alicia bisa merasakan kekesalan pria itu. Alicia belum sempat merespons, Daniel lebih dulu meletakkan sesuatu di atas meja. Sebuah paper bag yang isinya terlihat, sebuah jubah dokter berwarna putih. Mata Alicia membelalak. Itu jubahnya! Ia bahkan tak ingat telah meninggalkan jubah itu di hotel. Ia benar-benar mau melupakan kejadian malam itu. Jadi soal jubah itu juga ikut terlupakan. Alicia langsung merasa panas, tetapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan reaksinya. Dengan cepat, ia mengambil paper bag itu dan menggenggamnya erat. "Ceroboh sekali. Bagaimana mungkin seorang dokter kehilangan jubahnya?" Daniel menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap Alicia penuh penilaian. "Kamu beruntung karena aku yang menemukannya." Beruntung? Alicia menarik napas dalam, lalu menepis tangan Daniel dengan tatapan tajam. "Batalkan perjodohan kita!" katanya dengan suara mantap. "Aku tidak mau menjadi istrimu!" Ucapnya tanpa basa-basi. Tatapan Daniel berubah lebih dingin. Rahangnya mengeras. Ia pun berdiri. "Kamu pikir aku menginginkan perjodohan itu?" suaranya rendah, tetapi penuh ketegasan. "Jangan terlalu percaya diri, Alicia. Aku juga tidak sudi menikahi dokter yang hobi meniduri pria." Mata Alicia membulat sempurna. Ucapan Daniel membuatnya ingin merontokan gigi pria itu. Daniel menyeringai tipis. "Dan untuk apa menikahi wanita yang sudah tidak perawan lagi?" Tangan Alicia terangkat ke udara, siap memukul wajah Daniel karena sudah sangat kurang ajar. Padahal jelas yang memecahkan selaput darahnya malam itu adalah pria yang di depannya ini. Namun, Daniel berhasil menangkap tangannya. "Beraninya kamu mau memukulku!" Sarkas Daniel. "Lepaskan tanganku!" pekik Alicia. Tak perlu cemas orang mendengar pertengkaran mereka. Di tempat ini kedap suara. Daniel memajukkan kepalanya. Sedikit membungkuk untuk menatap tepat di depan wajah Alicia. "Dengar Alicia, aku tidak akan melupakan malam itu. Kamu merendahkanku dan kamu tidak akan bisa lari gitu aja dariku!" Ia pun melepas pegangannya. "Aku bersumpah, aku tidak akan pernah memiliki suami seorang Daniel Zionathan!" teriak Alicia di depan wajah pria itu. Ia ingin meludahnya. Namun, mengingat dirinya seorang dokter. Ia harus menunjukkan sikap moralnya. "Aku juga tidak mau punya istri seorang dokter gadungan!" "Kurang ajar!" Plak! Tangan Alicia akhirnya berhasil menyentuh pipi Daniel. Tak seorang pun boleh merendahkan gelar kedokterannya yang ia dapatkan dengan penuh perjuangan. Banyak pengorbanan dan seenaknya saja pria itu merendahkannya. Bodo amat siapa seorang Daniel. CEO atau siapapun itu tak boleh ada yang berani menyinggung kedokterannya. Titik! ...PLAK!Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri."Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan.Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk.“Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan.Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya.PLAK!Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras.Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!"Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka ham
Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya.“Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram.Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli."Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!"Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal."Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidu
Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
Hujan deras mengguyur kota, butiran air menghantam kaca depan mobil Daniel yang melaju dengan kecepatan tinggi. Wiper bekerja cepat, namun pandangannya tetap terasa kabur, bukan karena cuaca, tetapi karena pikirannya yang kacau balau.Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, rahangnya mengatup, dan napasnya berat. Dadanya masih bergemuruh penuh amarah setelah pertengkaran sengit dengan ayah dan kakaknya.“Sialan! Berani-beraninya mereka memperlakukanku seperti ini! Seolah aku ini barang yang bisa mereka atur sesuka hati!” gumamnya dengan suara geram.Daniel menekan pedal gas lebih dalam. Mobil hitam yang dikendarainya melesat di jalanan basah, melewati lampu merah tanpa peduli."Aku bukan alat untuk memperbesar bisnis keluarga!" suaranya semakin meninggi, nyaris berteriak di dalam mobil. "Aku bukan anak kecil! Aku tahu apa yang aku mau!"Ia tertawa sinis, lalu menendang dashboard dengan kesal."Setelah memperalatku dari kecil dan sekarang mengatur pernikahaku? Omong kosong! Ini hidu
