"Apa maksud kamu bilang begitu?" Aku mengusahakan tetap tersenyum hingga memperlihatkan sedikit deretan gigi meski tahu kalimatnya itu justru terasa menonjok perutku."Dugaanku salah?" Erlangga memutar pulpen dalam pegangannya, kemudian sok membaca lembaran yang diberikan perawat. "Sebelumnya kalian terlihat dekat, tapi beberapa minggu terakhir justru saling menghindar."Tanganku hampir melemas ke sisi tubuh karena arah pembicaraannya tertuju ke sosok Nanda belakangan, tetapi aku harus tetap bersikap normal dengan fokus pada topik awal. "Begini, saya masih tidak mengerti apa yang kamu maksud, tapi tolong jauhi adik saya.""Pak Abra terlalu serius nanggapin, ah. Kalimatnya jadi formal banget." Erlangga mengibaskan lembaran kertas di tangannya seperti gerakan mengipasi aku. "Lagian sama-sama sudah ada pasangannya. Enggak mungkin lah, Pak."Tetap aja enggak nyaman. Bulir keringatku bahkan terasa menuruni pelipis.Sadar dengan kecanggungan yang ada, aku memasukkan pulpen dalam saku dan me
"Beneran kamu enggak apa-apa?" Aya terbaring lemas di permukaan ranjang sedang selimut kututupkan ke seluruh tubuhnya yang polos tanpa terkecuali. Dia sampai tergelak akibat kesengajaanku menarik ujung selimut ke kepalanya."It's okay, Aya." Kukecup keningnya sebelum memasang kaus baru dan celana panjang kain yang ringan setelah memastikan enggak ada sisa air di tubuh. "Nevermind yah, Sayang.""Ini mau ke mana?" tanya Aya dengan sangat imutnya memeluk selimut di depan, ruang matanya membulat lebar. Kalau saja enggak ingat, bakal kuterkam beneran.Sayangnya, keraguan melanjutkan masih lebih kuat. Meski sebulan terlewati, aku justru mengkhawatirkan sakit yang masih Aya rasakan pasca operasi. Akhirnya kami hanya berakhir di ranjang, saling membelai, dan dia bisa mencapai klimaks yang nyaman.Aku enggak bakal maksa, jadi ibu baru itu pasti capek banget. Apalagi Mama rajin ngingetin kalau anakku dua sekaligus. Enggak kebayang."Makan. Tadi katanya sudah masak."Aya ternyata telah lelap di
"Ketemuannya dipindah?" Aku terperanjat ketika kemeja yang kupegang dilemparkan Caca ke ranjang.Dia mengambilkan beberapa stel pakaian santai yang modelnya biasa kukenakan di rumah, hanya berbeda merek, dari lemari kamar. Caca ternyata sudah mempersiapkan banyak hal lebih dulu."Iya, Papa mau sekalian ngajak cucunya yang lain." Dipilihkannya satu untukku. "Pakai ini.""Anak Randy?" tebakku. "Setahuku saudaramu cuma si kunyuk itu.""Siapa lagi?" Caca berpindah ke depan meja rias dan mengeluarkan kotak besar berisi rak-rak dengan berbagai jenis produk tata rias."Seenggaknya nasi tadi sudah berubah jadi kalori biar bisa makan lagi." Celotehannya terus berjalan seahli jemarinya membentuk garis-garis natural di wajah. Dalam waktu singkat, raut pucat Caca berganti kesegaran alami.Mungkin itu salah satu bedanya Aya. Tanpa riasan pun pesonanya sudah membahayakan kesehatan jantungku. Sementara Caca sudah terbiasa bergulat dengan cahaya kamera dari berbagai arah, kehidupannya bukan hanya mil
Begitu kembali ke rumah, Aya yang menyambutku di depan pintu masuk rumah langsung terdiam menerima pelukan. Tepukannya terasa di punggungku, perlahan berganti elusan."Ada masalah, Bra?"Aku bungkam. Hanya membayangkan kehilangan. Keluhan yang selama ini aku alami belum seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitarku.Pelukanku padanya mengerat, lalu beralih melihat tas besar yang kukenali milik Mama bertengger di sofa depan. Jelas aku hafal selera Mama yang memilih beli tas secara custom daripada memamerkan merek terkenal."Mama di sini?" Kulepaskan pelukan dari Aya dan mulai meletakkan sepatu di samping sofa. Biasanya asisten rumah tangga yang datang pagi bakal beresin urusan kebersihan rumah."Ada di kamar anak-anak." Aya mengekoriku, ikut mengintip keberadaan wanita yang selama lebih dari setengah hidup membesarkanku sedang terlelap pada bantal besar di tengah ruangan.Enggak kebayang lelahnya Mama selama ini.Caca yang histeris di tempat umum mampu mengejutkanku. Dia t
Bergantian dengan Randy, giliran aku yang menunggu Caca di ruang tindakan setelah tertidur semalam di mobil. Lumayan, sakit punggung, tapi masih lebih baik daripada ketiduran pas lagi jaga malam di IGD."Kamu di sini?" Caca berusaha duduk sendiri sementara aku mengambilkan makanan yang disediakan pihak klinik di meja geser.Dia mengerjapkan mata, lalu melihat sekeliling. Telunjuknya bergerak ke arah tas tangan di ujung ranjang."Sebentar lagi berangkat. Aku ada sif pagi." Kuambilkan benda miliknya itu, lalu mengaduk bubur sayur pada mangkuk di tangan. "Ayo, makan dulu.""Bentar." Wanita ini ... sibuk deh ngaca abis dapet cermin dalam tempat bedak.Keluhannya terhadap riasan yang berantakan jadi mengesalkan sekali. Dari urusan pori yang ketutup, sebab jerawat, ampe bisa kanker kulit. Toh, ujung-ujungnya dibersihin sendiri.Kalau udah tahu tinggi risiko, ngapain juga pakai riasan? Tuntutan pekerjaan?Sembari membersihkan wajah, Caca menerima tiap suapan yang kujejalkan ke bibirnya. Celo
"Sudah mau pulang?" Pemuda yang menemui Caca meletakkan buket bunga di nakas. Bukan hal yang spesial, sih, hanya paduan krisan dan aster yang biasa ditemukan dalam acara-acara keluarga.Raut yang terbentuk di wajah Caca menyiratkan kebingungan. Dia melihatku dan si pemuda bergantian. "Bagaimana kamu bisa ada di--"Aku memotong perkataan Caca, "Sebentar. Ini siapa?" merasa tidak mengenal sosok yang menoleh padaku juga.Pemuda ini tidak lebih tinggi dariku, tetapi punggungnya tampak tegak ketika berdiri meski menggunakan busana kerja formal berjas. Bikin minder? Iya. Mungkin rutin olahraga, belakangan aku sendiri enggak sempat. Terlalu banyak masalah dan kerjaan."Selamat siang. Perkenalkan, saya Aksa Bagaskara, putra pertama dari Nugraha Salim.""Siapa?" Bentar, aku roaming beneran. Pengusaha yang mendominasi pasar pangan itu, kan?Maksudku, dominasi wajah si pemuda sama sekali berbeda dengan kalangan kami, terutama bagian tulang hidungnya yang tinggi."Klien baru Papa." Caca mengulurk
"Sudah pulang?" Aya meraih ransel dari pundak kananku dan bergegas masuk tanpa menunggu jawaban.Kayak ... cuma formalitas yang dilakukan tiap pulang kerja rasanya."Iya. Ngerjain apa?" Aku sempatkan mampir, menumpukan lengan di sandaran sofa sambil melihat Aya duduk di lantai menghadap layar yang dilengkapi papan kibor.Paham ajalah kerjaan yang enggak bisa dilepas Aya semenjak belum menikah. Minatnya di sana.Kupikir meminta Aya hanya mengurus anak dan rumah bakal memangkas kebutuhan eksistensinya. Beda cerita kalau aku menikahi wanita yang memang dipersiapkan untuk berumah tangga.Kadang Mbak Dara cerita-cerita juga soal kemungkinan depresi wanita pasca menikah dari informasi seminar yang dia ikuti. Ah, ada untungnya temenan sama wanita dewasa yang berpengalaman soal pernikahan.Kalau wanita zaman dulu bisa ngerasa eksis dengan bergosip di tukang sayur, pada masa emansipasi digulirkan kayak sekarang tuh bekerja bisa menjadi penyemangat. Mungkin efek kebutuhan tersier yang meningkat
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken