"Mau pulang bersama?" tawar Nana.
"Berlawanan arah, Na. Lagi pula kamu mau pergi ke rumah sakit, kan?" balas Cleona mengingatkan."Oh iya, yasudah kalau gitu aku duluan," kata Nana melesat pergi dengan menggunakan motor matiknya. Nana memang sangat bersemangat ke rumah sakit, karena ada hal penting yang harus dilakukan di sana.Beberapa menit perjalanan, Nana pun tiba di rumah sakit. Ia langsung bergegas menuju ruang kerja suaminya. Saat masuk ke dalam ruangan, Nana tak melihat keberadaan Calvin, yang ada justru suster Maria yang tengah mengganti alas brankar."Nana," sambut suster Maria dengan senyuman manisnya."Di mana Calvin?""Baru saja berangkat makan siang berdua dengan dokter Dona," balas suster Maria dengan ekspresi sedih yang seakan tak ingin mengatakannya kepada Nana. mendengar itu, Nana tampak diam."Kamu baik-baik saja?" suster Maria memastikan."Kamu pikir aku akan apa?" kesal Nana mengambil seragam susternya dengan cepat, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian.Begitu selesai, Nana keluar dari kamar mandi. Seperti biasa sudah ada makan siang yang tersaji di atas meja. Memang suster Maria ditugaskan oleh Calvin untuk mengurusi Nana. Termasuk menyediakan makan siangnya. Akan tetapi, Nana tak pernah sekalipun memakan hidangan yang disajikan."Pasti menyenangkan makan berdua dengan wanita lain," kesal Nana membuang makanan ke dalam tong sampah. Kemudian barulah ia melakukan pekerjaan seperti biasa."Belum juga kembali, makan siang saja hampir satu jam," protes Nana sambil menatap pintu dengan kesal.Ceklek!Pintu terbuka, Nana kembali fokus pada catatannya."Tuhkan Nana sudah datang," terdengar suara dokter Dona, Nana pun langsung mengangkat wajah dan tersenyum dengan ramah."Maaf, Na. Tadi aku sudah minta Calvin untuk menunggumu sebentar agar kita bisa makan siang bersama, tapi—""Aku baru saja datang, memang lebih baik tidak perlu menungguku," potong Nana dengan nada suara lembutnya."Benarkah begitu?" Nana menganggukkan kepala sebagai jawaban, sementara Calvin sudah duduk di singgasananya."Kamu pasti belum makan siang, kan? Ini makanan kesukaanmu, selamat menikmati," katanya kemudian bergegas pergi untuk kembali melayani pasien yang menunggu.Setelah kepergian dokter Dona, Nana bangkit dari duduknya. Dan tanpa ragu ia membuang makanan yang dokter Dona berikan ke tong sampah."Apa yang kamu lakukan, Nana?" tanya Calvin dengan emosi di wajahnya.Nana tersenyum manis, kemudian mengatakan, "Membuang SAMPAH ke tempatnya!""PASIEN ATAS NAMA ZAVIYA!" seru Nana dan seorang pasien pun masuk ke dalam ruangan, membuat Calvin mengurungkan niatnya untuk memberi pelajaran kepada sang istri.Beberapa jam kemudian."Wajah suster pucat sekali," kata pasien untuk yang kesekian kalinya, Nana hanya tersenyum manis dan tetap melanjutkan tugasnya dengan baik."Ini resep obatnya, suster Maria di luar akan membantu ibu untuk mendapatkan obatnya," ucap Calvin dengan ekspresi ramahnya, ekspresi yang hanya ia perlihatkan kepada pasien, tapi tidak pada istrinya sendiri."Terima kasih banyak dokter," Calvin menganggukkan kepala sebagai jawaban dan pasien terakhir di hari itu pun keluar dari ruangan sebagai pertanda dari selesainya tugas Calvin sebagai seorang dokter.Setelah kepergian pasiennya, Calvin mendekat pada Nana sang istri. "Kau tidak makan?""Aku memang sudah gila, bisa-bisanya rela tidak makan seharian demi mendapatkan perhatian dari suaminya," tutur Nana merapikan mejanya dengan kasar."Seharian!" bentak Calvin kaget."Lihatlah, suamiku memang kejam," ketus Nana lagi, bahkan ia menepis tangan sang suami yang ingin menyeretnya. Calvin menghela napas berat."Hubunganku dan Dona hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih. Apa perlu seberlebihan ini?" Calvin mencoba bersabar."Aku tidak bertanya," balas Nana santai."Lagian mana mungkin dokter Dona mampu menggantikan posisi Cleona di hatimu," lanjut Nana membatin."Cepat berkemas, aku tunggu di mobil," ucap Calvin tak ingin berdebat."Aku bawa motor," sahut Nana melangkah cepat, melewati Calvin."Jangan berharap aku akan peduli dan memperhatikanmu," batin Calvin tak peduli, ia membiarkan Nana pulang dengan motornya.Namun, saat mengingat ucapan pasien terakhir yang mengomentari wajah pucat Nana, Calvin pun mempercepat laju kendaraan untuk menyusul Nana yang sudah jauh di depan sana.Calvin menginjak rem mendadak saat tiba-tiba lampu merah menyala, yang membuat Calvin syok adalah adanya kecelakaan motor di depan sana."Nanaaa....Calvin panik bukan main, ia keluar dari mobil, berlari menghampiri gerombolan orang-orang yang mengerumuni korban kecelakaan. Tanpa disadari, Calvin telah menangis histeris kala mendengar ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa korban telah meninggal dunia. Detik itu juga Calvin merasa dunianya runtuh, rasa bersalahnya meningkat berjuta kali lipat. Bukannya menjaga Nana untuk menebus dosa, Calvin justru lalai hingga kehilangan Nana. Calvin merasa tak pantas dimaafkan, kali ini ia benar-benar akan memastikan bahwa dirinya akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya."Nanaaa!" teriak Calvin langsung memeluk Nana yang sekujur tubuhnya sudah bersimbah darah."Maafkan aku, Nana. Maafkan suamimu yang tidak berguna ini. Jangan pergi, aku mohon jangan pergi, kamu mau aku lebih perhatian, lebih peduli padamu, kan? Akan aku lakukan asalkan kan jangan pergi. Aku berjanji akan melakukan apa pun yang kamu mau," lanjut Calvin dengan tangisan histerisnya."NANA JANGAN PERGI!" teriak Calvin.Gerombolan orang-orang pun mulai menepi ketika polisi telah datang."Apa tuan keluarga korban?" tanya seorang polisi berusaha membantu Calvin berdiri."SAYA SUAMINYA!" bentak Calvin dengan penampilan yang begitu berantakan. Sementara para polisi dibuat terdiam, bukan karena bentakkan Calvin, melainkan karena...."Korban kecelakaannya berjenis kelamin laki-laki," celetukan sang polisi membuat Calvin terdiam beberapa detik, kemudian mengalihkan pandangan pada korban kecelakaan yang ternyata benar-benar adalah laki-laki. Calvin kaget bukan main."Mohon maaf bapak-bapak polisi, sepertinya suami saya salah mengenali orang. Ayo sayang, kita pulang," Nana yang rupanya ada di gerombolan orang-orang langsung menyeret Calvin kembali ke mobil. Sedangkan polisi tampak terheran.Melihat keadaan Calvin yang masih syok dan tak percaya, Nana pun memutuskan untuk mengemudikan mobil, sementara Calvin duduk di sebelahnya."Haha...." Nana mengemudikan mobil sambil terus menertawakan suaminya. Sulit baginya menahan tawa saat mengingat adegan sebelumnya. Ya, dari awal Nana sudah ada di gerombolan orang-orang yang mengerumuni korban kecelakaan. Ia kaget saat melihat Calvin yang panik dan berlarian memanggil namanya.Sampai di apartemen, Nana tak kunjung berhenti menertawakan Calvin. Baginya adegan tadi amatlah lucu."Berhenti tertawa," kata Calvin sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. Nana tak peduli dan terus tertawa sampai masuk ke dalam kamarnya sendiri.Di dalam kamar mandi, Calvin menyesali kebodohannya. Saking paniknya ia sampai salah mengenali orang. Benar-benar memalukan, bukan hanya di depan polisi dan banyak orang, tapi di depan Nana."Sial!" umpat Calvin di bawah shower yang terus mengguyur tubuh kekarnya.Setelah selesai mandi dan siap dengan dengan piyama tidurnya, barulah Calvin keluar dari kamar. Sebelum pergi ke dapur untuk makan malam, Calvin memilih mengetuk pintu kamar Nana yang berada tepat di sebelah kamarnya."Nana," panggil Calvin tapi tak terdengar sahutan, membuatnya terpaksa membuka pintu kamar yang tak dikunci, dan betapa kagetnya ia saat mendengar suara seseorang yang muntah-muntah dari dalam kamar mandi yang terkunci."Nana, kamu di dalam? Apa yang terjadi?" tanya Calvin panik."Tidak apa-apa, hanya kebanyakan tertawa sampai muntah-muntah," balas Nana dengan suara lemahnya."Sudah kukatakan berhenti tertawa, kenapa kau sangat keras kepala. Cepat buka pintunya, kamu tidak makan seharian, aku akan memeriksamu," lanjut Calvin lagi."Tapi aku belum selesai mandi," sahut Nana."Buka saja, biar aku bantu," jawab Calvin yakin."Tapi aku telan jang, apa tidak masalah?" Nana menekan kalimatnya."Buka sekarang!" pinta Calvin dan Nana pun membuka pintu kamar mandi. Calvin masuk dan benar saja, istri kecilnya itu tidak mengenakan sehelai benangpun di tubuh polosnya. Persetan dengan senjatanya yang langsung merespon, Calvin berusaha fokus pada tujuan utamanya meski sangat sulit dilakukan.Sementara Nana tidak merasa canggung sedikit pun. Ia justru kesal, andai tidak sedang sakit, sudah dari tadi ia goda suami tampannya itu. Tidak makan seharian membuatnya tak bertenaga, ulu hatinya benar-benar terasa nyeri. Belum lagi mual yang membuatnya merasa ingin muntah."Duduk di sana," pinta Calvin dan Nana pun duduk dengan patuh, Nana duduk membelakangi Calvin yang menyabuni tubuhnya."Sebelum aku, apa ada wanita lain yang telan jang di hadapanmu?" tanya Nana dengan santai."Banyak.""APA!? BANYAK!?""APA!? BANYAK!?" Nana langsung menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya."Aku dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi," Calvin mengingatkan."Oh iya ... Pantas saja kamu tidak kaget melihatku begini, apalagi ukuranku terlalu mini, sama sekali tidak menarik di matamu," Nana merasa tak pantas, apalagi saat membandingkan kedua gundukannya dengan Cleona, sahabat sekaligus pujaan hati suaminya. Nana semakin tertunduk lesu saat Calvin sama sekali tak menyangkal ucapannya."Seberapa banyak wanita yang pernah kamu lihat?" tanya Nana penasaran."Tidak banyak, hanya dalam kondisi mendesak saja. Sekarang berbaliklah, aku akan menyabuni tubuh bagian depanmu," pinta Calvin dan Nana langsung merebut spons di tangan suaminya."Keluarlah, selanjutnya biarku lakukan sendiri.""Tapi—""Aku baik-baik saja," tekan Nana dan Calvin pun segera keluar dari kamar mandi.Tiba di luar, Calvin menjatuhkan tubuhnya ke lantai, hampir ia mati berdiri di dalam sana. Berbagai macam bentuk sudah pernah ia lihat, t
"Keluar sekarang juga!" usir Calvin dengan tegas."Baiklah, kita lanjutkan saat bulan madu," Nana tersenyum manis, kemudian bergegas keluar dari kamar suaminya."Sial!" umpat Calvin menjatuhkan tubuh dengan kasar ke atas ranjang, ia menghela napas hingga berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu.Baru beberapa detik Calvin memejamkan mata, suara ponsel yang seakan menjerit di telinga seketika membangunkannya. Calvin meraba ponsel di saku celana, nama Devil sang sahabat tertera di layar, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?" tanya Calvin dengan malas sambil memijat lembut pangkal hidung."Kau di mana? Aku ingin berkonsultasi," balas Devil di seberang sana."Kau di mana?" bukan jawaban, tapi Calvin justru melempar pertanyaan yang sama dengan yang Devil tanyakan."Tentu saja aku di club," sahut Devil."Aku ke sana sekarang!" seru Calvin memutuskan panggillan sepihak. Dokter tampan itu segera bangkit, meraih kunci mobil dan melesat pergi begitu saja tanpa membe
Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t