Hari yang Nana tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana ia akan menjadi istri sah dari pria yang sangat ia cintai. Impiannya selama ini akan menjadi kenyataan.
Pagi-pagi sekali Nana sudah bangun, MUA langsung meriasnya dengan natural, MUA juga membantu mengenakan gaun pengantin hingga kini Nana pun siap dengan penampilan sempurnanya."Ayah, hari ini Nana akan menikah," Nana berdiri di depan foto sang ayah yang melekat sempurna di dinding kamarnya. Nana tersenyum manis dengan setetes air mata yang langsung ia tepis."Nana sangat bahagia, Nana harap ayah juga bahagia di surga sana," monolog Nana lagi, ia berusaha membendung air mata, tak ingin terlihat menyedihkan di depan sang ayah tercinta."Nana yakin hanya dokter Calvin satu-satunya pria yang pantas menjadi suami Nana. Menurut ayah bagaimana? Apakah dokter Calvin pantas menjadi menantu ayah?"Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu terdengar, Nana pun terpaksa menyudahi perbincangan dengan foto ayahnya."Iya!" seru Nana mengangkat ujung gaun, kemudian melangkah dengan cepat menuju pintu kamar. Sepersekian detik kemudian, Nana membuka pintu hingga tampaklah sosok tampan yang tak pernah gagal dalam hal penampilan. Hari itu dokter Calvin tampak berkali-kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Padahal, tak banyak yang berubah. Setelan jas seperti biasa selalu melekat sempurna di tubuh kekarnya. Nana terperangah, menatap Calvin tak percaya. Tak percaya kalau sebentar lagi dokter Calvin yang selama ini ia kagumi akan menjadi miliknya."Sudah siap?" tanya Calvin dengan ekspresi datarnya."Sangat siap!" seru Nana menahan haru."Kita berangkat," ajak Calvin melangkah lebih dulu, seperti biasa Nana mengekor di belakangnya dengan raut wajah kekecewaan."Di kebanyakan novel, pengantin pria akan terpesona melihat penampilan pengantin wanita, tapi kenapa ini kebalikannya? Perasaan aku juga cantik, tak kalah cantik dari nona Cleona, tapi kenapa dia tidak bisa melihatku sebagai wanita?" protes Nana dalam hati."Mentang-mentang aku bisa bela diri, apa dia kira aku ini wanita jadi-jadian?" lanjut Nana semakin kesal."Haruskah aku telan jang di hadapannya? Ck! Lihat saja nanti malam," Nana terus mengumpat guna meluapkan kekesalannya, tapi lagi-lagi hanya di dalam hati. Ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya di depan Calvin. Nana takut, takut Calvin berubah pikiran dan membatalkan pernikahan. Sungguh dia telah mengalami mimpi buruk yang amat mengerikan."Kau kenapa?" tanya Calvin dengan alis yang berkerut."Ti-tidak apa-apa, hanya sedikit gugup," balas Nana tersenyum kecut."Pakai safety belt-mu," titah Calvin, Nana pun menganggukkan kepala dan langsung mengenakan safety belt-nya. Begitu Nana siap, Calvin mulai tancap gas menuju sebuah gereja yang tak jauh dari apartemen.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan pintu masuk gereja. Nana menghela napas berat, kemudian barulah ia keluar dari mobil, menyusul Calvin yang telah masuk lebih dulu. Saat memasuki pintu utama gereja, Calvin tampak menghentikan langkahnya, sepertinya ia kaget dengan kehadiran kedua orang tua serta sahabat dekatnya. Siapa lagi kalau bukan Castin yang datang bersama Cleona istrinya, Elmer yang juga datang bersama istrinya yang telah hamil besar yaitu Dara, dan tak ketinggalan Devil yang datang seorang diri alias tanpa pendamping.Melihat kedatangan Calvin dan Nana, mereka semua pun langsung berdiri dengan senyuman gembira, kecuali Arvin yang terlihat begitu tegang. Sementara Elsa yang berdiri paling