Aku terkejut karena ternyata hasil tes Nanda yang tertera di baris bawah menunjukkan hasil positif. Lalu, di mana dia sekarang?"Apaan sih, Bra?" Caca merebut ponsel dari peganganku dan menunjukkan seringainya yang sangat puas setelah membaca isi layar. Kebiasaan, kepo banget. "Ular itu harus masuk karantina?""Namanya Nanda." Aku meralat caranya memanggil wanita yang beberapa bulan terakhir turut menghangatkan ranjangku. Padahal Caca di awal enggak permasalahin hubunganku dengan wanita manapun selama status kami resmi di depan publik."Kamu masih ngebelain dia? Aku sudah ada di sini buat nemenin kamu, masih enggak puas juga?"What the f*ck?Cuma gara-gara ngeralat nama doang jadi diceramahin panjang?Langka tau melihat Caca komplain ngebawa masalah kepuasan. Saking terkejutnya, aku malah baru sadar dia udah jalan cepat ke arah gerbang masuk area parkir."Bukan gitu," tanggapanku setelah menyusul langkahnya yang enggak ada tanda berhenti."Apa lagi sih, Bra? Sudah bagus aku ngejauhkan
"Apa kabar?" Mungkin terdengar canggung saat menyapa. Terasa banget beban di pangkal leher ketika harus melihatnya pasca kuantar terakhir kali."Buruk," putus Nanda langsung.Dia berjalan mendahuluiku melalui pintu utama IGD. Lorong yang kami lalui jadi semakin panjang semenjak pandemi karena ruang tindakan dipindahkan ke tempat yang lebih luas."Kamu sudah cek hasil pemeriksaan terbaru?" Aku enggak bermaksud menyusul dan tetap berada di belakang Nanda.Padahal dulunya dia sering di belakangku sebelum hubungan kami jadi berantakan. Kami bisa bicarakan kasus gejala khusus para pasien dan bergerak cepat karena kesamaan visi di sini."Ini mau mastiin." Masih ketus, Nanda mempercepat langkah."Jaga kesehatan. Makan dan istirahat yang cukup. Jangan stres."Dia spontan berbalik. Aku refleks terhenti sebelum menabrak, terkejut sampai mengacungkan kedua telapak tangan di depan dada. Ujung hidung Nanda sudah merah muda, juga sklera matanya meski tidak ada air mata yang keluar."Kalau memang Pa
Lelah rasanya terbayarkan melihat dirinya berada di sisi secara sadar tepat ketika aku membuka mata. Senyuman di wajah pucatnya, perjuangan yang telah Aya lalui ...."Hai ...." Suara Aya yang lemah dan serak menyapa.Aku menyaksikan kelopak mata Aya mengerjap. Tangannya dalam genggamanku bergerak mengisi tiap sela jemari."Terima kasih sudah kuat." Kukecup punggung tangan Aya, lembut, membiarkan detik terlewat sampai terdengar tawanya yang ringan."Berapa lama aku tidur?" tanya Aya sambil memiringkan tubuhnya ke arahku.Sekali dia mengaduh, aku refleks menegakkan punggung pada kursi yang kududuki, tidak lagi menyandarkan kepala pada sisi kosong ranjang di samping Aya."Aku enggak apa-apa, Bra. Duduk aja." Aya menguatkan genggamannya padaku. "Katakan, berapa lama?"Kulirik tampilan arloji di pergelangan tangan dalam kuasa Aya. Mungkin, "Sekitar ... dua puluh delapan jam?" semenjak memastikan Aya tidak sadarkan diri."Di mana anak-anak?""Banyak sekali pertanyaanmu hari ini ...." Aku me
"Kamu enggak kerja?" Pertanyaan Aya ke sekian kali hari ini karena aku masih juga menemaninya di kamar."Masih masa cuti abis karantina." Lumayan, mengambil jatah satu minggu menemani Aya sekaligus berkenalan dengan dua bayi dalam gendongannya.Kuambil si gadis kecil yang besarnya sebatas lengan bawahku, menggendongnya di samping Aya yang masih menyusui bayi satunya.. Kulitnya tampak kemerahan. Bulu matanya tampak memanjang ketika terpejam."Sudah punya nama yang pas?" tanyaku, terpesona dengan pahatan alami dari Tuhan."Maureen, wanita yang anggun." Aya seolah melihat bayangan lain menembus dinding di seberangnya sambil tersenyum lebar. Mungkin harapan akan masa depan. "Aku meminta nama baptis dari Romo beberapa minggu lalu.""Kalau si jagoan?" Kusentuh jari-jari mungil yang mendarat di dada terbuka Aya.Mata si bayi yang terbuka lebar tampak tajam. Kerut yang terbentuk dari ketegangan alisnya terlihat menegangkan."Ini Matthew, hadiah dari Tuhan. Seperti nama depanmu, kan?"Iya, had
Pasca kepulangan Aya dari rumah sakit, kami memilih tetap mengurus anak-anak di rumah sendiri. Banyak faktor yang menjadi alasan sebenarnya, salah satunya menjaga kesehatan mental Aya dari pembicaraan orang lain mengenai metode pengasuhan anak.She's good and try her best to our kids. More enough.Mungkin sesekali Caca datang dengan alibi membantu. Dia lebih seperti penonton yang memperhatikan setiap kebiasaan Aya ke anak-anak, atau mencoba mengurus mereka sesekali jika Aya kerepotan.Namun, sekali lagi Caca mengingatkan perjanjian kami.“Aku enggak bisa, Ca ....” Sebisa mungkin kami menjauh dulu dari Aya setiap membicarakan ini, bahkan menggunakan teras belakang rumah hanya untuk berdebat.“Perlu aku yang bilang?”“Seperti apa?” Tanganku sampai menengadah di antara kami.Jujur, aku kehabisan ide setiap melihat Aya begitu bahagia memiliki keluarga baru. Dia bahkan selalu bercerita di setiap menjelang tidur mengenai hal-hal baru yang berhasil dicoba.“Soal pernikahan kalian yang belum
"Jesselin Irawan?"Aku enggak sengaja baca lembar penandatanganan data pasien yang baru diletakkan perawat. Kupikir mungkin nama yang sama, tetapi melihat nama pasien yang tertera, sulit percaya jika mereka ada di sini kalau enggak lihat langsung."Kamu di sini?" Jessie lebih dulu menyapa ketika aku mendekati brankar dorong yang menampung suaminya. "Menakjubkan!"Ucapan histerisnya langsung kuberi isyarat telunjuk di depan masker. Padahal setengah wajahku tertutup, kok masih kenal aja."Apa yang terjadi?" tanyaku setengah berbisik saat mendekat ke sampingnya."Kami sedang berkeliling di sekitar sini, terus ...," Jessie memperagakan kejadian singkat menggunakan kedua tangannya diakhiri ibu jari yang diarahkan ke sang suami, "tadi ada penerobos lampu merah. Abi ...."Ya, bisa dilihat dari perban yang membalut lengan dan kaki kanannya.Di beberapa wilayah pinggiran kota ini memang sering ditemui para pelanggar aturan lalu lintas. Bukan hanya soal kelengkapan surat-surat, tapi juga kepatu
"Apa maksud kamu bilang begitu?" Aku mengusahakan tetap tersenyum hingga memperlihatkan sedikit deretan gigi meski tahu kalimatnya itu justru terasa menonjok perutku."Dugaanku salah?" Erlangga memutar pulpen dalam pegangannya, kemudian sok membaca lembaran yang diberikan perawat. "Sebelumnya kalian terlihat dekat, tapi beberapa minggu terakhir justru saling menghindar."Tanganku hampir melemas ke sisi tubuh karena arah pembicaraannya tertuju ke sosok Nanda belakangan, tetapi aku harus tetap bersikap normal dengan fokus pada topik awal. "Begini, saya masih tidak mengerti apa yang kamu maksud, tapi tolong jauhi adik saya.""Pak Abra terlalu serius nanggapin, ah. Kalimatnya jadi formal banget." Erlangga mengibaskan lembaran kertas di tangannya seperti gerakan mengipasi aku. "Lagian sama-sama sudah ada pasangannya. Enggak mungkin lah, Pak."Tetap aja enggak nyaman. Bulir keringatku bahkan terasa menuruni pelipis.Sadar dengan kecanggungan yang ada, aku memasukkan pulpen dalam saku dan me
"Beneran kamu enggak apa-apa?" Aya terbaring lemas di permukaan ranjang sedang selimut kututupkan ke seluruh tubuhnya yang polos tanpa terkecuali. Dia sampai tergelak akibat kesengajaanku menarik ujung selimut ke kepalanya."It's okay, Aya." Kukecup keningnya sebelum memasang kaus baru dan celana panjang kain yang ringan setelah memastikan enggak ada sisa air di tubuh. "Nevermind yah, Sayang.""Ini mau ke mana?" tanya Aya dengan sangat imutnya memeluk selimut di depan, ruang matanya membulat lebar. Kalau saja enggak ingat, bakal kuterkam beneran.Sayangnya, keraguan melanjutkan masih lebih kuat. Meski sebulan terlewati, aku justru mengkhawatirkan sakit yang masih Aya rasakan pasca operasi. Akhirnya kami hanya berakhir di ranjang, saling membelai, dan dia bisa mencapai klimaks yang nyaman.Aku enggak bakal maksa, jadi ibu baru itu pasti capek banget. Apalagi Mama rajin ngingetin kalau anakku dua sekaligus. Enggak kebayang."Makan. Tadi katanya sudah masak."Aya ternyata telah lelap di