"Jesselin Irawan?"Aku enggak sengaja baca lembar penandatanganan data pasien yang baru diletakkan perawat. Kupikir mungkin nama yang sama, tetapi melihat nama pasien yang tertera, sulit percaya jika mereka ada di sini kalau enggak lihat langsung."Kamu di sini?" Jessie lebih dulu menyapa ketika aku mendekati brankar dorong yang menampung suaminya. "Menakjubkan!"Ucapan histerisnya langsung kuberi isyarat telunjuk di depan masker. Padahal setengah wajahku tertutup, kok masih kenal aja."Apa yang terjadi?" tanyaku setengah berbisik saat mendekat ke sampingnya."Kami sedang berkeliling di sekitar sini, terus ...," Jessie memperagakan kejadian singkat menggunakan kedua tangannya diakhiri ibu jari yang diarahkan ke sang suami, "tadi ada penerobos lampu merah. Abi ...."Ya, bisa dilihat dari perban yang membalut lengan dan kaki kanannya.Di beberapa wilayah pinggiran kota ini memang sering ditemui para pelanggar aturan lalu lintas. Bukan hanya soal kelengkapan surat-surat, tapi juga kepatu
"Apa maksud kamu bilang begitu?" Aku mengusahakan tetap tersenyum hingga memperlihatkan sedikit deretan gigi meski tahu kalimatnya itu justru terasa menonjok perutku."Dugaanku salah?" Erlangga memutar pulpen dalam pegangannya, kemudian sok membaca lembaran yang diberikan perawat. "Sebelumnya kalian terlihat dekat, tapi beberapa minggu terakhir justru saling menghindar."Tanganku hampir melemas ke sisi tubuh karena arah pembicaraannya tertuju ke sosok Nanda belakangan, tetapi aku harus tetap bersikap normal dengan fokus pada topik awal. "Begini, saya masih tidak mengerti apa yang kamu maksud, tapi tolong jauhi adik saya.""Pak Abra terlalu serius nanggapin, ah. Kalimatnya jadi formal banget." Erlangga mengibaskan lembaran kertas di tangannya seperti gerakan mengipasi aku. "Lagian sama-sama sudah ada pasangannya. Enggak mungkin lah, Pak."Tetap aja enggak nyaman. Bulir keringatku bahkan terasa menuruni pelipis.Sadar dengan kecanggungan yang ada, aku memasukkan pulpen dalam saku dan me
"Beneran kamu enggak apa-apa?" Aya terbaring lemas di permukaan ranjang sedang selimut kututupkan ke seluruh tubuhnya yang polos tanpa terkecuali. Dia sampai tergelak akibat kesengajaanku menarik ujung selimut ke kepalanya."It's okay, Aya." Kukecup keningnya sebelum memasang kaus baru dan celana panjang kain yang ringan setelah memastikan enggak ada sisa air di tubuh. "Nevermind yah, Sayang.""Ini mau ke mana?" tanya Aya dengan sangat imutnya memeluk selimut di depan, ruang matanya membulat lebar. Kalau saja enggak ingat, bakal kuterkam beneran.Sayangnya, keraguan melanjutkan masih lebih kuat. Meski sebulan terlewati, aku justru mengkhawatirkan sakit yang masih Aya rasakan pasca operasi. Akhirnya kami hanya berakhir di ranjang, saling membelai, dan dia bisa mencapai klimaks yang nyaman.Aku enggak bakal maksa, jadi ibu baru itu pasti capek banget. Apalagi Mama rajin ngingetin kalau anakku dua sekaligus. Enggak kebayang."Makan. Tadi katanya sudah masak."Aya ternyata telah lelap di
"Ketemuannya dipindah?" Aku terperanjat ketika kemeja yang kupegang dilemparkan Caca ke ranjang.Dia mengambilkan beberapa stel pakaian santai yang modelnya biasa kukenakan di rumah, hanya berbeda merek, dari lemari kamar. Caca ternyata sudah mempersiapkan banyak hal lebih dulu."Iya, Papa mau sekalian ngajak cucunya yang lain." Dipilihkannya satu untukku. "Pakai ini.""Anak Randy?" tebakku. "Setahuku saudaramu cuma si kunyuk itu.""Siapa lagi?" Caca berpindah ke depan meja rias dan mengeluarkan kotak besar berisi rak-rak dengan berbagai jenis produk tata rias."Seenggaknya nasi tadi sudah berubah jadi kalori biar bisa makan lagi." Celotehannya terus berjalan seahli jemarinya membentuk garis-garis natural di wajah. Dalam waktu singkat, raut pucat Caca berganti kesegaran alami.Mungkin itu salah satu bedanya Aya. Tanpa riasan pun pesonanya sudah membahayakan kesehatan jantungku. Sementara Caca sudah terbiasa bergulat dengan cahaya kamera dari berbagai arah, kehidupannya bukan hanya mil
