"APA!? BANYAK!?" Nana langsung menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya.
"Aku dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi," Calvin mengingatkan."Oh iya ... Pantas saja kamu tidak kaget melihatku begini, apalagi ukuranku terlalu mini, sama sekali tidak menarik di matamu," Nana merasa tak pantas, apalagi saat membandingkan kedua gundukannya dengan Cleona, sahabat sekaligus pujaan hati suaminya. Nana semakin tertunduk lesu saat Calvin sama sekali tak menyangkal ucapannya."Seberapa banyak wanita yang pernah kamu lihat?" tanya Nana penasaran."Tidak banyak, hanya dalam kondisi mendesak saja. Sekarang berbaliklah, aku akan menyabuni tubuh bagian depanmu," pinta Calvin dan Nana langsung merebut spons di tangan suaminya."Keluarlah, selanjutnya biarku lakukan sendiri.""Tapi—""Aku baik-baik saja," tekan Nana dan Calvin pun segera keluar dari kamar mandi.Tiba di luar, Calvin menjatuhkan tubuhnya ke lantai, hampir ia mati berdiri di dalam sana. Berbagai macam bentuk sudah pernah ia lihat, tapi Calvin dapat bersikap profesional. Namun, hal itu tidak berlaku pada Nana. Sungguh ia hanya melihat tubuh polos bagian belakang Nana, tapi sudah cukup membuatnya hampir kehilangan nyawa karena harus menahan nafsu yang membuncah."Kenapa duduk di sana?" tanya Nana yang baru keluar dari kamar mandi."Tidak apa-apa, sekarang kenakan pakaianmu, aku akan ambilkan obat," kata Calvin melesat pergi. Nana tak bisa menahan bibir yang tertarik lebar.Tak lama setelah Nana mengenakan gaun seksinya, Calvin datang dengan membawa lengkap peralatan medisnya. Calvin tak mempermasalahkan gaun malam seksi yang kini melekat di tubuh istrinya."Berbaringlah," titah Calvin, Nana berbaring dengan patuh. Calvin mulai memeriksa kondisi kesehatan sang istri."Hanya asam lambung, kan?" tanya Nana memastikan sakitnya."Sejak kapan kamu sering telat makan," tanya Calvin mengintrogasi."Semenjak ayah jatuh sakit," jawab mengingat-ingat. Ia adalah tipe gadis yang memang sering mengabaikan makan jika tak diingatkan."Kamu tahu sendiri biaya pengobatan ayah tidaklah sedikit. Jangankan buat makan, sekolah saja terpaksa berhenti. Beruntung aku dipertemukan dengan tuan Castin yang memberikan pekerjaan di saat aku sangat membutuhkannya. Meski sudah berjuang, tapi takdir berkata lain, ayah tetap pergi meninggalkanku," tutur Nana dengan ekspresi yang biasa saja, tak terlihat sedih sama sekali. Tampaknya Nana benar-benar telah mengikhlaskan kepergian ayahnya tercinta.Berbeda dengan Calvin, pria sejati pantang menangis itu kini berusaha membendung air mata. Nana pasti akan sangat membencinya kalau tahu bahwa perjuangannya sia-sia karena kecerobohan dirinya sebagai seorang dokter."Maaf," ucap Calvin tiba-tiba."Untuk apa? Kalau ayah meninggal karena kesalahanmu, baru minta maaf," balas Nana mengalihkan pandangan dengan senyuman kecil di bibirnya.Deg!Jantung Calvin berdetak semakin kencang, suhu tubuhnya tiba-tiba naik drastis, rasa bersalah mulai menghantui."Kalau seandainya benar begitu, apa kamu akan memaafkanku?""Membayangkannya membuat perutku semakin nyeri," Nana sengaja mengalihkan pembicaraan."Minum obatmu," Calvin membantu Nana meminum pilnya."Aku tidak masalah sakit begini asalkan kamu perhatian," batin Nana senang."Makanlah, setelah itu langsung istirahat. Kalau terjadi sesuatu panggil saja aku," kata Calvin segera kembali ke kamarnya untuk istirahat."Apa tidak bisa tetap di sini temani aku?" Nana menahan pergelangan tangan Calvin agar tak pergi meninggalkannya sendiri di kamar."Ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan malam ini juga," balas Calvin kembali melangkah untuk pergi.Maafkan aku, Nana. Maafkan suamimu yang tidak berguna ini. Jangan pergi, aku mohon jangan pergi, kamu mau aku lebih perhatian, lebih peduli padamu, kan? Akan aku lakukan asalkan kan jangan pergi. Aku berjanji akan melakukan apa pun yang kamu mau.Nana menyetel suara dari video yang ia rekam. Mendengar itu, Calvin menghentikan langkah, kemudian membalikkan badan menatap Nana yang kini tersenyum licik."Kamu berjanji akan melakukan apa pun yang aku mau. Apa ini cukup untuk menahanmu tetap di sisiku malam ini?"Malam itu, untuk pertama kalinya pasangan suami istri Calvin dan Nana tidur di atas satu ranjang yang sama, tapi sayang adegan yang dinanti oleh para pembaca tidak terjadi.***"Aku yakin dokter Calvin tergoda, hanya saja dia menahan diri karena kamu sedang sakit. Apa lagi kamu punya kartu as-nya, pria sejati seperti dokter Calvin pasti tipe pria yang memegang teguh janjinya," terang Cleona dengan serius."Waktuku tersisa 28 hari lagi, kalau begini terus bagaimana aku bisa hamil?" Nana mengusap kasar wajah dengan kedua telapak tangan. Nana kehabisan ide, ia tak menyangka misinya amatlah sulit, tak semudah yang ia bayangkan."Salahmu juga, dikasih 2 bulan, sok-sok'an bisa hamil dalam 1 bulan. Tapi kenapa tidak coba gunakan obat perang sang saja?" Cleona memberi saran."Suamiku dokter Calvin, Cleona. Jangankan penawar untuk obat perangsang, penawar untuk racun mematikan sekali pun dia punya dan bahkan tahu cara membuatnya," balas Nana pasrah, suaminya terlalu jenius untuk dibodohi."Kamu benar, trik sederhana itu tidak akan berhasil menipu Calvin," sahut Cleona ikut bingung memikirkan nasib malang sang sahabat. Jelas lawan Nana bukan sembarang lawan, gerak gerik Nana pasti sudah terbaca dengan mudah.Lenggang beberapa saat, Nana dan Cleona saling diam di hadapan makan siang mereka yang kini terabaikan."Kenapa kamu tidak coba minta bantuan Tente Elsa? Kalau pun tidak dapat saran, setidaknya dia bisa mengulur sedikit waktu,"Mendengar saran sang sahabat, Nana tersenyum lebar. "Ide bagus!" seru Nana penuh semangat.Pulang sekolah Nana tak langsung pulang ke rumah, melainkan berkunjung ke rumah super mewah mertuanya. Kedatangan Nana tentu saja disambut hangat oleh Elsa."Duduklah sayang," wanita paruh baya itu menuntun menantunya hingga duduk dengan nyaman di sofa empuk ruang keluarga."Bagaimana sayang? Kamu dan Calvin pasti sudah buatkan mama cucu, bukan?" pertanyaan Elsa membuat Nana menundukkan wajahnya dalam. Elsa langsung mendekat dengan ekspresi wajah khawatirnya."Jangan bilang—""Nana tidak mau bercerai dari Calvin, Ma. Tapi ternyata sangat sulit, Calvin belum siap meniduri Nana," tuturnya mengangkat wajah, memperlihatkan kedua mata yang telah berlinang air mata.Mendengar ungkapan Nana, Elsa langsung bangkit dari duduknya, ia mondar-mandir dengan ekspresi datarnya. Nana meneguk saliva bersusah payah, mama mertuanya dapat berubah ekspresi dari lembut menjadi keras dalam waktu singkat."Bagaimana pun caranya kamu harus bisa luluhkan pertahanan Calvin," Elsa menekan kalimatnya."Aku yakin aku pasti bisa, tapi kalau Calvin sibuk kerja dan aku juga harus kuliah. Kapan kami berdua punya waktu untuk buat anak?""Kamu benar," balas Elsa menganggukkan kepalanya."Untuk itulah aku butuh bantuan mama," sahut Nana memelas dengan ekspresi wajah imutnya."Bantuan? Bantuan apa?" tanya Elsa penasaran."Bulan madu."***"Heh, mau ke mana?" tahan Calvin saat Nana yang baru pulang akan masuk ke dalam kamarnya."Ya tidur bareng kamu, bukankah kita suami istri?" balas Nana dengan senyuman yang sangat memabukkan, tapi tak cukup membuat Calvin tergoda."Wisuda dulu baru boleh tidur bersama, sana pergi, kamar kamu di sebelah," usir Calvin, Nana langsung menggelengkan kepala dengan menyipit mata serta memanyunkan bibirnya."Tidak mau!" keukeuh Nana melesat masuk ke dalam kamar Calvin, kemudian menjatuhkan tubuh dengan kasar dan mendarat sempurna ke atas ranjang berukuran king size milik Calvin."Pulang-pulang langsung tiduran, bukannya mandi atau minimal ganti bajulah," protes Calvin bertolak pinggang menyaksikan kelakuan Nana yang membuatnya mengelus dada."Iya deh iya, cerewet amat suami aku," tanpa ragu Nana membuka pakaiannya satu persatu tepat di hadapan Calvin.Calvin yang kaget langsung membalikkan badan. "Astaga! Mana ada wanita seceroboh kamu, NANA!" bentak Calvin murka. Bagaimana tidak murka, kali ini ia melihat dengan jelas bagaimana bentuk tubuh polos bagian depan istrinya. Bayangan Dua buah melon berbeda ukuran serta pangkal paha yang terhimpit kini menari-nari dalam benaknya."Aku tidak punya riwayat jantung!" batin Calvin kesal sambil merasai dadanya yang kini berdegup kencang tak beraturan.Nana tersenyum senang melihat respon sang suami, ia turun dari ranjang, mendekat, dan tanpa ragu memeluk Calvin dari belakang dan Nana benar-benar menempelkan tubuh polosnya pada tubuh kekar sang suami."Meski aku bukan wanita pertama yang telan jang di hadapanmu, tapi kamu adalah laki-laki pertama yang melihatku telan jang," Nana berbisik sambil mengelus daun telinga Calvin yang memerah."Aku berani bersumpah bahwa aku tidak pernah seperti ini di depan laki-laki lain, selain kamu suamiku," elusan jemari lentik Nana semakin turun ke bawah."Berhenti menggodaku, Nana!" bentak Calvin menyingkirkan jemari Nana yang hampir menyentuh titik paling sensitif pada tubuhnya. Meski berhasil menyingkirkan jemari Nana, tapi Calvin tak bisa lepas dari pelukan sang istri. Nana justru semakin mempererat pelukannya hingga Calvin dapat merasakan tonjolan kenyal pengandung listrik bertegangan tinggi yang dapat menyengat tubuh kekar Calvin."Menggoda suami sendiri tidak boleh, apa itu artinya aku boleh menggoda laki-laki lain?" celetuk Nana membuat Calvin semakin kesal."Berhenti bicara dan pergilah!" bentak Calvin yang secepat kilat membuka jasnya, kemudian melilitkannya ke tubuh polos Nana."Baiklah, kita pergi bersama!" seru Nana meloncat-loncat kegirangan, Calvin menggunakan salah satu tangan untuk menutupi tonjolan di pangkal pahanya. Jasnya tak cukup besar untuk menutupi seluruh bagian sensitif Nana yang rupanya begitu indah dengan ukuran yang jauh lebih besar dari prediksinya."Kusangka apel, tapi ternyata melon," batin Calvin menelan saliva bersusah payah. Pepaya jumbo Cleona memang langka, tapi melon Nana tak kalah menggoda."Sialan! Apa yang aku pikirkan!" batin Calvin membentak dirinya sendiri."Pergi bersama? Apa maksudmu?" tanya Calvin tak mengerti."Ini surat cutimu dari papa dan ini tiket bulan madu kita berdua, Yeay!" sorak Nana kembali melompat heboh."NANAA!""Keluar sekarang juga!" usir Calvin dengan tegas."Baiklah, kita lanjutkan saat bulan madu," Nana tersenyum manis, kemudian bergegas keluar dari kamar suaminya."Sial!" umpat Calvin menjatuhkan tubuh dengan kasar ke atas ranjang, ia menghela napas hingga berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu.Baru beberapa detik Calvin memejamkan mata, suara ponsel yang seakan menjerit di telinga seketika membangunkannya. Calvin meraba ponsel di saku celana, nama Devil sang sahabat tertera di layar, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?" tanya Calvin dengan malas sambil memijat lembut pangkal hidung."Kau di mana? Aku ingin berkonsultasi," balas Devil di seberang sana."Kau di mana?" bukan jawaban, tapi Calvin justru melempar pertanyaan yang sama dengan yang Devil tanyakan."Tentu saja aku di club," sahut Devil."Aku ke sana sekarang!" seru Calvin memutuskan panggillan sepihak. Dokter tampan itu segera bangkit, meraih kunci mobil dan melesat pergi begitu saja tanpa membe
Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t