"Lepaskan putraku!" bentak Elsa menekan kalimatnya dengan murka. Nana tercengang dengan muka memerah, terlalu tak menyangka kalau apa yang ia pikirkan benar-benar menjadi kenyataan. Ibu mertuanya adalah sosok yang kejam dan tak berperasaan.
Nana menggelengkan kepala guna menyadarkan diri. Sebagai seorang wanita kuat dan tak lemah, tentu Nana tak akan mengikuti perintah calon mertuanya begitu saja."Saya—""Lepaskan Calvin kalau kau tak sanggup memenuhi syarat dariku," potongnya mengubah ekspresi secepat kilat, kini Elsa tampak kembali tenang, tak menggebu-gebu seperti saat menggebrak meja tadi."Syarat?" Nana penasaran."Iya, sebuah syarat," jawabnya tersenyum licik."Apa syaratnya?" tantang Nana tak mau kalah, apa pun akan ia lakukan demi menjadi istri pujaan hati. Tinggal selangkah lagi ia akan menjadi istri sah pujaan hati, mana mungkin ia menyerah hanya karena ibu mertua yang kejam. Lagipula ia bukan karakter wanita lemah dalam novel favoritnya."Kuberi waktu dua bulan, kalau kau tidak hamil, maka tinggalkan Calvin," ungkap Elsa dengan penuh penekanan pada setiap kalimatnya.Nana terperangah, tak habis pikir dengan syarat yang dilontarkan. Nana tentu saja mau menjadi ibu, tapi Calvin belum tentu mau menjadi ayah. Apalagi ia tahu bahwa cinta Calvin tak sepenuhnya miliknya. Membujuk Calvin bukanlah hal yang mudah. Hamil dalam waktu dua bulan juga tak semudah membalikkan telapak tangan."Baik. Jangankan dua bulan, saya yakin dapat hamil hanya dalam waktu sebulan menjadi istri dokter Calvin," Nana mengumpat diri sendiri. Kepercayaan diri membuatnya lupa diri. Tapi dengan berbagai jurus andalan ditambah sedikit kelicikan, ia yakin dapat hamil dalam waktu singkat."Baru calon menantuku," Elsa mengulurkan tangan, seakan menyambut Nana dengan senyuman kebahagiaan, sangat berbeda dengan tadi, di mana ia selalu mengintrogasi dengan raut wajah yang menakutkan. Dari raut wajahnya yang sekarang, tampak Elsa cukup menyukai Nana. Nana menyambut uluran tangan sang calon mertua dengan wajah bingungnya."Aktingku masih yang terbaik," batin Elsa bangga. Sebagai mantan aktris yang terkenal pada masanya, tentu soal akting adalah hal mudah baginya. Apa pun akan ia lakukan demi seorang cucu yang dapat ia banggakan pada kumpulan sosialitanya.Sementara itu di ruangan lainnya. Terlihat Calvin tengah duduk di sofa di ruang kerja ayahnya. Berbeda dengan Arvin sang ayah yang terus mondar-mandir tak tentu arah."Papa sudah tutupi insiden ini, kau tak perlu menikahi gadis itu," ucapnya ketika mulai duduk di hadapan sang putra."Apa maksud papa?" tanya Calvin serius."Menikahi seorang gadis karena rasa bersalah tanpa adanya cinta, kamu tidak hanya menyakiti diri kamu sendiri, tapi juga gadis tidak bersalah itu. Dengarkan papa baik-baik, kamu tetap bisa bertanggung jawab pada gadis itu tanpa menikahinya. Ada banyak cara lain untuk memastikan dia tetap hidup dengan baik," ungkap Arvin tak ingin putranya menikah tanpa rasa cinta."Hanya dengan menikahinya rasa bersalah ini dapat sedikit berkurang. Papa tidak akan mengerti bagaimana hidup dikelilingi rasa bersalah. Keputusan Calvin sudah bulat, Calvin akan di tetap menikahi Nana," keukeuh Calvin tak dapat dibantah."Papa juga dokter, Calvin. Banyak nyawa yang melayang di tangan papa tanpa sengaja, tentu papa paham bagaimana perasaanmu, tapi papa tidak mau kamu menyesal nantinya. Cepat atau lambat, Nana pasti akan tahu kesalahanmu," dari ucapannya, sepertinya Arvin tahu obat penenang yang kini diam-diam Calvin konsumsi."Sekarang papa tanya, apa yang akan kamu lakukan saat Nana mengetahui bahwa kematian ayahnya adalah kesalahanmu?" Calvin terdiam, ia tak pernah berpikir sampai ke sana. Arvin sang ayah mengusap wajah dengan kasar. Ia bingung bagaimana lagi harus memberikan pengertian kepada putranya yang keras kepala. Persis seperti Elsa, istrinya.Calvin bangkit dari duduknya, "Calvin datang membawa Nana untuk memberi tahu papa dan mama kalau Calvin akan menikah besok, terserah papa mau datang atau tidak," papar Calvin kemudian pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang tampak syok atas ucapan sang putra yang akan menikah secepat itu."Kita pulang!" ajak Calvin langsung menyeret pergelangan tangan Nana keluar dari mansion tanpa berpamitan lebih dulu.***"BESOK!" teriak Nana kaget, ia langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan."Kenapa! Keberatan?" Calvin bertanya tanpa menoleh dan tetap fokus pada kemudinya."Tidak, aku tidak keberatan sama sekali. Lebih cepat lebih baik," sahut Nana dengan cepat, takut Calvin berubah pikiran. Memikirkan akan menikah besok pagi, Nana tak bisa menahan senyuman lebarnya."Kamu juga tidak keberatan kalau kita menikah tanpa resepsi?" pertanyaan Calvin kali ini membuat Nana terdiam, senyuman lebarnya seketika sirna."Tanpa resepsi?" hancur sudah impiannya untuk menjadi princess di hari bahagia. Sungguh Nana mengimpikan pernikahan mewah seperti pernikahan di negeri dongeng."Maksud saya resepsinya akan ditunda sampai saya berhasil membuktikan kepada papa dan mama bahwa kamu adalah istri pilihan saya yang terbaik. Bagaimana? Kamu tidak keberatan, kan?" sambung Calvin lagi, kali ini ia menatap Nana sebentar, kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan sana."Pernikahan kita tidak akan dirahasiakan, bukan?""Ada sesuatu yang tidak bisa kuberitahu padamu saat ini," penjelasan Calvin membuat Nana tersenyum guna menyembunyikan rasa kecewanya. Tak mendapat restu, menikah tanpa resepsi, ditambah lagi tak bisa membanggakan betapa hebatnya sang suami. Rasanya sangat aneh memiliki suami tapi tak dapat mengatakannya kepada dunia. Ibarat semakin baik sesuatu yang didapat, semakin banyak pula sesuatu yang terpaksa harus direlakan."Apa pun itu, yang penting kita menikah," balas Nana dengan penuh kebesaran hati."Dan aku akan membuatmu mencintaiku," lanjut Nana di dalam hati sambil menatap Calvin penuh cinta.Sepersekian detik kemudian, mobil berhenti tepat di depan sebuah butik. Calvin turun dari mobil, Nana juga melakukan hal yang sama. Seperti biasa, Calvin masuk lebih dulu, Nana bergegas menyusul."Dokter Calvin, ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita cantik nan modis menyambut kedatangan Calvin."Kau punya banyak koleksi gaun pengantin, bukan?" Calvin bertanya to the point. Desainer muda itu tampak kaget mendengar pertanyaan Calvin, tapi buru-buru ia menyadarkan diri."Tentu banyak, untuk siapa?""Untuk saya, calon istri dokter Calvin," sambung Nana tersenyum percaya diri. Calvin tampak tak suka atas apa yang kini Nana lakukan. Nana tak peduli, lagipula ia tak mengenal desainer muda itu."Rahasiakan ini dari siapa pun," ucap Calvin dan desainer tersebut mengangguk dengan cepat."Bukan masalah besar," jawabnya yang kemudian memberi jalan, membawa Calvin dan Nana hingga sampai ke ruangan lainnya. Di ruang steril itu terdapat banyak gaun pengantin yang dirawat dengan canggih."Silahkan pilih model mana yang nona suka," sang desainer mempersilahkan. Nana menatap kagum semua model gaun pengantin yang sangat indah, harganya pasti tidaklah murah."Yang ini boleh?" tanya Nana yang langsung jatuh hati pada gaun glamor yang begitu seksi dan memiliki belahan terutama di bagian dada, paha serta punggung yang terbuka. Sang desainer tersenyum kecut melihat gaun pilihan Nana."Maaf, tapi sepertinya tidak sesuai dengan usia nona," sanggah sang desainer membuat Calvin tersenyum simpul. Ia mendukung apa yang desainer katakan."Kalau begitu kenapa menyuruhku memilih," cibir Nana kesal."Sepertinya model gaun ini sangat cocok dengan pembawaan nona, simpel tapi elegan," desainer itu memberi rekomendasi. Nana tak menyela karena gaun yang dipilihkan untuknya tidak terlalu buruk."Ukurannya?" timpal Calvin ragu dengan ukuran gaun yang melekat di patung. Nana semakin kesal karena kedua gundukannya memang tak sesubur gaun yang dipilihkan."Akan saya revisi sesuai ukuran tubuh nona. Tidak akan lama karena proporsi tubuh nona cukup ideal, nanti malam akan langsung saya antar," jawabnya dan Calvin pun menganggukkan kepala setuju. Calvin langsung membawa Nana pulang setelah membuat kesepakatan dengan desainer yang tak lain adalah sahabat masa lalunya.Di dalam kamar."Kamu serius?" tanya Cleona di seberang sana."Seribu rius, tapi tidak ada resepsi," jawab Nana tampak kecewa. Jawaban Nana membuat lenggang beberapa saat."Kamu baik-baik saja'kan, Na?" tanya Cleona khawatir."Iya, aku baik-baik saja kok. Lagipula dokter Calvin melakukan itu demi kebaikan aku juga demi kebaikannya. Oh iya, kamu datang, ya, besok.""Tentu saja aku datang," jawab Cleona dengan cepat."Nanti sambung lagi, ya. Castin mau nyusu, eh, maksudku baby d mau nyusu."Tut!Hari yang Nana tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana ia akan menjadi istri sah dari pria yang sangat ia cintai. Impiannya selama ini akan menjadi kenyataan.Pagi-pagi sekali Nana sudah bangun, MUA langsung meriasnya dengan natural, MUA juga membantu mengenakan gaun pengantin hingga kini Nana pun siap dengan penampilan sempurnanya."Ayah, hari ini Nana akan menikah," Nana berdiri di depan foto sang ayah yang melekat sempurna di dinding kamarnya. Nana tersenyum manis dengan setetes air mata yang langsung ia tepis."Nana sangat bahagia, Nana harap ayah juga bahagia di surga sana," monolog Nana lagi, ia berusaha membendung air mata, tak ingin terlihat menyedihkan di depan sang ayah tercinta."Nana yakin hanya dokter Calvin satu-satunya pria yang pantas menjadi suami Nana. Menurut ayah bagaimana? Apakah dokter Calvin pantas menjadi menantu ayah?"Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu terdengar, Nana pun terpaksa menyudahi perbincangan dengan foto ayahnya."Iya!" seru Nana mengangkat ujung
"Dokter Calvin," panggil Nana menatap kagum sang suami yang duduk tepat di sebelahnya."Mulai sekarang panggil namaku saja," balas Calvin tanpa menoleh dan tetap fokus membelah jalan raya."Nana ingin mengatakan sesuatu.""Apa?" perasaan Calvin mulai tak enak."Nana mau punya anak. Boleh, ya," tekan Nana, saking kagetnya Calvin menginjak rem mendadak. Beruntung mobilnya canggih hingga Nana sang istri tak terluka meski keningnya terbentur."Aku masih hidup?" tanya Nana sambil memegangi keningnya yang terbentur."Apa kamu pikir mengandung, melahirkan dan mengurus anak itu mudah? Ada ngidam dengan segala drama, melahirkan bertaruh nyawa hingga baby blues syindrome. Dengarkan aku baik-baik, kita baru saja menikah, tolong jangan bahas sampai ke sana. Lebih baik kamu fokus benahi nilaimu yang berantakan," terang Calvin dengan nada suara yang meninggi. Nana mulai kebal dengan ejekan Calvin terhadap nilainya. "Lagian aku akan menceraikanmu bila kamu sudah menemukan cinta sejati," lanjut Calv
"Mau pulang bersama?" tawar Nana."Berlawanan arah, Na. Lagi pula kamu mau pergi ke rumah sakit, kan?" balas Cleona mengingatkan."Oh iya, yasudah kalau gitu aku duluan," kata Nana melesat pergi dengan menggunakan motor matiknya. Nana memang sangat bersemangat ke rumah sakit, karena ada hal penting yang harus dilakukan di sana.Beberapa menit perjalanan, Nana pun tiba di rumah sakit. Ia langsung bergegas menuju ruang kerja suaminya. Saat masuk ke dalam ruangan, Nana tak melihat keberadaan Calvin, yang ada justru suster Maria yang tengah mengganti alas brankar."Nana," sambut suster Maria dengan senyuman manisnya."Di mana Calvin?""Baru saja berangkat makan siang berdua dengan dokter Dona," balas suster Maria dengan ekspresi sedih yang seakan tak ingin mengatakannya kepada Nana. mendengar itu, Nana tampak diam."Kamu baik-baik saja?" suster Maria memastikan."Kamu pikir aku akan apa?" kesal Nana mengambil seragam susternya dengan cepat, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk bergan
"APA!? BANYAK!?" Nana langsung menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya."Aku dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi," Calvin mengingatkan."Oh iya ... Pantas saja kamu tidak kaget melihatku begini, apalagi ukuranku terlalu mini, sama sekali tidak menarik di matamu," Nana merasa tak pantas, apalagi saat membandingkan kedua gundukannya dengan Cleona, sahabat sekaligus pujaan hati suaminya. Nana semakin tertunduk lesu saat Calvin sama sekali tak menyangkal ucapannya."Seberapa banyak wanita yang pernah kamu lihat?" tanya Nana penasaran."Tidak banyak, hanya dalam kondisi mendesak saja. Sekarang berbaliklah, aku akan menyabuni tubuh bagian depanmu," pinta Calvin dan Nana langsung merebut spons di tangan suaminya."Keluarlah, selanjutnya biarku lakukan sendiri.""Tapi—""Aku baik-baik saja," tekan Nana dan Calvin pun segera keluar dari kamar mandi.Tiba di luar, Calvin menjatuhkan tubuhnya ke lantai, hampir ia mati berdiri di dalam sana. Berbagai macam bentuk sudah pernah ia lihat, t
"Keluar sekarang juga!" usir Calvin dengan tegas."Baiklah, kita lanjutkan saat bulan madu," Nana tersenyum manis, kemudian bergegas keluar dari kamar suaminya."Sial!" umpat Calvin menjatuhkan tubuh dengan kasar ke atas ranjang, ia menghela napas hingga berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu.Baru beberapa detik Calvin memejamkan mata, suara ponsel yang seakan menjerit di telinga seketika membangunkannya. Calvin meraba ponsel di saku celana, nama Devil sang sahabat tertera di layar, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?" tanya Calvin dengan malas sambil memijat lembut pangkal hidung."Kau di mana? Aku ingin berkonsultasi," balas Devil di seberang sana."Kau di mana?" bukan jawaban, tapi Calvin justru melempar pertanyaan yang sama dengan yang Devil tanyakan."Tentu saja aku di club," sahut Devil."Aku ke sana sekarang!" seru Calvin memutuskan panggillan sepihak. Dokter tampan itu segera bangkit, meraih kunci mobil dan melesat pergi begitu saja tanpa membe
Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t