"Ya, Ma?" Kujawab panggilan yang tertera di layar ponsel dan menghubungkannya dengan pengeras suara begitu roda empat yang aku kendarai melintasi jalan aspal. Jalanan selebar empat mobil tampak sepi setelah diturunkannya pembatasan kegiatan."Kamu kapan bisa pulang?" Suara Mama terdengar sangat nyaring di antara kesunyian. Terutama karena Nanda kularang menyalakan musik jika panggilan sedang berlangsung. Nanda sibuk menggunakan perlengkapan riasnya dan memasang kelengkapan seragam.Sesekali aku menahan gelak menjadi senyum lebar setiap melihat Nanda pamer hasil karyanya ke arahku, apalagi sebelum menyelesaikan kancing seragam teratas. Menggemaskan. Godaannya kali ini semakin liar."Nunggu kepastian juga dari atas nih, Ma. Kalau sudah bisa tes di tempat, Abra bakal ambil cuti kok, Ma."Benar, perlengkapan yang dimiliki rumah sakit daerah masih menunggu keputusan atasan. Regulasi birokrasi memang rada rumit untuk urusan keuangan yang harus turun dulu baru bisa terlaksana.Alat tes di pr
“Rumah sakit ini tempat suamimu bertugas kan, Mbak?” Aku menghampiri Mbak Dara dan menunjukkan formulir transfer pasien yang sudah ditangani.Tampaknya wanita berpenutup kepala itu baru selesai berganti pakaian. Hebatnya, dia masih stand by di meja administrasi dan memeriksa lembaran-lembaran pasien sebelumnya. Aku sampai harus mengetuk meja yang digunakan Mbak Dara biar diperhatikan.Mbak Dara menoleh sepintas, kemudian menoleh lagi. Mungkin baru sadar dengan tulisan yang kutunjukkan.Dia mengucapkan kata yang tidak aku mengerti dan mulai membuka kuncian layar ponselnya. “Mas Khalil bilang lagi banyak operasi dan susah dihubungi.”“Coba kirim pesan, Mbak." Mas Anan baru kembali setelah memastikan kondisi pasien dengan gejala tambahan yang perlu ditangani bagian kardiologi sepertinya.Mau enggak mau Mas Anan juga turut andil untuk penanganan khusus di masa seperti ini. Meski pasien terbukti negatif dalam pemeriksaan, perjalanan menuju pengobatan juga berisiko tertular jika tidak mempe
"Gue baru tahu kalau lo polisi. Kenapa enggak pernah cerita?"Kuserahkan gelas kertas berisi kopi dari ruanganku setelah melepaskan seragam wajib jika bertugas selama pandemi ke tangan Randy. Pakaianku telah berganti kaus dan celana panjang santai.Aku sempat berpikir untuk pulang setelah mendapat kepastian mengenai hasil swab. Itupun harus karantina mandiri dulu minimal tujuh hari untuk tenaga medis ke depan sebelum benar-benar pulang. Artinya, enggak ada permainan ranjang, enggak ada urusan darurat selama itu.How bored?"Harus?" Randy menarik kursi di depan mejaku dan mendudukinya.Dia berjanji mengantar Mbak Dara pulang setelah wanita itu menghabiskan infus. Harusnya mengikuti prosedur yang kupahami, tetapi kali ini kami benar-benar dalam kondisi darurat.Membayangkan kondisi pasien turun secara drastis meski sebelumnya dipastikan sehat dan memiliki kondisi fisik yang prima, sangat mengejutkan. Satu hari.Dengan penurunan seperti itu, rumah sakit memerlukan observasi sampai pasien
Gagal bercinta itu menyakitkan, tetapi melihat temanku berada dalam permainan orang lain justru lebih tidak menyenangkan. Namun, melihat Randy yang memilih mengalah, mengingatkan dosaku pada Aya.Pertaruhan yang ditaklukkan perasaan.Aku tidak mungkin mengingat mantan-mantan dari kakaknya Caca di masa sekolah. Kesibukanku hanya terus belajar dan meraih prestasi yang lebih dari cukup untuk bisa kuliah, lulus cepat.Dari pembatas antarruang, aku dan Caca memperhatikan wajah frustrasi Randy ketika menunggu Mbak Dara yang belum kunjung sadar. Selain stres, mungkin juga karena perut Mbak Dara sedang kosong hingga perlu asupan cairan natrium klorida."Enggak dipegang aja sih tangannya?" tanya Caca yang ternyata bersandar di lenganku.Mungkin dia melihat hal yang sama. Jemari Randy mengetuk pinggiran ranjang beberapa kali, kemudian bersedekap lagi. Urung menyentuh."Kebanyakan gaul sama aktor sinetron kamunya!" Aku bergeser maju, membiarkan Caca menabrak pembatas ruang. Bisa kudengar keluhan