PLAK!Pukulan itu melayang cepat, menghantam wajah Daniel dengan keras. Suara tamparan menggema di ruangan. Daniel tersentak ke belakang, rahangnya menegang menahan nyeri."Apa-apaan?!" Daniel menatap papanya penuh kemarahan.Dylan Zionatan berdiri tegak di hadapannya, tatapannya tajam menusuk.“Kamu sudah berani melawan aku sekarang?” suaranya terdengar rendah, tapi penuh tekanan.Daniel mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya naik turun tak terkendali. “Berhenti mengatur hidupku!” serunya. “Aku sudah dewasa! Aku berhak menentukan wanita yang ingin aku nikahi! Lagipula aku tidak mau menikah!” teriaknya di akhir kalimatnya.PLAK!Satu tamparan lagi mendarat di wajahnya. Kali ini lebih keras.Daniel menoleh tajam ke arah papanya, dadanya naik turun penuh amarah. “Aku bukan anak kecil lagi! Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecilmu, Pa!"Dylan tidak peduli. Dengan gerakan kasar, ia menarik kerah baju putranya dan menariknya mendekat hingga wajah mereka ham
"Pokoknya gue nggak boleh ketemu sama cowok itu lagi. Plis Tuhan, tolong jangan pertemukan aku lagi dengan pria itu..."Namun, Tuhan sepertinya tidak sayang pada Alicia. Buktinya doanya tak terkabulkan dalam waktu sangat cepat.Malam itu, Alicia dipaksa menghadiri makan malam persahabatan antara ayahnya dengan rekan bisnisnya, meskipun sudah berusaha keras mencari alasan untuk menolak. Namun, ayahnya terus memaksanya."Ayah, aku udah bilang aku lagi nggak enak badan. Aku nggak mau kemana-mana.""Tidak bisa Alicia, kamu harus ikut. Sebentar saja. Ayah janji ini ajakan terakhir untuk menemani ayah ketemu rekan bisnis sekaligus sahabat lama ayah.""Tapi, Yah...""Alicia, Ayah mohon banget. Kamu tidak kasihan Ayah pergi sendirian? Ayah yang lumpuh gini aja masih semangat untuk pergi, kamu yang cuma sakit ringan malah malas-malasan."Alicia menghela napas. "Ya udah, iya, iya. Aku pergi. Puas?"Ayahnya pun tersenyum dengan puas. "Sudah, cepat sana dandan cantik-cantik, ya. Jangan malu-malui
Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerpa wajah seseorang yang masih terbaring di tempat tidur. Matanya bergerak di balik kelopak yang masih berat, sebelum perlahan terbuka, menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Dengan malas, Alicia menghela napas panjang, lalu menggeliat, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalaman terlelap.Ia menguap lebar, mata sedikit berair karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Kepalanya masih terasa berat, enggan lepas dari bantal yang empuk. Namun, ia ingat siapa dirinya dan harus segera bergegas untuk berangkat kerja, dan akhirnya, dengan gerakan malas, ia berusaha bangkit, duduk. Menatap kosong ke depan sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.Tunggu. Kenapa ruangan ini asing? Apakah ia masih dalam mimpi?Alicia menampar-nampar pipinya. Pelan. Namun, cukup perih sih. Sadar ia tak sedang bermimpi. Matanya melebar, napasnya tertahan. Sudah. Ia sudah ingat sekarang."Oh sial! Ini bukan mimpi!" Alicia memekik dalam hati.Jantungny
Di meja bar, seorang wanita yang masih mengenakan setelan medis lengkap dengan jubah medisnya dan pria berpakaian formal dengan dasi yang sudah dilonggarkan, duduk bersebelahan, sama-sama limbung, sama-sama menatap gelas mereka dengan tatapan sayu, dan wajah frustasi berat. Wanita itu kemudian mendesah panjang lalu menjatuhkan kepalanya di meja.“Ibuku mati. Pacarku mati. Ayahku sakit-sakitan. Dan sekarang atasanku membuatku ingin mati. Kenapa dunia ini sangat membuatku muak? Oh Tuhan... aku benar-benar capek dengan hidupku,” gumam Alicia, suaranya hampir tenggelam oleh kebisingan musik yang mengalun."Aku ingin bahagia... aku ingin memecat pemimpin menyebalkan itu..." Kini Alicia menangis tapi diringi tawa hambar, sungguh malang. Gadis baik sepertinya harus merasakan kepahitan hidup.Pria di sebelahnya meneguk sisa minumannya dengan goyah. “Aku turut berduka." Ia meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku benci ayahku... sial! Kapan pria tua itu mati? Aku benci menjadi putra dan