Pasca kepulangan Aya dari rumah sakit, kami memilih tetap mengurus anak-anak di rumah sendiri. Banyak faktor yang menjadi alasan sebenarnya, salah satunya menjaga kesehatan mental Aya dari pembicaraan orang lain mengenai metode pengasuhan anak.She's good and try her best to our kids. More enough.Mungkin sesekali Caca datang dengan alibi membantu. Dia lebih seperti penonton yang memperhatikan setiap kebiasaan Aya ke anak-anak, atau mencoba mengurus mereka sesekali jika Aya kerepotan.Namun, sekali lagi Caca mengingatkan perjanjian kami.“Aku enggak bisa, Ca ....” Sebisa mungkin kami menjauh dulu dari Aya setiap membicarakan ini, bahkan menggunakan teras belakang rumah hanya untuk berdebat.“Perlu aku yang bilang?”“Seperti apa?” Tanganku sampai menengadah di antara kami.Jujur, aku kehabisan ide setiap melihat Aya begitu bahagia memiliki keluarga baru. Dia bahkan selalu bercerita di setiap menjelang tidur mengenai hal-hal baru yang berhasil dicoba.“Soal pernikahan kalian yang belum
"Jesselin Irawan?"Aku enggak sengaja baca lembar penandatanganan data pasien yang baru diletakkan perawat. Kupikir mungkin nama yang sama, tetapi melihat nama pasien yang tertera, sulit percaya jika mereka ada di sini kalau enggak lihat langsung."Kamu di sini?" Jessie lebih dulu menyapa ketika aku mendekati brankar dorong yang menampung suaminya. "Menakjubkan!"Ucapan histerisnya langsung kuberi isyarat telunjuk di depan masker. Padahal setengah wajahku tertutup, kok masih kenal aja."Apa yang terjadi?" tanyaku setengah berbisik saat mendekat ke sampingnya."Kami sedang berkeliling di sekitar sini, terus ...," Jessie memperagakan kejadian singkat menggunakan kedua tangannya diakhiri ibu jari yang diarahkan ke sang suami, "tadi ada penerobos lampu merah. Abi ...."Ya, bisa dilihat dari perban yang membalut lengan dan kaki kanannya.Di beberapa wilayah pinggiran kota ini memang sering ditemui para pelanggar aturan lalu lintas. Bukan hanya soal kelengkapan surat-surat, tapi juga kepatu
"Apa maksud kamu bilang begitu?" Aku mengusahakan tetap tersenyum hingga memperlihatkan sedikit deretan gigi meski tahu kalimatnya itu justru terasa menonjok perutku."Dugaanku salah?" Erlangga memutar pulpen dalam pegangannya, kemudian sok membaca lembaran yang diberikan perawat. "Sebelumnya kalian terlihat dekat, tapi beberapa minggu terakhir justru saling menghindar."Tanganku hampir melemas ke sisi tubuh karena arah pembicaraannya tertuju ke sosok Nanda belakangan, tetapi aku harus tetap bersikap normal dengan fokus pada topik awal. "Begini, saya masih tidak mengerti apa yang kamu maksud, tapi tolong jauhi adik saya.""Pak Abra terlalu serius nanggapin, ah. Kalimatnya jadi formal banget." Erlangga mengibaskan lembaran kertas di tangannya seperti gerakan mengipasi aku. "Lagian sama-sama sudah ada pasangannya. Enggak mungkin lah, Pak."Tetap aja enggak nyaman. Bulir keringatku bahkan terasa menuruni pelipis.Sadar dengan kecanggungan yang ada, aku memasukkan pulpen dalam saku dan me
"Beneran kamu enggak apa-apa?" Aya terbaring lemas di permukaan ranjang sedang selimut kututupkan ke seluruh tubuhnya yang polos tanpa terkecuali. Dia sampai tergelak akibat kesengajaanku menarik ujung selimut ke kepalanya."It's okay, Aya." Kukecup keningnya sebelum memasang kaus baru dan celana panjang kain yang ringan setelah memastikan enggak ada sisa air di tubuh. "Nevermind yah, Sayang.""Ini mau ke mana?" tanya Aya dengan sangat imutnya memeluk selimut di depan, ruang matanya membulat lebar. Kalau saja enggak ingat, bakal kuterkam beneran.Sayangnya, keraguan melanjutkan masih lebih kuat. Meski sebulan terlewati, aku justru mengkhawatirkan sakit yang masih Aya rasakan pasca operasi. Akhirnya kami hanya berakhir di ranjang, saling membelai, dan dia bisa mencapai klimaks yang nyaman.Aku enggak bakal maksa, jadi ibu baru itu pasti capek banget. Apalagi Mama rajin ngingetin kalau anakku dua sekaligus. Enggak kebayang."Makan. Tadi katanya sudah masak."Aya ternyata telah lelap di