depan, tampak memberikan kode kepada sang putra agar mulai melangkah menuju altar untuk segera mengucapkan janji suci.Melihat Calvin bengong, Nana pun dengan penuh keberanian melingkarkan tangan di lengan kekar Calvin, kemudian menuntun Calvin untuk melangkah dengan perlahan menuju altar. Calvin dan Nana mulai melangkah perlahan, beberapa tamu yang hadir mulai bertepuk tangan. Elsa, Cleona dan Dara melempari kelopak bunga.Ketika sampai di hadapan pendeta, Nana tampak gembira, berbeda dengan Calvin yang justru gelisah. Apalagi saat mengingat senyuman tulus Cleona saat menatapnya tadi."Siap?" tanya pendeta."Siap!" seru Nana, tapi tidak dengan Calvin. Pendeta mulai menuntun Calvin dan Nana mengucapkan janji suci yang sakral. Begitu selesai mengucapkan janji suci, Calvin dan Nana pun telah sah menjadi pasangan suami istri, baik secara agama dan juga hukum negara."Ciiuuumm!" teriak Elsa memprovokasi, membuat semuanya ikut meneriaki hal yang sama, kecuali Arvin.Calvin tampak menggenggam tangan erat saat melihat Cleona memintanya untuk mencium Nana. Sementara Nana tersenyum malu, tapi tanpa malu-malu ia mendekatkan wajahnya ke wajah Calvin. Baru saja akan maju, tiba-tiba Calvin menarik pinggang rampingnya dengan gerakan cepat, mendekapnya dengan erat, mendekatkan wajah sekilat, dan kemudian....***"Selamat atas pernikahanmu, Nana," ucap Dara sambil mengulurkan tangan, Nana menyambut tanpa ekspresi."Terima kasih," balasnya dengan datar. Bukan marah pada Dara, tapi kesal pada kejadian tadi."Kamu kenapa, Na?" tanya Cleona bingung melihat ekspresi sang sahabat yang sedari tadi tampak tidak baik-baik saja."Kesal!" ketus Nana."Sama?""Dokter Calvin-lah, bisa-bisanya dia cium aku karena kamu," gerutunya menoleh Cleona sekilas, kemudian kembali menatap tajam sang suami yang tengah berbincang dengan Castin, Elmer, Devil dan juga Elsa. Sementara Arvin sudah pulang duluan."Maksud kamu apa, Na? Kenapa aku?" Cleona sama sekali tak mengerti."Udah ah, nggak mau bahas. Lebih baik kita makan sekarang, aku lapar," ketus Nana memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan kasar. Dara yang juga sudah kelaparan mulai menarik salah satu hidangan kesukaan, kemudian melahapnya rakus."Kamu kapan lahirannya, Dara?" tanya Cleona penasaran kala melihat perut Dara yang sudah turun. Nana juga menatap Dara penasaran, tampaknya ia tak sabar ingin memiliki keponakan."Aku tidak tahu," jawab Dara dengan mulut penuhnya."Loh, emang kamu belum periksa kandungan?" balas Cleona dengan alis yang bertaut.Dara pun menganggukkan kepala kemudian berkata, "Elmer sibuk, ada banyak kasus yang harus dipecahkan," jawabnya memaklumi profesi sang suami yang tak lain adalah seorang jendral."Kan ada aku dan Cleona, kita bisa kok temani kamu ke rumah sakit," sahut Nana geram dengan Dara yang memang tidak pernah ingin menyusahkan siapa pun."Nggak apa-apa, kok. Lagian aku merasa baik dan sehat-sehat saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas Dara membuat Cleona dan Nana menghela napas dengan kasar."Sudah berapa bulan, nak?" tanya Elsa duduk di samping Dara, kemudian mengelus lembut perut buncit Dara."36 minggu, Tante," balas Dara tersenyum manis, ia menyudahi makannya."Wah, tidak lama lagi lahiran. Kamu harus berhati-hati," imbuh Elsa dan Dara menganggukkan kepala mengiyakan. Elsa pun berpaling, menatap sang menantu penuh arti."Banyak belajar dari Dara, Nana. Kan mama juga mau punya cucu," sarannya penuh kelembutan."Mama tidak perlu khawatir, nanti malam Nana beraksi," papar Nana berani."Bagus, sayang, mama percaya padamu. Ya sudah, kalian lanjut saja makannya, mama mau ke sana dulu," pamitnya pergi, membuat Nana menghela napas berat."Kamu serius, Na? Kamu lupa kita baru semester satu?""Itu pikirkan nanti, yang paling penting bagaimana caranya agar aku hamil secepat mungkin," sahut Nana menggebu-gebu kala mengingat persyaratan yang diberikan oleh ibu mertuanya."Kurasa itu tidak akan mudah," imbuh Cleona."Apa ini ada hubungannya dengan Tante Elsa?" tanya Dara menimpali. Nana menganggukkan kepala sebagai jawaban."Dia mendesakmu untuk memberikan cucu?" sambung Cleona dengan suara pelan, ia mendekat karena takut ada yang mendengar perbincangan mereka."Tidak hanya itu, dia bahkan mengancamku," Nana memanyunkan bibirnya dengan imut."Astaga," Dara menutup mulut dengan kedua telapak tangan."Mengancam yang seperti apa?" Cleona mengintrogasi."Kalau dalam waktu dua bulan aku belum hamil, maka aku harus menceraikan Calvin. Itu sebabnya aku harus hamil secepat mungkin karena waktuku tidak banyak," terang Nana lengkap dengan gestur serta mimik wajah khawatirnya. Cleona dan Dara kompak membulatkan mata sempurna."Bagaimana kalau program hamil?" imbuh Dara memberikan saran."Walau suamiku dokter, tapi aku akan tetap mencobanya. Terima kasih, Dara. Aku terima saran darimu," ucap Nana yakin meski ragu."Semangat, Na. Ada aku dan Dara, kami berdua pasti akan membantumu memikirkan rencana selanjutnya," sambung Cleona mengusap pundak Nana dengan penuh kasih sayang layaknya seorang saudara."Dokter Calvin," panggil Nana menatap kagum sang suami yang duduk tepat di sebelahnya."Mulai sekarang panggil namaku saja," balas Calvin tanpa menoleh dan tetap fokus membelah jalan raya."Nana ingin mengatakan sesuatu.""Apa?" perasaan Calvin mulai tak enak."Nana mau punya anak. Boleh, ya," tekan Nana, saking kagetnya Calvin menginjak rem mendadak. Beruntung mobilnya canggih hingga Nana sang istri tak terluka meski keningnya terbentur."Aku masih hidup?" tanya Nana sambil memegangi keningnya yang terbentur."Apa kamu pikir mengandung, melahirkan dan mengurus anak itu mudah? Ada ngidam dengan segala drama, melahirkan bertaruh nyawa hingga baby blues syindrome. Dengarkan aku baik-baik, kita baru saja menikah, tolong jangan bahas sampai ke sana. Lebih baik kamu fokus benahi nilaimu yang berantakan," terang Calvin dengan nada suara yang meninggi. Nana mulai kebal dengan ejekan Calvin terhadap nilainya. "Lagian aku akan menceraikanmu bila kamu sudah menemukan cinta sejati," lanjut Calv
"Mau pulang bersama?" tawar Nana."Berlawanan arah, Na. Lagi pula kamu mau pergi ke rumah sakit, kan?" balas Cleona mengingatkan."Oh iya, yasudah kalau gitu aku duluan," kata Nana melesat pergi dengan menggunakan motor matiknya. Nana memang sangat bersemangat ke rumah sakit, karena ada hal penting yang harus dilakukan di sana.Beberapa menit perjalanan, Nana pun tiba di rumah sakit. Ia langsung bergegas menuju ruang kerja suaminya. Saat masuk ke dalam ruangan, Nana tak melihat keberadaan Calvin, yang ada justru suster Maria yang tengah mengganti alas brankar."Nana," sambut suster Maria dengan senyuman manisnya."Di mana Calvin?""Baru saja berangkat makan siang berdua dengan dokter Dona," balas suster Maria dengan ekspresi sedih yang seakan tak ingin mengatakannya kepada Nana. mendengar itu, Nana tampak diam."Kamu baik-baik saja?" suster Maria memastikan."Kamu pikir aku akan apa?" kesal Nana mengambil seragam susternya dengan cepat, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk bergan
"APA!? BANYAK!?" Nana langsung menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya."Aku dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi," Calvin mengingatkan."Oh iya ... Pantas saja kamu tidak kaget melihatku begini, apalagi ukuranku terlalu mini, sama sekali tidak menarik di matamu," Nana merasa tak pantas, apalagi saat membandingkan kedua gundukannya dengan Cleona, sahabat sekaligus pujaan hati suaminya. Nana semakin tertunduk lesu saat Calvin sama sekali tak menyangkal ucapannya."Seberapa banyak wanita yang pernah kamu lihat?" tanya Nana penasaran."Tidak banyak, hanya dalam kondisi mendesak saja. Sekarang berbaliklah, aku akan menyabuni tubuh bagian depanmu," pinta Calvin dan Nana langsung merebut spons di tangan suaminya."Keluarlah, selanjutnya biarku lakukan sendiri.""Tapi—""Aku baik-baik saja," tekan Nana dan Calvin pun segera keluar dari kamar mandi.Tiba di luar, Calvin menjatuhkan tubuhnya ke lantai, hampir ia mati berdiri di dalam sana. Berbagai macam bentuk sudah pernah ia lihat, t
"Keluar sekarang juga!" usir Calvin dengan tegas."Baiklah, kita lanjutkan saat bulan madu," Nana tersenyum manis, kemudian bergegas keluar dari kamar suaminya."Sial!" umpat Calvin menjatuhkan tubuh dengan kasar ke atas ranjang, ia menghela napas hingga berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu.Baru beberapa detik Calvin memejamkan mata, suara ponsel yang seakan menjerit di telinga seketika membangunkannya. Calvin meraba ponsel di saku celana, nama Devil sang sahabat tertera di layar, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?" tanya Calvin dengan malas sambil memijat lembut pangkal hidung."Kau di mana? Aku ingin berkonsultasi," balas Devil di seberang sana."Kau di mana?" bukan jawaban, tapi Calvin justru melempar pertanyaan yang sama dengan yang Devil tanyakan."Tentu saja aku di club," sahut Devil."Aku ke sana sekarang!" seru Calvin memutuskan panggillan sepihak. Dokter tampan itu segera bangkit, meraih kunci mobil dan melesat pergi begitu saja tanpa membe
Sampai di apartemen, wajah Calvin langsung memerah dengan urat leher yang mengencang saat melihat dua buah koper berwarna biru dan pink telah tergeletak di ruang tamu.Calvin yang telah hilang kesabaran seketika melangkah cepat menuju kamar Nana sambil berkata, "Akan aku berikan apa yang kamu inginkan, tapi jangan menyesal karena aku—"Emosi Calvin yang tadinya memuncak seketika mereda saat melihat wajah tenang Nana yang tertidur pulas di atas apa ranjang. Calvin menghela napas sambil mengusap rambut hingga wajah dengan kasar. Kehilangan akal sehat membuatnya hampir melukai Nana yang seharusnya ia lindungi.Saat akan pergi kembali ke kamarnya, langkah Calvin terhenti kala mendengar rintihan pilu Nana yang memanggil ayahnya."Ayah jangan pergi, jangan tinggalkan Nana sendiri," Nana kembali merintih dengan keringat dingin yang telah membasahi rambutnya. Tak hanya keringat, Calvin dapat melihat adanya tetesan air mata yang mengalir dari sudut mata istri kecilnya.Adegan memilukan itu mem
"Kalau begitu jangan memohon ampun!" dengan emosi yang memuncak, Calvin pun tanpa sadar mendorong Nana dengan kasar. Hingga tubuh polos Nana terhentak cukup kuat."Aaaahh ... Sakitt!" pekik Nana kesakitan."Apa yang terjadi?" tanya Calvin begitu menyadari perlakuan kasarnya terhadap Nana."Kau melukaiku!" pekik Nana dengan tangisan histerisnya."Tetap di sana," Calvin berusaha menghidupkan kembali lilin yang ada di kamar. Setelah berhasil, barulah ia menelisik guna mencari keberadaan Nana. Samar-samar Calvin melihat Nana yang tergeletak di lantai dengan kening yang membengkak karena membentur sudut meja."Maaf," ucap Calvin kemudian menggendong dan membawa Nana kembali ke atas ranjang meski harus mati-matian menyingkirkan nafsu yang terus bergejolak.Sampai di atas ranjang, Nana yang kedinginan langsung membalut seluruh tubuhnya dengan menggunakan selimut. Untuk malam ini ia hanya akan fokus berpikir tentang bagaimana cara bertahan hidup. Masalah anak akan ia pikirkan nanti."Mau ke m
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"
"CASTIN!"Calvin terkejut hingga tersungkur ke belakang dengan kedua telapak tangan sebagai penopang agar tak mendarat di pasir pantai."Bagaimana bisa kau ada di sini?" Calvin bertanya dengan raut wajah kagetnya. Bagaimana ia tidak kaget setelah mengetahui bahwa sosok yang menguntitnya bukanlah orangtua atau suruhan orangtuanya, melainkan seorang pemimpin negara Oesteria, Castin Afson. Hal sepenting apa yang membuat Castin berada di pulau terpencil di mana ia dan istrinya dijebak dengan tujuan membuat anak.Bukannya menjawab rasa penasaran sang sahabat, Castin justru bangkit dengan santai kemudian memamerkan senyuman miringnya, "Sebagai pemimpin negeri ini, bukankah aku bebas berada di mana pun yang aku mau? Termasuk pulau ini.""Jangan bilang kau adalah dalang di balik semua ini," setelah dipikir-pikir, Calvin sadar bahwa sang mama tidak mungkin sejahat itu sampai tega memberikan obat perang sang kepada Nana.Sepersekian detik kemudian, Calvin tersenyum simpul karena sudah mendapatk
"Jangan menyesal karena setelah ini aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sekalipun kamu memohon padaku."Calvin mulai mendekatkan wajah hingga bibir tipisnya menempel sempurna di bibir ranum Nana. Calvin amat menikmati sensasi kenyal, hangat serta manis memabukkan. Jangan suruh ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Hanya menempelkan bibir satu sama lain Calvin sudah merasa hampir gila.Apalagi saat Nana membalasnya dengan brutal namun asal. Saking brutalnya Calvin dapat merasakan bengkak pada bibir bagian bawahnya yang digigit gemas oleh Nana. Astaga, bukankah Nana terlalu agresif?"Dosis yang Mama berikan terlalu kuat sampai Nana seperti ini. Demi cucu Mama tega hampir mencelakai Nana, ini sangat berbahaya. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai aku tidak ada?" batin Calvin yang pasrah karena saat ini Nana'lah yang menguasai permainan."Sesungguhnya dibenci olehmu lebih mengerikan daripada rasa takut ditinggalkan. Kuharap kamu tidak akan pernah tahu kronologi kematian ay
"Sekalipun melon lebih menggiurkan dibandingkan pepaya jumbo, cinta tetap tidak bisa dipaksa. Maaf karena aku masih mencintai Cleona," batin Calvin menatap Nana yang masih lahap menikmati makan malamnya.Setelah menghabiskan makan malamnya, Calvin pun membawa Nana kembali ke kamar untuk segera beristirahat karena sudah larut malam."Mau ke mana lagi?" tanya Calvin saat Nana tak melangkah ke arah ranjang."Mau ambil cd sama bra," balas Nana kembali melangkah tapi Calvin langsung menahan pergelangan tangannya."Jadi kamu terbiasa tidur dengan bra?""Ada yang salah?" balas Nana balik bertanya."Itu kebiasaan buruk dan harus diubah. Sebagai dokter kusarankan jangan gunakan bra saat tidur," kata Calvin penuh kebijaksanaan."Sebenernya aku tidak nyaman karena akan terasa geli, tapi karena suamiku yang minta maka akan aku lakukan," Nana kembali melangkah menuju ranjang dan langsung naik ke atasnya. Tubuh yang polos ia sembunyikan di balik selimut. Calvin juga menyusul karena tidak ada lagi t