Begitu kembali ke rumah, Aya yang menyambutku di depan pintu masuk rumah langsung terdiam menerima pelukan. Tepukannya terasa di punggungku, perlahan berganti elusan."Ada masalah, Bra?"Aku bungkam. Hanya membayangkan kehilangan. Keluhan yang selama ini aku alami belum seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitarku.Pelukanku padanya mengerat, lalu beralih melihat tas besar yang kukenali milik Mama bertengger di sofa depan. Jelas aku hafal selera Mama yang memilih beli tas secara custom daripada memamerkan merek terkenal."Mama di sini?" Kulepaskan pelukan dari Aya dan mulai meletakkan sepatu di samping sofa. Biasanya asisten rumah tangga yang datang pagi bakal beresin urusan kebersihan rumah."Ada di kamar anak-anak." Aya mengekoriku, ikut mengintip keberadaan wanita yang selama lebih dari setengah hidup membesarkanku sedang terlelap pada bantal besar di tengah ruangan.Enggak kebayang lelahnya Mama selama ini.Caca yang histeris di tempat umum mampu mengejutkanku. Dia t
Bergantian dengan Randy, giliran aku yang menunggu Caca di ruang tindakan setelah tertidur semalam di mobil. Lumayan, sakit punggung, tapi masih lebih baik daripada ketiduran pas lagi jaga malam di IGD."Kamu di sini?" Caca berusaha duduk sendiri sementara aku mengambilkan makanan yang disediakan pihak klinik di meja geser.Dia mengerjapkan mata, lalu melihat sekeliling. Telunjuknya bergerak ke arah tas tangan di ujung ranjang."Sebentar lagi berangkat. Aku ada sif pagi." Kuambilkan benda miliknya itu, lalu mengaduk bubur sayur pada mangkuk di tangan. "Ayo, makan dulu.""Bentar." Wanita ini ... sibuk deh ngaca abis dapet cermin dalam tempat bedak.Keluhannya terhadap riasan yang berantakan jadi mengesalkan sekali. Dari urusan pori yang ketutup, sebab jerawat, ampe bisa kanker kulit. Toh, ujung-ujungnya dibersihin sendiri.Kalau udah tahu tinggi risiko, ngapain juga pakai riasan? Tuntutan pekerjaan?Sembari membersihkan wajah, Caca menerima tiap suapan yang kujejalkan ke bibirnya. Celo
"Sudah mau pulang?" Pemuda yang menemui Caca meletakkan buket bunga di nakas. Bukan hal yang spesial, sih, hanya paduan krisan dan aster yang biasa ditemukan dalam acara-acara keluarga.Raut yang terbentuk di wajah Caca menyiratkan kebingungan. Dia melihatku dan si pemuda bergantian. "Bagaimana kamu bisa ada di--"Aku memotong perkataan Caca, "Sebentar. Ini siapa?" merasa tidak mengenal sosok yang menoleh padaku juga.Pemuda ini tidak lebih tinggi dariku, tetapi punggungnya tampak tegak ketika berdiri meski menggunakan busana kerja formal berjas. Bikin minder? Iya. Mungkin rutin olahraga, belakangan aku sendiri enggak sempat. Terlalu banyak masalah dan kerjaan."Selamat siang. Perkenalkan, saya Aksa Bagaskara, putra pertama dari Nugraha Salim.""Siapa?" Bentar, aku roaming beneran. Pengusaha yang mendominasi pasar pangan itu, kan?Maksudku, dominasi wajah si pemuda sama sekali berbeda dengan kalangan kami, terutama bagian tulang hidungnya yang tinggi."Klien baru Papa." Caca mengulurk
"Sudah pulang?" Aya meraih ransel dari pundak kananku dan bergegas masuk tanpa menunggu jawaban.Kayak ... cuma formalitas yang dilakukan tiap pulang kerja rasanya."Iya. Ngerjain apa?" Aku sempatkan mampir, menumpukan lengan di sandaran sofa sambil melihat Aya duduk di lantai menghadap layar yang dilengkapi papan kibor.Paham ajalah kerjaan yang enggak bisa dilepas Aya semenjak belum menikah. Minatnya di sana.Kupikir meminta Aya hanya mengurus anak dan rumah bakal memangkas kebutuhan eksistensinya. Beda cerita kalau aku menikahi wanita yang memang dipersiapkan untuk berumah tangga.Kadang Mbak Dara cerita-cerita juga soal kemungkinan depresi wanita pasca menikah dari informasi seminar yang dia ikuti. Ah, ada untungnya temenan sama wanita dewasa yang berpengalaman soal pernikahan.Kalau wanita zaman dulu bisa ngerasa eksis dengan bergosip di tukang sayur, pada masa emansipasi digulirkan kayak sekarang tuh bekerja bisa menjadi penyemangat. Mungkin efek kebutuhan tersier yang meningkat
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken