Aku terbangun di permukaan ranjang karena mendengar suara tangis yang sangat dekat. Hangatnya aliran pun menyapa lenganku yang menopang kepala dari pemilik suara.Nanda masih berada dalam pelukanku. Bukan, aku dan Elzar. Kami bahkan tertidur pulas setelah permainan berakhir tanpa lepaskan Nanda.Masalahnya, pagi gini biasanya punyaku tuh dalam ukuran maksimal. Bergerak sedikit, isakan Nanda beriring desah.Bagaimana ini? Mana Elzar belum ada tanda bangun.Aku masih bungkam, saling menatap pada kedalaman penglihatan Nanda yang berkaca-kaca. Telunjukku pun enggak bisa sinkron dengan perintah otak, malah memutar pada ketegangan puncak kembar Nanda.Pada akhirnya, kami bergerak perlahan dalam napas yang memburu. Bibirku mencari manisnya rasa indra pengecap Nanda yang terjulur.Gumaman dari belakang Nanda menandai pergerakan lain. Tangan yang menyelip di antara lengan Nanda membelai kekenyalan yang kujepit.Pekikan Nanda tertahan dalam bungkamanku. Gerakan perlahan di bawah sana mulai brut
"Sudah selesai perlengkapan buat calon bayinya?"Kulihat pemandangan di luar jendela asrama seraya lekatkan pelantang ponsel di telinga. Tampak ekskavator di beberapa tiik pembangunan dekat area parkir belakang rumah sakit, jalanan tanah yang dibuka untuk akses baru, dan susunan kendaraan di dekat bangsal pasien isolasi.Eh? Itu Iren, kan?Suasana di sepanjang lorong yang kulalui sepi semenjak para nakes mulai bekerja penuh di rumah sakit karena penurunan jumlah tenaga secara drastis, baik karena pengajuan cuti atau justru harus rawat inap.Jadi, aku melihat gadis berkacamata berjas putih itu datang membawa ransel besar. Udah enggak aneh lagi sih di antara para tenaga medis untuk sibuk dalam jangka waktu panjang."Aku udah beli yang didaftar. Cuma ini makin sering berasa." Nada bicara Aya di seberang panggilan terdengar datar. Aku jadi tegagap mengiakan.Apa Aya memang setenang itu menjelaskan berbagai kemungkinan yang aan dihadapi? Anak kembar loh ini. Kalau lancar memang bisa lahira
Aku baru masang pasta gigi di permukaan sikat pas dengar suara ponsel bernyanyi. Mana sih zaman sekarang yang ponsel masih pakai dering?Ada tuh Mbak Dara yang rajin pakai dering Nokturnal buat panggilan masuk atau getar doang untuk perpesanan.Aku? Lebih banyak pakai getar, kecuali pas masa Aya nunggu pembukaan gini. Mau enggak mau harus dengar lagu ponsel mainan yang dia kirim dulu buat lucu-lucuan. Kan asem banget kalau kedengeran sama rekan seasrama."Kenapa, Ya?" tanyaku setelah mengambil benda persegi empat itu dari nakas di samping ranjang dan kembali ke kamar mandi seraya mendengarkan.Ternyata suara Mama yang menyambut melalui nomor istriku. "Ini istrimu sudah mau lahiran, tapi rumah sakit yang didatangin dari tadi kebanyakan penuh."Enggak heran, sih. Ketika pandemi seperti ini, jumlah pasien meningkat. Terakhir aku bertugas, beberapa dari calon pasien yang datang terpaksa harus menunggu di lorong menggunakan brankar tambahan. Sisanya?Ya, Tuhan! Mau menolak, enggak tega, te
Kedua bayiku masih berada dalam inkubator, bertahan menggunakan alat bantu pernapasan. Lahir pas bulan, tetapi memiliki berat lahir rendah. Efek kembar. Si adik laki-laki beda menit memiliki ukuran lebih berisi dibanding kakaknya.Lucu, sih. Mereka menggeliat, lalu tidur lagi.Kulirik keberadaan Caca di sisi. Dia tersenyum lebar, turut memperhatikan pergerakan si kembar. Apa perempuan selalu tergugah ketika melihat bayi?"Kenapa kamu bisa barengan Mama?" Tanganku meraih pinggang Caca, menariknya lebih dekat. Kudaratkan dagu di pundaknya."Enggak boleh?" Caca menurunkan peganganku, tapi enggak berhasil.Aku bertahan melingkarkan lengan melewati perutnya. Dia tergelak pelan. Suara hidung Caca yang mengiringi masih terdengar aneh buatku meski tertutup masker. Spontan wajahku mundur dari pundaknya."Kamu kan baru dari luar kota," sebenarnya ini bentuk protes karena Caca terus berkeliaran ke berbagai daerah, "enggak pakai karantina lagi."Caca menunduk, jemarinya bergerak menyusuri permuka
