"Belum pasti hasilnya kan, Pak?" Nanda ngotot menyarangkan cakarnya di pergelangan tanganku. "Bilang aja ini alasan Pak Abra hindarin aku mulu. Apa karena aku bilang aku hamil?""Tolong, menjauh." Kulepas setiap jarinya dari permukaan kulit seraya mengamati sekitar. Suaraku menekankan, "Ini bukan hal yang perlu dibahas di tempat umum, Nanda."Beberapa pengunjung tampak memperhatikan, tetapi aku lebih waswas jika rekan sejawat kami melintas dan mulai bertanya-tanya. Pertengkaran seperti ini bisa jadi bahasan yang tidak nyaman."Kapan lagi aku bisa nemuin Bapak?" rengek Nanda. Bola matanya tampak berkaca meski tidak terlihat cairan luruh di pipinya. "Telepon enggak boleh, kirim pesan enggak dibales. Aku harus gimana?"Gimana? "Sakit jiwa kamu!" Aku menggeleng, hempaskan usahanya yang terus menahanku tetap dekat.Langkahku bergegas menjauh meski Nanda berusaha mengejar. Langkahnya terdengar mengikuti di belakang."Bapak yang buat aku kayak gini!” teriak Nanda.Spontan jejak kakiku memuta
"Lagi ngapain?" Tanpa suara, aku mengejutkan Aya yang tampaknya sibuk dengan piring-piring kotor di bak cuci dapur.Jemariku menyelip di antara lengannya dan kusandarkan dagu di pundak Aya."Enggak ngabarin bakal pulang?" Intonasi suara Aya terdengar datar dan dingin. Apa mungkin masih marah?"Kangen." Kuelus perut Aya yang membuncit maju. Padat, terasa ganjalan yang bergerak di permukaan kulitnya. Sepertinya aku sedang disambut.Aya menyingkirkan peganganku di depan tubuhnya. "Apaan datang-datang bilang kangen?"Akan tetapi reaksi menghindarnya tidak berlaku padaku jika kami sedang berdua seperti ini. Semakin dia menghalau gangguan dariku, semakin menarik lancarkan tiap sentuhan sengaja ke bagian sensitif di depan tubuhnya."Rasanya seperti seribu tahun tau," keluhku sambil menggusel, menciumi bertubi-tubi sepanjang garis bahu Aya. Bisa kudengar setiap desisan yang keluar dari bibir Aya, menahan suara keluar dari mulutnya.Aya juga menikmati meski hanya sesaat. Dia berusaha melepaskan
"Bra, ada panggilan masuk." Aya menyodorkan ponselku tanpa beranjak dari ranjang. Dia tampak bergelung dalam selimut yang menjadi saksi percintaan kami semalaman, menyamarkan perut buncitnya.Aku meraih benda pipih itu seraya mengeringkan rambut dan bertanya dulu ke Aya. "Siapa pagi-pagi gini?""Aku enggak ngecek." Bahu telanjang Aya sempat naik, menegaskan tanda tidak tahu. Wajah polos yang jarang tersapu riasan, cantik. Mata sayunya kembali terpejam, lalu bergelung lagi.Aya benar-benar enggak peduli atau kelelahan?Aku menggeleng, menepis bayangan panas semalam yang menyisakan bercak kemerahan di permukaan kulit Aya, juga kulitku tentunya. Sangat kentara saat bercermin pasca mandi.Getar dari benda dalam genggaman mengingatkanku pada panggilan telepon yang Aya sebutkan. Nama Nanda tertera jelas di layar dengan embel-embel IGD pada awalan.Bukannya dia masih harus dirawat, ya?Aku hanya berlagak tidak tahu meski grup pesan yang mengumpulkan para rekan terus membahas mengenai masalah
Satu minggu, dua minggu, daftar suspek penyebaran virus yang harus di-tracking semakin meluas. Gejalanya beragam. Aku? Belum berani pulang meski tes yang kujalani awalnya menunjukkan hasil negatif.Dokter IGD yang standby sekarang cuma bisa tidur di ruang kerja atau mengambil kamar di asrama. Penuh, sih. Ada juga tawaran menginap di salah satu hotel yang bekerja sama dengan pihak rumah sakit.Mau pulang, takut nularin. Siapa tahu virus masih melekat di pakaian atau benda yang aku bawa meski pihak dinas kesehatan bilang penularan hanya melalui media droplet alias liur. Mana Aya lagi hamil besar, bisa berbahaya buat calon anak kami.Prang!"Mas! Ada pasien ngamuk di ruang isolasi!" Dokter baru yang tidak sempat kulihat penanda namanya menunjuk arah gedung rawat inap untuk penyakit berat di belakang. Harusnya bukan aku yang dipanggil, melainkan dokter jaga untuk kawasan di sana meski enggak sendiri."Apa lagi sekarang?" Mbak Dara sampai mendesis. Mungkin enggak habis pikir dengan penolak
"Aku sudah bilang kan mengenai hubungan kita?" Aku bergegas masuk dalam mobil setelah mendorong Nanda dan biarkan dia berkali-kali mengetuk kaca jendela.Ah, cari masalah. Apa lagi kali ini maunya?Nanda masih mampu membuatku tegang dan menginginkan kepuasan meski di tempat umum. Sakit di kepalaku semakin menjadi karenanya.Kuturunkan kaca mobil dan meminta Nanda masuk daripada membuat keributan di tempat umum. "Tunggu apa lagi?!"Nanda duduk pada bangku penumpang di sampingku dan langsung berceloteh, "Udah aku gugurkan, Pak. Puas?"Sesaat aku terdiam. Tanganku mencengkeram roda kemudi. Memang aku yang memintanya hilangkan bukti kebersamaan kami, tetapi lagi ... rasa bersalah semakin menghunjam di dalam sini."Kapan?" tanyaku setelah menyalakan mesin mobil dan mulai mengeluarkan roda empat ini dari barisan kendaraan."Begitu Pak Abra ninggalin aku waktu itu."Dia langsung melakukan permintaanku? Segitu butanya kah cinta hingga segala dosa yang ditempuhnya terus mengalir hanya untuk be
Getar ponsel di nakas bersamaan dengan terbukanya mataku ketika hendak beranjak dari tidur. Tampilan layar menunjukkan nama Aya yang ternyata berkali-kali memanggil.Panggilan tersambung berikutnya, Aya langsung mengalirkan pertanyaan tanpa jeda dari seberang. Aya mengkhawatirkanku?"Aku? Aku nginap di asrama." Aku terkekeh seraya menurunkan kaki dari ranjang hingga menyentuh lantai. Penglihatanku masih goyang setelah semalaman. "Kenapa?"Enggak, kali ini aku bohong. Bukannya di asrama, aku malah memilih bermain api gairah di hotel. Risiko penularan virus yang sedang merebak memang tinggi, tetapi ... kelamaan dianggurin juga nyakitin."Aku ada ngirim makanan, tadi nitip sama satpam di sana. Kamunya sif kapan?"Sambil membuka laci nakas dan menemukan kotak paket amenities hotel, aku menjawab, "Hari ini jadwal malam." Isi kotak ..., standar. Sikat gigi, pasta gigi, sabun, sampo. Aku perlu mandi setelah semalaman penuh keringat."Pantas kedengaran baru bangun." Suara Aya malah terdengar
"Ya, Ma?" Kujawab panggilan yang tertera di layar ponsel dan menghubungkannya dengan pengeras suara begitu roda empat yang aku kendarai melintasi jalan aspal. Jalanan selebar empat mobil tampak sepi setelah diturunkannya pembatasan kegiatan."Kamu kapan bisa pulang?" Suara Mama terdengar sangat nyaring di antara kesunyian. Terutama karena Nanda kularang menyalakan musik jika panggilan sedang berlangsung. Nanda sibuk menggunakan perlengkapan riasnya dan memasang kelengkapan seragam.Sesekali aku menahan gelak menjadi senyum lebar setiap melihat Nanda pamer hasil karyanya ke arahku, apalagi sebelum menyelesaikan kancing seragam teratas. Menggemaskan. Godaannya kali ini semakin liar."Nunggu kepastian juga dari atas nih, Ma. Kalau sudah bisa tes di tempat, Abra bakal ambil cuti kok, Ma."Benar, perlengkapan yang dimiliki rumah sakit daerah masih menunggu keputusan atasan. Regulasi birokrasi memang rada rumit untuk urusan keuangan yang harus turun dulu baru bisa terlaksana.Alat tes di pr
“Rumah sakit ini tempat suamimu bertugas kan, Mbak?” Aku menghampiri Mbak Dara dan menunjukkan formulir transfer pasien yang sudah ditangani.Tampaknya wanita berpenutup kepala itu baru selesai berganti pakaian. Hebatnya, dia masih stand by di meja administrasi dan memeriksa lembaran-lembaran pasien sebelumnya. Aku sampai harus mengetuk meja yang digunakan Mbak Dara biar diperhatikan.Mbak Dara menoleh sepintas, kemudian menoleh lagi. Mungkin baru sadar dengan tulisan yang kutunjukkan.Dia mengucapkan kata yang tidak aku mengerti dan mulai membuka kuncian layar ponselnya. “Mas Khalil bilang lagi banyak operasi dan susah dihubungi.”“Coba kirim pesan, Mbak." Mas Anan baru kembali setelah memastikan kondisi pasien dengan gejala tambahan yang perlu ditangani bagian kardiologi sepertinya.Mau enggak mau Mas Anan juga turut andil untuk penanganan khusus di masa seperti ini. Meski pasien terbukti negatif dalam pemeriksaan, perjalanan menuju pengobatan juga berisiko tertular jika tidak mempe