"Ketemuannya dipindah?" Aku terperanjat ketika kemeja yang kupegang dilemparkan Caca ke ranjang.Dia mengambilkan beberapa stel pakaian santai yang modelnya biasa kukenakan di rumah, hanya berbeda merek, dari lemari kamar. Caca ternyata sudah mempersiapkan banyak hal lebih dulu."Iya, Papa mau sekalian ngajak cucunya yang lain." Dipilihkannya satu untukku. "Pakai ini.""Anak Randy?" tebakku. "Setahuku saudaramu cuma si kunyuk itu.""Siapa lagi?" Caca berpindah ke depan meja rias dan mengeluarkan kotak besar berisi rak-rak dengan berbagai jenis produk tata rias."Seenggaknya nasi tadi sudah berubah jadi kalori biar bisa makan lagi." Celotehannya terus berjalan seahli jemarinya membentuk garis-garis natural di wajah. Dalam waktu singkat, raut pucat Caca berganti kesegaran alami.Mungkin itu salah satu bedanya Aya. Tanpa riasan pun pesonanya sudah membahayakan kesehatan jantungku. Sementara Caca sudah terbiasa bergulat dengan cahaya kamera dari berbagai arah, kehidupannya bukan hanya mil
Begitu kembali ke rumah, Aya yang menyambutku di depan pintu masuk rumah langsung terdiam menerima pelukan. Tepukannya terasa di punggungku, perlahan berganti elusan."Ada masalah, Bra?"Aku bungkam. Hanya membayangkan kehilangan. Keluhan yang selama ini aku alami belum seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitarku.Pelukanku padanya mengerat, lalu beralih melihat tas besar yang kukenali milik Mama bertengger di sofa depan. Jelas aku hafal selera Mama yang memilih beli tas secara custom daripada memamerkan merek terkenal."Mama di sini?" Kulepaskan pelukan dari Aya dan mulai meletakkan sepatu di samping sofa. Biasanya asisten rumah tangga yang datang pagi bakal beresin urusan kebersihan rumah."Ada di kamar anak-anak." Aya mengekoriku, ikut mengintip keberadaan wanita yang selama lebih dari setengah hidup membesarkanku sedang terlelap pada bantal besar di tengah ruangan.Enggak kebayang lelahnya Mama selama ini.Caca yang histeris di tempat umum mampu mengejutkanku. Dia t
Bergantian dengan Randy, giliran aku yang menunggu Caca di ruang tindakan setelah tertidur semalam di mobil. Lumayan, sakit punggung, tapi masih lebih baik daripada ketiduran pas lagi jaga malam di IGD."Kamu di sini?" Caca berusaha duduk sendiri sementara aku mengambilkan makanan yang disediakan pihak klinik di meja geser.Dia mengerjapkan mata, lalu melihat sekeliling. Telunjuknya bergerak ke arah tas tangan di ujung ranjang."Sebentar lagi berangkat. Aku ada sif pagi." Kuambilkan benda miliknya itu, lalu mengaduk bubur sayur pada mangkuk di tangan. "Ayo, makan dulu.""Bentar." Wanita ini ... sibuk deh ngaca abis dapet cermin dalam tempat bedak.Keluhannya terhadap riasan yang berantakan jadi mengesalkan sekali. Dari urusan pori yang ketutup, sebab jerawat, ampe bisa kanker kulit. Toh, ujung-ujungnya dibersihin sendiri.Kalau udah tahu tinggi risiko, ngapain juga pakai riasan? Tuntutan pekerjaan?Sembari membersihkan wajah, Caca menerima tiap suapan yang kujejalkan ke bibirnya. Celo
"Sudah mau pulang?" Pemuda yang menemui Caca meletakkan buket bunga di nakas. Bukan hal yang spesial, sih, hanya paduan krisan dan aster yang biasa ditemukan dalam acara-acara keluarga.Raut yang terbentuk di wajah Caca menyiratkan kebingungan. Dia melihatku dan si pemuda bergantian. "Bagaimana kamu bisa ada di--"Aku memotong perkataan Caca, "Sebentar. Ini siapa?" merasa tidak mengenal sosok yang menoleh padaku juga.Pemuda ini tidak lebih tinggi dariku, tetapi punggungnya tampak tegak ketika berdiri meski menggunakan busana kerja formal berjas. Bikin minder? Iya. Mungkin rutin olahraga, belakangan aku sendiri enggak sempat. Terlalu banyak masalah dan kerjaan."Selamat siang. Perkenalkan, saya Aksa Bagaskara, putra pertama dari Nugraha Salim.""Siapa?" Bentar, aku roaming beneran. Pengusaha yang mendominasi pasar pangan itu, kan?Maksudku, dominasi wajah si pemuda sama sekali berbeda dengan kalangan kami, terutama bagian tulang hidungnya yang tinggi."Klien baru Papa." Caca mengulurk