Caca menang. Dia berhasil membujuk Nanda ikut sepulang jam kerja selesai. Alibi membersihkan rumah yang sangat tidak realistis."Enggak besar, sih. Anggap aja rumah sendiri." Caca melemparkan tas kecilnya ke permukaan sofa dan lebih dulu mencapai lemari es."Canggung?" tanyaku pada Nanda yang masih berdiri di sisi tanpa banyak bicara."Iya, Pak." Anggukan Nanda diiringi sebaran jarak pandangnya ke sekeliling. Dia masih jaim. Padahal biasanya sangat manja kalau tinggal berdua."Randy enggak pulang ke sini?"Kuhampiri Caca yang mengeluarkan kaleng-kaleng berisi minuman beralkohol ke meja. Ternyata banyak bungkus makanan masih berserakan dan harus segera aku kumpulkan dalam plastik sampah. Dari jamur yang tampak, sepertinya sudah lebih dari seminggu."Ibunya Randy lagi perlu perawatan intensif. Jadi dia bakal lebih banyak di sana. Makanya rumah ini jadi pertaruhan."Pernyataan Caca mengingatkanku pada Jessie, saudari berbeda ibu di pulau seberang. Pernikahan lebih dari sekali bukan lagi
Aku terbangun di permukaan ranjang karena mendengar suara tangis yang sangat dekat. Hangatnya aliran pun menyapa lenganku yang menopang kepala dari pemilik suara.Nanda masih berada dalam pelukanku. Bukan, aku dan Elzar. Kami bahkan tertidur pulas setelah permainan berakhir tanpa lepaskan Nanda.Masalahnya, pagi gini biasanya punyaku tuh dalam ukuran maksimal. Bergerak sedikit, isakan Nanda beriring desah.Bagaimana ini? Mana Elzar belum ada tanda bangun.Aku masih bungkam, saling menatap pada kedalaman penglihatan Nanda yang berkaca-kaca. Telunjukku pun enggak bisa sinkron dengan perintah otak, malah memutar pada ketegangan puncak kembar Nanda.Pada akhirnya, kami bergerak perlahan dalam napas yang memburu. Bibirku mencari manisnya rasa indra pengecap Nanda yang terjulur.Gumaman dari belakang Nanda menandai pergerakan lain. Tangan yang menyelip di antara lengan Nanda membelai kekenyalan yang kujepit.Pekikan Nanda tertahan dalam bungkamanku. Gerakan perlahan di bawah sana mulai brut
"Sudah selesai perlengkapan buat calon bayinya?"Kulihat pemandangan di luar jendela asrama seraya lekatkan pelantang ponsel di telinga. Tampak ekskavator di beberapa tiik pembangunan dekat area parkir belakang rumah sakit, jalanan tanah yang dibuka untuk akses baru, dan susunan kendaraan di dekat bangsal pasien isolasi.Eh? Itu Iren, kan?Suasana di sepanjang lorong yang kulalui sepi semenjak para nakes mulai bekerja penuh di rumah sakit karena penurunan jumlah tenaga secara drastis, baik karena pengajuan cuti atau justru harus rawat inap.Jadi, aku melihat gadis berkacamata berjas putih itu datang membawa ransel besar. Udah enggak aneh lagi sih di antara para tenaga medis untuk sibuk dalam jangka waktu panjang."Aku udah beli yang didaftar. Cuma ini makin sering berasa." Nada bicara Aya di seberang panggilan terdengar datar. Aku jadi tegagap mengiakan.Apa Aya memang setenang itu menjelaskan berbagai kemungkinan yang aan dihadapi? Anak kembar loh ini. Kalau lancar memang bisa lahira
Aku baru masang pasta gigi di permukaan sikat pas dengar suara ponsel bernyanyi. Mana sih zaman sekarang yang ponsel masih pakai dering?Ada tuh Mbak Dara yang rajin pakai dering Nokturnal buat panggilan masuk atau getar doang untuk perpesanan.Aku? Lebih banyak pakai getar, kecuali pas masa Aya nunggu pembukaan gini. Mau enggak mau harus dengar lagu ponsel mainan yang dia kirim dulu buat lucu-lucuan. Kan asem banget kalau kedengeran sama rekan seasrama."Kenapa, Ya?" tanyaku setelah mengambil benda persegi empat itu dari nakas di samping ranjang dan kembali ke kamar mandi seraya mendengarkan.Ternyata suara Mama yang menyambut melalui nomor istriku. "Ini istrimu sudah mau lahiran, tapi rumah sakit yang didatangin dari tadi kebanyakan penuh."Enggak heran, sih. Ketika pandemi seperti ini, jumlah pasien meningkat. Terakhir aku bertugas, beberapa dari calon pasien yang datang terpaksa harus menunggu di lorong menggunakan brankar tambahan. Sisanya?Ya, Tuhan! Mau menolak, enggak tega, te
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken