"Apa ayah meninggal karena kesalahan dokter?" potong Nana mengintrogasi.
Calvin panik, ia belum siap mengungkap fakta sebenarnya. Bukan takut dibenci Nana, tapi takut Cleona membencinya.Melihat dokter Calvin membatu, Nana menghela napas kasar kemudian kembali melanjutkan ucapannya, "Selagi ayah meninggal bukan karena kesalahan dokter, dokter tidak perlu merasa bersalah. Nana tahu dokter sudah melakukan yang terbaik, mulai sekarang Nana akan belajar mengikhlaskan kepergian ayah," tutur Nana dengan senyuman kaku yang dipaksakan."Bodoh! Nana tidak sepandai itu untuk tahu yang sebenarnya dalam waktu singkat. Hampir saja aku membuka kartu as sendiri," batin Calvin yang tanpa sadar meremehkan Nana."Terima kasih, tapi keputusan saya sudah bulat. Saya akan tetap menikahi kamu," sambung Calvin mengungkap kalimatnya dengan penuh keseriusan.Meski sudah mendengar sebelumnya, tapi tetap saja Nana tak bisa mengontrol garis bibirnya yang tertarik lebar."Dokter Calvin itu ibarat langit yang tak akan pernah Nana gapai. Sepertinya doa ayahlah yang mampu menembus langit itu. Dilamar langsung oleh Dokter Calvin menjadikan Nana sebagai gadis paling beruntung sedunia. Kalau saja ayah masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia," balas Nana yang tampak begitu gembira walau dengan mata berkaca-kaca, berbeda dengan Calvin yang justru tersenyum kecut."Maafkan aku, Nana."***Esok harinya.Di kampus."Kamu serius terima lamaran dokter Calvin?" bisik Cleona dengan mata yang tetap fokus pada dosen yang menjelaskan pelajaran di depan sana."Kenapa tidak?" balas Nana santai, meski ia tahu kalau dokter Calvin masih menyukai Cleona."Entahlah, tapi aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan," sambung Cleona lagi."Benarkah?" sahut Nana tak terlihat penasaran."Cleona, Nana, lanjutkan perbincangan kalian di luar!" tegas sang dosen bertolak pinggang. Tahu salah, Cleona dan Nana memilih keluar dari kelas."Sepertinya itu dosen lupa kalau kamu istrinya Prince Castin Afson!" geram Nana tak terima mendapat hukuman."Sudah, tidak perlu diperpanjang. Bukankah enak di luar, tidak perlu belajar," sahut Cleona yang tampaknya telah tertular bejatnya Nana."Nona Cleona, Nona benar-benar sahabat saya!" seru Nana sambil membungkukkan badan memberi hormat persis seperti saat ia masih menjadi bodyguardnya Cleona."Bagaimana kalau kita ke kantin?" lanjut Nana sambil memegang perutnya yang keroncongan."Ide bagus," balas Cleona setuju. Awal-awal Cleona terus di bully dan kerap kali mendapatkan perlakuan tak adil. Tapi semenjak ada Nana, siapa yang berani mengganggunya? Meski ber-IQ rendah, tapi dalam hal bela diri Nana dapat diandalkan.Sepulang sekolah, seperti biasa Nana langsung pergi ke rumah sakit untuk membantu calon suaminya bekerja. Di rumah sakit, Nana ditempatkan sebagai suster yang tugasnya membantu Calvin. Nana tak sendiri karena ada suster Maria yang ditugaskan Calvin untuk membantu Nana apabila mengalami kesulitan. Meski suster Maria baik padanya, tapi entah kenapa Nana tak menyukainya."Mulai sekarang kamu tidak perlu lagi ke sini," kata Calvin yang duduk penuh wibawa di kursi kebesarannya."Biar tidak ada yang ganggu kalau lagi didekatin sama dokter Dona?" sambung Nana yang telah siap dengan seragam oka berwarna hijau."Bukan itu maksud saya," balas Calvin dengan penuh kesabaran."Lalu apa?" tanya Nana tanpa menoleh. Ia memperlihatkan ekspresi cemburu yang menakutkan."Nilaimu terlalu buruk," jawab Calvin membuat Nana memutar mata jengah, ia benar-benar kesal kalau sudah membahas tentang nilai."Apa pun yang terjadi, aku akan tetap menemani dokter bekerja, titik!" keukeuh Nana tak ingin mengalah. Calvin memijat pangkal hidung yang tiba-tiba terasa berdenyut. Berhadapan dengan banyak pasien seharian tak membuatnya lelah, tapi bicara beberapa detik dengan Nana amatlah melelahkan."Oh iya, bagaimana persiapan pernikahan kita? Sudah berapa persen?" pertanyaan Nana kali ini membuat Calvin terdiam. Sial, bagaimana ia bisa melupakan hal sepenting itu? Dia yang ingin menikahi Nana, dia pula yang lupa. Sekarang apa yang akan dia katakan? Jangankan persiapan pernikahan, Calvin saja belum memberi tahu kedua orangtuanya bahwa ia akan menikah."70%, tidak lama lagi akan selesai," jawab Calvin asal, tapi Nana terlihat sangat senang. Calvin merasa bersalah."Benarkah?" Nana bertanya antusias, Calvin menjawab dengan anggukan kepala."Oh iya, malam ini aku akan membawamu ke rumah," lanjut Calvin tetap menyibukkan diri dengan dokumen-dokumen pasiennya."Biasanya juga begitu," lanjut Nana tak heran."Maksudku rumah papa dan mama," jelas Calvin membuat Nana terdiam."Rumah mertua?" seketika raut wajah Nana berubah. Ia memang menanti masa itu, tapi ia khawatir. Khawatir kedua orangtua Calvin membencinya. Perbedaan strata sosial membuatnya kehilangan kepercayaan diri.Selesai bertugas, Calvin tak langsung membawa Nana menemui kedua orangtuanya. Ia membawa Nana pulang ke rumahnya terlebih dahulu."Sepertinya gaun ini terlalu terbuka untuk bertemu dengan calon mertua, sebentar aku ganti dulu," kata Nana untuk yang ke empat kalinya. Calvin kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa karena lelah menunggu Nana yang tak sudah-sudah.Ceklek!Pintu kamar kembali terbuka, Calvin memilih untuk tetap duduk di sofa."Bagaimana?" Nana memutar tubuh hingga dress selutut berwarna hitam mekar begitu indah di tubuhnya yang memiliki porsi ideal. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Tak hanya proporsi tubuh yang menjadi pusat perhatian, tapi visual wajah Nana tak kalah sempurnanya. Rambut bergelombang yang terurai serta make up tipis membuat penampilan Nana malam itu seakan tak ada tandingnya. Nana tampil dengan baik, ia tak akan membuat malu calon suaminya.Sayangnya penampilan sempurna Nana tak cukup memikat Calvin. Dokter tampan itu tak bisa membohongi hatinya. Lihatlah bagaimana ia terus menatap Nana, bukan karena kagum, melainkan sibuk mencari sosok Cleona di dalam diri Nana. Tak bisa dipungkiri, Calvin tetap mencintai Cleona mantan pasiennya yang kini telah menjadi istri sahabat dekatnya, Castin Afson.Mustahil ada Cleona di dalam diri Nana, karena keduanya begitu bertolak belakang. Cleona yang lembut dan selalu mengalah, sementara Nana begitu bar-bar serta pantang menyerah. Sampai kapan pun, Calvin tak akan menemukan sosok Cleona dalam diri Nana."Lebih baik daripada pakaian tradisional dan gaun seksi sebelumnya," balas Calvin dengan santai. Nana jelas terpesona, bisa dibilang baru kali ini ia melihat Calvin mengenakan setelan jas formal berwarna hitam. Meski sama-sama tampan, tapi aura yang dipancarkan jelas berbeda. Dengan jubah putih Calvin tampak tampan berwibawa, tapi dengan jas hitam Calvin sangat mendominasi persis seperti karakter CEO dalam novel yang biasanya Nana baca."Kita berangkat sekarang?" Nana bertanya penuh antusias meski bibir yang kering menjadi penanda bahwa ia sangat grogi. Calvin mengangguk asal dan melangkah lebih dulu, Nana menyusul dengan semangat hingga sampailah mereka di dalam mobil.Selama di perjalanan, Nana terus bertanya seperti apa sosok kedua mertuanya, Calvin mengabaikan pertanyaannya, tapi terus memperingati Nana untuk menjaga sikap.Beberapa menit perjalanan, mobil pun berhenti tepat di depan sebuah mansion mewah bergaya kastil. Nana menelan saliva bersusah payah, kegugupan serta kepanikan semakin melanda. Nana takut mertuanya kejam seperti di novel-novel."Ayo masuk," ajak Calvin lagi-lagi mendahului Nana. Beruntung Nana memiliki kaki yang panjang hingga ia tak akan ketinggalan jauh.Nana melangkah sambil menatap kagum setiap sudut rumah yang indah. Rumah bangsawan Oesteria memang tiada duanya, rumah itu tak kalah indahnya dengan mansion milik prince Castin Afson.Saking asiknya mengagumi interior rumah, Nana sampai kaget saat Calvin memintanya untuk duduk. Dengan senyuman kecut, Nana duduk di sebelah Calvin, tepat di hadapan wanita dan pria paruh baya kini menatapnya dengan tajam. Meski sedikit menakutkan, tapi Nana berusaha untuk tetap tersenyum dengan lebar."Calvin, papa ingin bicara denganmu," suara bijaksana memecah lenggang. Calvin pun bangkit dari duduknya, kemudian melangkah mengekori ayahnya menuju ruang kerja di ujung sana. Calvin bahkan tak peduli pada Nana yang menatapnya tak percaya. Nana kaget karena Calvin begitu tega meninggalkannya sendiri di ruang makan. Tidak, ia tak sendiri karena ada sang ibu mertua yang masih menatapnya tajam."Perkenalkan nama saya Nana Calista, usia 19 tahun dan saya—""Cukup!" potong wanita paruh baya di hadapannya. Nana pun tak lagi nyerocos dan kembali duduk dengan anggunnya."Kamu hamil?" tanya sang calon mertua tiba-tiba, Nana langsung mengangkat wajah dengan mata membulat sempurna."Kamu hamil?" tegasnya mengulang pertanyaan, Nana pun menggelengkan kepala dengan jujur.Brak!Nana kaget setengah mati saat calon mertua bangkit sambil menggebrak meja makan dengan kuat. Nana menundukkan wajah takut. "Tamatlah riwayatku," monolog Nana seorang diri."Lepaskan putraku!""Lepaskan putraku!" bentak Elsa menekan kalimatnya dengan murka. Nana tercengang dengan muka memerah, terlalu tak menyangka kalau apa yang ia pikirkan benar-benar menjadi kenyataan. Ibu mertuanya adalah sosok yang kejam dan tak berperasaan.Nana menggelengkan kepala guna menyadarkan diri. Sebagai seorang wanita kuat dan tak lemah, tentu Nana tak akan mengikuti perintah calon mertuanya begitu saja."Saya—""Lepaskan Calvin kalau kau tak sanggup memenuhi syarat dariku," potongnya mengubah ekspresi secepat kilat, kini Elsa tampak kembali tenang, tak menggebu-gebu seperti saat menggebrak meja tadi."Syarat?" Nana penasaran."Iya, sebuah syarat," jawabnya tersenyum licik."Apa syaratnya?" tantang Nana tak mau kalah, apa pun akan ia lakukan demi menjadi istri pujaan hati. Tinggal selangkah lagi ia akan menjadi istri sah pujaan hati, mana mungkin ia menyerah hanya karena ibu mertua yang kejam. Lagipula ia bukan karakter wanita lemah dalam novel favoritnya. "Kuberi waktu dua bulan, kalau kau
Hari yang Nana tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana ia akan menjadi istri sah dari pria yang sangat ia cintai. Impiannya selama ini akan menjadi kenyataan.Pagi-pagi sekali Nana sudah bangun, MUA langsung meriasnya dengan natural, MUA juga membantu mengenakan gaun pengantin hingga kini Nana pun siap dengan penampilan sempurnanya."Ayah, hari ini Nana akan menikah," Nana berdiri di depan foto sang ayah yang melekat sempurna di dinding kamarnya. Nana tersenyum manis dengan setetes air mata yang langsung ia tepis."Nana sangat bahagia, Nana harap ayah juga bahagia di surga sana," monolog Nana lagi, ia berusaha membendung air mata, tak ingin terlihat menyedihkan di depan sang ayah tercinta."Nana yakin hanya dokter Calvin satu-satunya pria yang pantas menjadi suami Nana. Menurut ayah bagaimana? Apakah dokter Calvin pantas menjadi menantu ayah?"Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu terdengar, Nana pun terpaksa menyudahi perbincangan dengan foto ayahnya."Iya!" seru Nana mengangkat ujung
"Dokter Calvin," panggil Nana menatap kagum sang suami yang duduk tepat di sebelahnya."Mulai sekarang panggil namaku saja," balas Calvin tanpa menoleh dan tetap fokus membelah jalan raya."Nana ingin mengatakan sesuatu.""Apa?" perasaan Calvin mulai tak enak."Nana mau punya anak. Boleh, ya," tekan Nana, saking kagetnya Calvin menginjak rem mendadak. Beruntung mobilnya canggih hingga Nana sang istri tak terluka meski keningnya terbentur."Aku masih hidup?" tanya Nana sambil memegangi keningnya yang terbentur."Apa kamu pikir mengandung, melahirkan dan mengurus anak itu mudah? Ada ngidam dengan segala drama, melahirkan bertaruh nyawa hingga baby blues syindrome. Dengarkan aku baik-baik, kita baru saja menikah, tolong jangan bahas sampai ke sana. Lebih baik kamu fokus benahi nilaimu yang berantakan," terang Calvin dengan nada suara yang meninggi. Nana mulai kebal dengan ejekan Calvin terhadap nilainya. "Lagian aku akan menceraikanmu bila kamu sudah menemukan cinta sejati," lanjut Calv
"Mau pulang bersama?" tawar Nana."Berlawanan arah, Na. Lagi pula kamu mau pergi ke rumah sakit, kan?" balas Cleona mengingatkan."Oh iya, yasudah kalau gitu aku duluan," kata Nana melesat pergi dengan menggunakan motor matiknya. Nana memang sangat bersemangat ke rumah sakit, karena ada hal penting yang harus dilakukan di sana.Beberapa menit perjalanan, Nana pun tiba di rumah sakit. Ia langsung bergegas menuju ruang kerja suaminya. Saat masuk ke dalam ruangan, Nana tak melihat keberadaan Calvin, yang ada justru suster Maria yang tengah mengganti alas brankar."Nana," sambut suster Maria dengan senyuman manisnya."Di mana Calvin?""Baru saja berangkat makan siang berdua dengan dokter Dona," balas suster Maria dengan ekspresi sedih yang seakan tak ingin mengatakannya kepada Nana. mendengar itu, Nana tampak diam."Kamu baik-baik saja?" suster Maria memastikan."Kamu pikir aku akan apa?" kesal Nana mengambil seragam susternya dengan cepat, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk bergan
"APA!? BANYAK!?" Nana langsung menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya."Aku dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi," Calvin mengingatkan."Oh iya ... Pantas saja kamu tidak kaget melihatku begini, apalagi ukuranku terlalu mini, sama sekali tidak menarik di matamu," Nana merasa tak pantas, apalagi saat membandingkan kedua gundukannya dengan Cleona, sahabat sekaligus pujaan hati suaminya. Nana semakin tertunduk lesu saat Calvin sama sekali tak menyangkal ucapannya."Seberapa banyak wanita yang pernah kamu lihat?" tanya Nana penasaran."Tidak banyak, hanya dalam kondisi mendesak saja. Sekarang berbaliklah, aku akan menyabuni tubuh bagian depanmu," pinta Calvin dan Nana langsung merebut spons di tangan suaminya."Keluarlah, selanjutnya biarku lakukan sendiri.""Tapi—""Aku baik-baik saja," tekan Nana dan Calvin pun segera keluar dari kamar mandi.Tiba di luar, Calvin menjatuhkan tubuhnya ke lantai, hampir ia mati berdiri di dalam sana. Berbagai macam bentuk sudah pernah ia lihat, t
"Keluar sekarang juga!" usir Calvin dengan tegas."Baiklah, kita lanjutkan saat bulan madu," Nana tersenyum manis, kemudian bergegas keluar dari kamar suaminya."Sial!" umpat Calvin menjatuhkan tubuh dengan kasar ke atas ranjang, ia menghela napas hingga berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu.Baru beberapa detik Calvin memejamkan mata, suara ponsel yang seakan menjerit di telinga seketika membangunkannya. Calvin meraba ponsel di saku celana, nama Devil sang sahabat tertera di layar, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?" tanya Calvin dengan malas sambil memijat lembut pangkal hidung."Kau di mana? Aku ingin berkonsultasi," balas Devil di seberang sana."Kau di mana?" bukan jawaban, tapi Calvin justru melempar pertanyaan yang sama dengan yang Devil tanyakan."Tentu saja aku di club," sahut Devil."Aku ke sana sekarang!" seru Calvin memutuskan panggillan sepihak. Dokter tampan itu segera bangkit, meraih kunci mobil dan melesat pergi begitu saja tanpa membe
Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t