"Sudah selesai perlengkapan buat calon bayinya?"Kulihat pemandangan di luar jendela asrama seraya lekatkan pelantang ponsel di telinga. Tampak ekskavator di beberapa tiik pembangunan dekat area parkir belakang rumah sakit, jalanan tanah yang dibuka untuk akses baru, dan susunan kendaraan di dekat bangsal pasien isolasi.Eh? Itu Iren, kan?Suasana di sepanjang lorong yang kulalui sepi semenjak para nakes mulai bekerja penuh di rumah sakit karena penurunan jumlah tenaga secara drastis, baik karena pengajuan cuti atau justru harus rawat inap.Jadi, aku melihat gadis berkacamata berjas putih itu datang membawa ransel besar. Udah enggak aneh lagi sih di antara para tenaga medis untuk sibuk dalam jangka waktu panjang."Aku udah beli yang didaftar. Cuma ini makin sering berasa." Nada bicara Aya di seberang panggilan terdengar datar. Aku jadi tegagap mengiakan.Apa Aya memang setenang itu menjelaskan berbagai kemungkinan yang aan dihadapi? Anak kembar loh ini. Kalau lancar memang bisa lahira
Aku baru masang pasta gigi di permukaan sikat pas dengar suara ponsel bernyanyi. Mana sih zaman sekarang yang ponsel masih pakai dering?Ada tuh Mbak Dara yang rajin pakai dering Nokturnal buat panggilan masuk atau getar doang untuk perpesanan.Aku? Lebih banyak pakai getar, kecuali pas masa Aya nunggu pembukaan gini. Mau enggak mau harus dengar lagu ponsel mainan yang dia kirim dulu buat lucu-lucuan. Kan asem banget kalau kedengeran sama rekan seasrama."Kenapa, Ya?" tanyaku setelah mengambil benda persegi empat itu dari nakas di samping ranjang dan kembali ke kamar mandi seraya mendengarkan.Ternyata suara Mama yang menyambut melalui nomor istriku. "Ini istrimu sudah mau lahiran, tapi rumah sakit yang didatangin dari tadi kebanyakan penuh."Enggak heran, sih. Ketika pandemi seperti ini, jumlah pasien meningkat. Terakhir aku bertugas, beberapa dari calon pasien yang datang terpaksa harus menunggu di lorong menggunakan brankar tambahan. Sisanya?Ya, Tuhan! Mau menolak, enggak tega, te
Kedua bayiku masih berada dalam inkubator, bertahan menggunakan alat bantu pernapasan. Lahir pas bulan, tetapi memiliki berat lahir rendah. Efek kembar. Si adik laki-laki beda menit memiliki ukuran lebih berisi dibanding kakaknya.Lucu, sih. Mereka menggeliat, lalu tidur lagi.Kulirik keberadaan Caca di sisi. Dia tersenyum lebar, turut memperhatikan pergerakan si kembar. Apa perempuan selalu tergugah ketika melihat bayi?"Kenapa kamu bisa barengan Mama?" Tanganku meraih pinggang Caca, menariknya lebih dekat. Kudaratkan dagu di pundaknya."Enggak boleh?" Caca menurunkan peganganku, tapi enggak berhasil.Aku bertahan melingkarkan lengan melewati perutnya. Dia tergelak pelan. Suara hidung Caca yang mengiringi masih terdengar aneh buatku meski tertutup masker. Spontan wajahku mundur dari pundaknya."Kamu kan baru dari luar kota," sebenarnya ini bentuk protes karena Caca terus berkeliaran ke berbagai daerah, "enggak pakai karantina lagi."Caca menunduk, jemarinya bergerak menyusuri permuka
Aku terkejut karena ternyata hasil tes Nanda yang tertera di baris bawah menunjukkan hasil positif. Lalu, di mana dia sekarang?"Apaan sih, Bra?" Caca merebut ponsel dari peganganku dan menunjukkan seringainya yang sangat puas setelah membaca isi layar. Kebiasaan, kepo banget. "Ular itu harus masuk karantina?""Namanya Nanda." Aku meralat caranya memanggil wanita yang beberapa bulan terakhir turut menghangatkan ranjangku. Padahal Caca di awal enggak permasalahin hubunganku dengan wanita manapun selama status kami resmi di depan publik."Kamu masih ngebelain dia? Aku sudah ada di sini buat nemenin kamu, masih enggak puas juga?"What the f*ck?Cuma gara-gara ngeralat nama doang jadi diceramahin panjang?Langka tau melihat Caca komplain ngebawa masalah kepuasan. Saking terkejutnya, aku malah baru sadar dia udah jalan cepat ke arah gerbang masuk area parkir."Bukan gitu," tanggapanku setelah menyusul langkahnya yang enggak ada tanda berhenti."Apa lagi sih, Bra? Sudah bagus aku ngejauhkan
"Apa kabar?" Mungkin terdengar canggung saat menyapa. Terasa banget beban di pangkal leher ketika harus melihatnya pasca kuantar terakhir kali."Buruk," putus Nanda langsung.Dia berjalan mendahuluiku melalui pintu utama IGD. Lorong yang kami lalui jadi semakin panjang semenjak pandemi karena ruang tindakan dipindahkan ke tempat yang lebih luas."Kamu sudah cek hasil pemeriksaan terbaru?" Aku enggak bermaksud menyusul dan tetap berada di belakang Nanda.Padahal dulunya dia sering di belakangku sebelum hubungan kami jadi berantakan. Kami bisa bicarakan kasus gejala khusus para pasien dan bergerak cepat karena kesamaan visi di sini."Ini mau mastiin." Masih ketus, Nanda mempercepat langkah."Jaga kesehatan. Makan dan istirahat yang cukup. Jangan stres."Dia spontan berbalik. Aku refleks terhenti sebelum menabrak, terkejut sampai mengacungkan kedua telapak tangan di depan dada. Ujung hidung Nanda sudah merah muda, juga sklera matanya meski tidak ada air mata yang keluar."Kalau memang Pa
Lelah rasanya terbayarkan melihat dirinya berada di sisi secara sadar tepat ketika aku membuka mata. Senyuman di wajah pucatnya, perjuangan yang telah Aya lalui ...."Hai ...." Suara Aya yang lemah dan serak menyapa.Aku menyaksikan kelopak mata Aya mengerjap. Tangannya dalam genggamanku bergerak mengisi tiap sela jemari."Terima kasih sudah kuat." Kukecup punggung tangan Aya, lembut, membiarkan detik terlewat sampai terdengar tawanya yang ringan."Berapa lama aku tidur?" tanya Aya sambil memiringkan tubuhnya ke arahku.Sekali dia mengaduh, aku refleks menegakkan punggung pada kursi yang kududuki, tidak lagi menyandarkan kepala pada sisi kosong ranjang di samping Aya."Aku enggak apa-apa, Bra. Duduk aja." Aya menguatkan genggamannya padaku. "Katakan, berapa lama?"Kulirik tampilan arloji di pergelangan tangan dalam kuasa Aya. Mungkin, "Sekitar ... dua puluh delapan jam?" semenjak memastikan Aya tidak sadarkan diri."Di mana anak-anak?""Banyak sekali pertanyaanmu hari ini ...." Aku me
"Kamu enggak kerja?" Pertanyaan Aya ke sekian kali hari ini karena aku masih juga menemaninya di kamar."Masih masa cuti abis karantina." Lumayan, mengambil jatah satu minggu menemani Aya sekaligus berkenalan dengan dua bayi dalam gendongannya.Kuambil si gadis kecil yang besarnya sebatas lengan bawahku, menggendongnya di samping Aya yang masih menyusui bayi satunya.. Kulitnya tampak kemerahan. Bulu matanya tampak memanjang ketika terpejam."Sudah punya nama yang pas?" tanyaku, terpesona dengan pahatan alami dari Tuhan."Maureen, wanita yang anggun." Aya seolah melihat bayangan lain menembus dinding di seberangnya sambil tersenyum lebar. Mungkin harapan akan masa depan. "Aku meminta nama baptis dari Romo beberapa minggu lalu.""Kalau si jagoan?" Kusentuh jari-jari mungil yang mendarat di dada terbuka Aya.Mata si bayi yang terbuka lebar tampak tajam. Kerut yang terbentuk dari ketegangan alisnya terlihat menegangkan."Ini Matthew, hadiah dari Tuhan. Seperti nama depanmu, kan?"Iya, had
Pasca kepulangan Aya dari rumah sakit, kami memilih tetap mengurus anak-anak di rumah sendiri. Banyak faktor yang menjadi alasan sebenarnya, salah satunya menjaga kesehatan mental Aya dari pembicaraan orang lain mengenai metode pengasuhan anak.She's good and try her best to our kids. More enough.Mungkin sesekali Caca datang dengan alibi membantu. Dia lebih seperti penonton yang memperhatikan setiap kebiasaan Aya ke anak-anak, atau mencoba mengurus mereka sesekali jika Aya kerepotan.Namun, sekali lagi Caca mengingatkan perjanjian kami.“Aku enggak bisa, Ca ....” Sebisa mungkin kami menjauh dulu dari Aya setiap membicarakan ini, bahkan menggunakan teras belakang rumah hanya untuk berdebat.“Perlu aku yang bilang?”“Seperti apa?” Tanganku sampai menengadah di antara kami.Jujur, aku kehabisan ide setiap melihat Aya begitu bahagia memiliki keluarga baru. Dia bahkan selalu bercerita di setiap menjelang tidur mengenai hal-hal baru yang berhasil dicoba.“Soal pernikahan kalian yang belum
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken