Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t