Begitu kembali ke rumah, Aya yang menyambutku di depan pintu masuk rumah langsung terdiam menerima pelukan. Tepukannya terasa di punggungku, perlahan berganti elusan."Ada masalah, Bra?"Aku bungkam. Hanya membayangkan kehilangan. Keluhan yang selama ini aku alami belum seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitarku.Pelukanku padanya mengerat, lalu beralih melihat tas besar yang kukenali milik Mama bertengger di sofa depan. Jelas aku hafal selera Mama yang memilih beli tas secara custom daripada memamerkan merek terkenal."Mama di sini?" Kulepaskan pelukan dari Aya dan mulai meletakkan sepatu di samping sofa. Biasanya asisten rumah tangga yang datang pagi bakal beresin urusan kebersihan rumah."Ada di kamar anak-anak." Aya mengekoriku, ikut mengintip keberadaan wanita yang selama lebih dari setengah hidup membesarkanku sedang terlelap pada bantal besar di tengah ruangan.Enggak kebayang lelahnya Mama selama ini.Caca yang histeris di tempat umum mampu mengejutkanku. Dia t
Bergantian dengan Randy, giliran aku yang menunggu Caca di ruang tindakan setelah tertidur semalam di mobil. Lumayan, sakit punggung, tapi masih lebih baik daripada ketiduran pas lagi jaga malam di IGD."Kamu di sini?" Caca berusaha duduk sendiri sementara aku mengambilkan makanan yang disediakan pihak klinik di meja geser.Dia mengerjapkan mata, lalu melihat sekeliling. Telunjuknya bergerak ke arah tas tangan di ujung ranjang."Sebentar lagi berangkat. Aku ada sif pagi." Kuambilkan benda miliknya itu, lalu mengaduk bubur sayur pada mangkuk di tangan. "Ayo, makan dulu.""Bentar." Wanita ini ... sibuk deh ngaca abis dapet cermin dalam tempat bedak.Keluhannya terhadap riasan yang berantakan jadi mengesalkan sekali. Dari urusan pori yang ketutup, sebab jerawat, ampe bisa kanker kulit. Toh, ujung-ujungnya dibersihin sendiri.Kalau udah tahu tinggi risiko, ngapain juga pakai riasan? Tuntutan pekerjaan?Sembari membersihkan wajah, Caca menerima tiap suapan yang kujejalkan ke bibirnya. Celo
"Sudah mau pulang?" Pemuda yang menemui Caca meletakkan buket bunga di nakas. Bukan hal yang spesial, sih, hanya paduan krisan dan aster yang biasa ditemukan dalam acara-acara keluarga.Raut yang terbentuk di wajah Caca menyiratkan kebingungan. Dia melihatku dan si pemuda bergantian. "Bagaimana kamu bisa ada di--"Aku memotong perkataan Caca, "Sebentar. Ini siapa?" merasa tidak mengenal sosok yang menoleh padaku juga.Pemuda ini tidak lebih tinggi dariku, tetapi punggungnya tampak tegak ketika berdiri meski menggunakan busana kerja formal berjas. Bikin minder? Iya. Mungkin rutin olahraga, belakangan aku sendiri enggak sempat. Terlalu banyak masalah dan kerjaan."Selamat siang. Perkenalkan, saya Aksa Bagaskara, putra pertama dari Nugraha Salim.""Siapa?" Bentar, aku roaming beneran. Pengusaha yang mendominasi pasar pangan itu, kan?Maksudku, dominasi wajah si pemuda sama sekali berbeda dengan kalangan kami, terutama bagian tulang hidungnya yang tinggi."Klien baru Papa." Caca mengulurk
"Sudah pulang?" Aya meraih ransel dari pundak kananku dan bergegas masuk tanpa menunggu jawaban.Kayak ... cuma formalitas yang dilakukan tiap pulang kerja rasanya."Iya. Ngerjain apa?" Aku sempatkan mampir, menumpukan lengan di sandaran sofa sambil melihat Aya duduk di lantai menghadap layar yang dilengkapi papan kibor.Paham ajalah kerjaan yang enggak bisa dilepas Aya semenjak belum menikah. Minatnya di sana.Kupikir meminta Aya hanya mengurus anak dan rumah bakal memangkas kebutuhan eksistensinya. Beda cerita kalau aku menikahi wanita yang memang dipersiapkan untuk berumah tangga.Kadang Mbak Dara cerita-cerita juga soal kemungkinan depresi wanita pasca menikah dari informasi seminar yang dia ikuti. Ah, ada untungnya temenan sama wanita dewasa yang berpengalaman soal pernikahan.Kalau wanita zaman dulu bisa ngerasa eksis dengan bergosip di tukang sayur, pada masa emansipasi digulirkan kayak sekarang tuh bekerja bisa menjadi penyemangat. Mungkin efek kebutuhan tersier yang meningkat
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak