"Aku sudah bilang kan mengenai hubungan kita?" Aku bergegas masuk dalam mobil setelah mendorong Nanda dan biarkan dia berkali-kali mengetuk kaca jendela.Ah, cari masalah. Apa lagi kali ini maunya?Nanda masih mampu membuatku tegang dan menginginkan kepuasan meski di tempat umum. Sakit di kepalaku semakin menjadi karenanya.Kuturunkan kaca mobil dan meminta Nanda masuk daripada membuat keributan di tempat umum. "Tunggu apa lagi?!"Nanda duduk pada bangku penumpang di sampingku dan langsung berceloteh, "Udah aku gugurkan, Pak. Puas?"Sesaat aku terdiam. Tanganku mencengkeram roda kemudi. Memang aku yang memintanya hilangkan bukti kebersamaan kami, tetapi lagi ... rasa bersalah semakin menghunjam di dalam sini."Kapan?" tanyaku setelah menyalakan mesin mobil dan mulai mengeluarkan roda empat ini dari barisan kendaraan."Begitu Pak Abra ninggalin aku waktu itu."Dia langsung melakukan permintaanku? Segitu butanya kah cinta hingga segala dosa yang ditempuhnya terus mengalir hanya untuk be
Getar ponsel di nakas bersamaan dengan terbukanya mataku ketika hendak beranjak dari tidur. Tampilan layar menunjukkan nama Aya yang ternyata berkali-kali memanggil.Panggilan tersambung berikutnya, Aya langsung mengalirkan pertanyaan tanpa jeda dari seberang. Aya mengkhawatirkanku?"Aku? Aku nginap di asrama." Aku terkekeh seraya menurunkan kaki dari ranjang hingga menyentuh lantai. Penglihatanku masih goyang setelah semalaman. "Kenapa?"Enggak, kali ini aku bohong. Bukannya di asrama, aku malah memilih bermain api gairah di hotel. Risiko penularan virus yang sedang merebak memang tinggi, tetapi ... kelamaan dianggurin juga nyakitin."Aku ada ngirim makanan, tadi nitip sama satpam di sana. Kamunya sif kapan?"Sambil membuka laci nakas dan menemukan kotak paket amenities hotel, aku menjawab, "Hari ini jadwal malam." Isi kotak ..., standar. Sikat gigi, pasta gigi, sabun, sampo. Aku perlu mandi setelah semalaman penuh keringat."Pantas kedengaran baru bangun." Suara Aya malah terdengar
"Ya, Ma?" Kujawab panggilan yang tertera di layar ponsel dan menghubungkannya dengan pengeras suara begitu roda empat yang aku kendarai melintasi jalan aspal. Jalanan selebar empat mobil tampak sepi setelah diturunkannya pembatasan kegiatan."Kamu kapan bisa pulang?" Suara Mama terdengar sangat nyaring di antara kesunyian. Terutama karena Nanda kularang menyalakan musik jika panggilan sedang berlangsung. Nanda sibuk menggunakan perlengkapan riasnya dan memasang kelengkapan seragam.Sesekali aku menahan gelak menjadi senyum lebar setiap melihat Nanda pamer hasil karyanya ke arahku, apalagi sebelum menyelesaikan kancing seragam teratas. Menggemaskan. Godaannya kali ini semakin liar."Nunggu kepastian juga dari atas nih, Ma. Kalau sudah bisa tes di tempat, Abra bakal ambil cuti kok, Ma."Benar, perlengkapan yang dimiliki rumah sakit daerah masih menunggu keputusan atasan. Regulasi birokrasi memang rada rumit untuk urusan keuangan yang harus turun dulu baru bisa terlaksana.Alat tes di pr
“Rumah sakit ini tempat suamimu bertugas kan, Mbak?” Aku menghampiri Mbak Dara dan menunjukkan formulir transfer pasien yang sudah ditangani.Tampaknya wanita berpenutup kepala itu baru selesai berganti pakaian. Hebatnya, dia masih stand by di meja administrasi dan memeriksa lembaran-lembaran pasien sebelumnya. Aku sampai harus mengetuk meja yang digunakan Mbak Dara biar diperhatikan.Mbak Dara menoleh sepintas, kemudian menoleh lagi. Mungkin baru sadar dengan tulisan yang kutunjukkan.Dia mengucapkan kata yang tidak aku mengerti dan mulai membuka kuncian layar ponselnya. “Mas Khalil bilang lagi banyak operasi dan susah dihubungi.”“Coba kirim pesan, Mbak." Mas Anan baru kembali setelah memastikan kondisi pasien dengan gejala tambahan yang perlu ditangani bagian kardiologi sepertinya.Mau enggak mau Mas Anan juga turut andil untuk penanganan khusus di masa seperti ini. Meski pasien terbukti negatif dalam pemeriksaan, perjalanan menuju pengobatan juga berisiko tertular jika tidak mempe
"Gue baru tahu kalau lo polisi. Kenapa enggak pernah cerita?"Kuserahkan gelas kertas berisi kopi dari ruanganku setelah melepaskan seragam wajib jika bertugas selama pandemi ke tangan Randy. Pakaianku telah berganti kaus dan celana panjang santai.Aku sempat berpikir untuk pulang setelah mendapat kepastian mengenai hasil swab. Itupun harus karantina mandiri dulu minimal tujuh hari untuk tenaga medis ke depan sebelum benar-benar pulang. Artinya, enggak ada permainan ranjang, enggak ada urusan darurat selama itu.How bored?"Harus?" Randy menarik kursi di depan mejaku dan mendudukinya.Dia berjanji mengantar Mbak Dara pulang setelah wanita itu menghabiskan infus. Harusnya mengikuti prosedur yang kupahami, tetapi kali ini kami benar-benar dalam kondisi darurat.Membayangkan kondisi pasien turun secara drastis meski sebelumnya dipastikan sehat dan memiliki kondisi fisik yang prima, sangat mengejutkan. Satu hari.Dengan penurunan seperti itu, rumah sakit memerlukan observasi sampai pasien
Gagal bercinta itu menyakitkan, tetapi melihat temanku berada dalam permainan orang lain justru lebih tidak menyenangkan. Namun, melihat Randy yang memilih mengalah, mengingatkan dosaku pada Aya.Pertaruhan yang ditaklukkan perasaan.Aku tidak mungkin mengingat mantan-mantan dari kakaknya Caca di masa sekolah. Kesibukanku hanya terus belajar dan meraih prestasi yang lebih dari cukup untuk bisa kuliah, lulus cepat.Dari pembatas antarruang, aku dan Caca memperhatikan wajah frustrasi Randy ketika menunggu Mbak Dara yang belum kunjung sadar. Selain stres, mungkin juga karena perut Mbak Dara sedang kosong hingga perlu asupan cairan natrium klorida."Enggak dipegang aja sih tangannya?" tanya Caca yang ternyata bersandar di lenganku.Mungkin dia melihat hal yang sama. Jemari Randy mengetuk pinggiran ranjang beberapa kali, kemudian bersedekap lagi. Urung menyentuh."Kebanyakan gaul sama aktor sinetron kamunya!" Aku bergeser maju, membiarkan Caca menabrak pembatas ruang. Bisa kudengar keluhan
Caca menang. Dia berhasil membujuk Nanda ikut sepulang jam kerja selesai. Alibi membersihkan rumah yang sangat tidak realistis."Enggak besar, sih. Anggap aja rumah sendiri." Caca melemparkan tas kecilnya ke permukaan sofa dan lebih dulu mencapai lemari es."Canggung?" tanyaku pada Nanda yang masih berdiri di sisi tanpa banyak bicara."Iya, Pak." Anggukan Nanda diiringi sebaran jarak pandangnya ke sekeliling. Dia masih jaim. Padahal biasanya sangat manja kalau tinggal berdua."Randy enggak pulang ke sini?"Kuhampiri Caca yang mengeluarkan kaleng-kaleng berisi minuman beralkohol ke meja. Ternyata banyak bungkus makanan masih berserakan dan harus segera aku kumpulkan dalam plastik sampah. Dari jamur yang tampak, sepertinya sudah lebih dari seminggu."Ibunya Randy lagi perlu perawatan intensif. Jadi dia bakal lebih banyak di sana. Makanya rumah ini jadi pertaruhan."Pernyataan Caca mengingatkanku pada Jessie, saudari berbeda ibu di pulau seberang. Pernikahan lebih dari sekali bukan lagi
Aku terbangun di permukaan ranjang karena mendengar suara tangis yang sangat dekat. Hangatnya aliran pun menyapa lenganku yang menopang kepala dari pemilik suara.Nanda masih berada dalam pelukanku. Bukan, aku dan Elzar. Kami bahkan tertidur pulas setelah permainan berakhir tanpa lepaskan Nanda.Masalahnya, pagi gini biasanya punyaku tuh dalam ukuran maksimal. Bergerak sedikit, isakan Nanda beriring desah.Bagaimana ini? Mana Elzar belum ada tanda bangun.Aku masih bungkam, saling menatap pada kedalaman penglihatan Nanda yang berkaca-kaca. Telunjukku pun enggak bisa sinkron dengan perintah otak, malah memutar pada ketegangan puncak kembar Nanda.Pada akhirnya, kami bergerak perlahan dalam napas yang memburu. Bibirku mencari manisnya rasa indra pengecap Nanda yang terjulur.Gumaman dari belakang Nanda menandai pergerakan lain. Tangan yang menyelip di antara lengan Nanda membelai kekenyalan yang kujepit.Pekikan Nanda tertahan dalam bungkamanku. Gerakan perlahan di bawah sana mulai brut