Aku terkejut karena ternyata hasil tes Nanda yang tertera di baris bawah menunjukkan hasil positif. Lalu, di mana dia sekarang?"Apaan sih, Bra?" Caca merebut ponsel dari peganganku dan menunjukkan seringainya yang sangat puas setelah membaca isi layar. Kebiasaan, kepo banget. "Ular itu harus masuk karantina?""Namanya Nanda." Aku meralat caranya memanggil wanita yang beberapa bulan terakhir turut menghangatkan ranjangku. Padahal Caca di awal enggak permasalahin hubunganku dengan wanita manapun selama status kami resmi di depan publik."Kamu masih ngebelain dia? Aku sudah ada di sini buat nemenin kamu, masih enggak puas juga?"What the f*ck?Cuma gara-gara ngeralat nama doang jadi diceramahin panjang?Langka tau melihat Caca komplain ngebawa masalah kepuasan. Saking terkejutnya, aku malah baru sadar dia udah jalan cepat ke arah gerbang masuk area parkir."Bukan gitu," tanggapanku setelah menyusul langkahnya yang enggak ada tanda berhenti."Apa lagi sih, Bra? Sudah bagus aku ngejauhkan
"Apa kabar?" Mungkin terdengar canggung saat menyapa. Terasa banget beban di pangkal leher ketika harus melihatnya pasca kuantar terakhir kali."Buruk," putus Nanda langsung.Dia berjalan mendahuluiku melalui pintu utama IGD. Lorong yang kami lalui jadi semakin panjang semenjak pandemi karena ruang tindakan dipindahkan ke tempat yang lebih luas."Kamu sudah cek hasil pemeriksaan terbaru?" Aku enggak bermaksud menyusul dan tetap berada di belakang Nanda.Padahal dulunya dia sering di belakangku sebelum hubungan kami jadi berantakan. Kami bisa bicarakan kasus gejala khusus para pasien dan bergerak cepat karena kesamaan visi di sini."Ini mau mastiin." Masih ketus, Nanda mempercepat langkah."Jaga kesehatan. Makan dan istirahat yang cukup. Jangan stres."Dia spontan berbalik. Aku refleks terhenti sebelum menabrak, terkejut sampai mengacungkan kedua telapak tangan di depan dada. Ujung hidung Nanda sudah merah muda, juga sklera matanya meski tidak ada air mata yang keluar."Kalau memang Pa
Lelah rasanya terbayarkan melihat dirinya berada di sisi secara sadar tepat ketika aku membuka mata. Senyuman di wajah pucatnya, perjuangan yang telah Aya lalui ...."Hai ...." Suara Aya yang lemah dan serak menyapa.Aku menyaksikan kelopak mata Aya mengerjap. Tangannya dalam genggamanku bergerak mengisi tiap sela jemari."Terima kasih sudah kuat." Kukecup punggung tangan Aya, lembut, membiarkan detik terlewat sampai terdengar tawanya yang ringan."Berapa lama aku tidur?" tanya Aya sambil memiringkan tubuhnya ke arahku.Sekali dia mengaduh, aku refleks menegakkan punggung pada kursi yang kududuki, tidak lagi menyandarkan kepala pada sisi kosong ranjang di samping Aya."Aku enggak apa-apa, Bra. Duduk aja." Aya menguatkan genggamannya padaku. "Katakan, berapa lama?"Kulirik tampilan arloji di pergelangan tangan dalam kuasa Aya. Mungkin, "Sekitar ... dua puluh delapan jam?" semenjak memastikan Aya tidak sadarkan diri."Di mana anak-anak?""Banyak sekali pertanyaanmu hari ini ...." Aku me
"Kamu enggak kerja?" Pertanyaan Aya ke sekian kali hari ini karena aku masih juga menemaninya di kamar."Masih masa cuti abis karantina." Lumayan, mengambil jatah satu minggu menemani Aya sekaligus berkenalan dengan dua bayi dalam gendongannya.Kuambil si gadis kecil yang besarnya sebatas lengan bawahku, menggendongnya di samping Aya yang masih menyusui bayi satunya.. Kulitnya tampak kemerahan. Bulu matanya tampak memanjang ketika terpejam."Sudah punya nama yang pas?" tanyaku, terpesona dengan pahatan alami dari Tuhan."Maureen, wanita yang anggun." Aya seolah melihat bayangan lain menembus dinding di seberangnya sambil tersenyum lebar. Mungkin harapan akan masa depan. "Aku meminta nama baptis dari Romo beberapa minggu lalu.""Kalau si jagoan?" Kusentuh jari-jari mungil yang mendarat di dada terbuka Aya.Mata si bayi yang terbuka lebar tampak tajam. Kerut yang terbentuk dari ketegangan alisnya terlihat menegangkan."Ini Matthew, hadiah dari Tuhan. Seperti nama depanmu, kan?"Iya, had