Langit tidak langsung ke rumah orang tuanya, ia memutuskan untuk mencari keberadaan Tania.Bayang-bayang surat rumah sakit itu membuat Langit semakin takut. Ia merasa menjadi suami tak berguna, istri sakit saja tidak tahu. Terpukul? Jangan ditanya lagi. Melihat istrinya mengidap penyakit berbahaya sangat melukainya.“Kamu dimana, Tania?” Langit mengedarkan pandangannya, berharap bisa menemukan wanita itu.Mengunjungi beberapa tempat yang memiliki kemungkinan besar Tania ada di sana. Belum bisa melaporkan kehilangan ke pihak berwajib karena Tania belum hilang 24 jam. Langit hanya meminta bantuan beberapa orang keluarganya untuk mencari keberadaan sang istri.Hampir putus asa saat awas sudah menghitam dengan hujan deras mengguyur bumi. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore.Helaan napas berat terdengar. Lelaki itu menyugar rambutnya frustasi.Ponselnya berdering membuat sang pemilik yang sibuk dengan lamunan langsung terperanjat.“Tania.” Matanya berbinar saat melihat nama snag istri me
“Maaf.” Sella menunduk dalam, merasa bersalah.Langit menggeleng. “Aku nggak butuh kata maaf. Luna anak aku ‘kan?”Kepala ibu muda itu mendongak. “Maaf, Mas. Aku lancang ... aku kasih tahu Luna soal kamu.”Selama ini Luna selalu menanyakan keberadaan ayahnya dan Sella tidak berani buka suara, saat Langit di depan mata ia tidak ada alasan untuk menyembunyikan lagi karena Langit pun masih peduli pada Luna.“Aku kira ....” “Kamu bisa tes DNA kalau nggak percaya. Aku juga nggak akan nuntut apa-apa kalaupun kamu percaya Luna anak kamu.”“Tinggal di apartemenku, Luna butuh tempat yang layak. Biar aku menebus beberapa tahun ini karena nggak ada di samping dia. Dia anakku, dia berhak dapat apa yang anak-anakku lain dapatkan, Sella. Jadi tolong ... jangan egois. Aku nggak mau Luna menghabiskan masa kecil di tempat yang bagi aku nggak layak.”Langit sudah yakin dengan keputusannya untuk membiarkan Sella menempati apartemennya. Ia tidak tahu seperti apa hubungan Sella dan keluarganya sampai bis
Season ke 3Season sebelumnya kisah Alinea, anak pertama Bagas dan Nilam. Di kisah ini menceritakan anak kedua mereka, Azalea.***POV Azalea“Om, sudah dong. Aku capek nih.”“Sebentar lagi, sayang.”Deg. Aku tertegun.Langkah mendadak terhenti di depan pintu kamar Jelita karena mendengar suara erangan bersahutan dari dalam kamar. Aku membawa kunci cadangan jadi bisa masuk dengan mudah.Sekali hentakan kudorong pintu itu dengan keras.“Ibu.”“Sayang.”Keduanya terperanjat dan mencoba untuk menutupi tubuh polos masing-masing yang penuh dengan peluh.Dadaku bergemuruh. Aku terdiam masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Calon suami dan putriku melakukan hal terlarang saat aku tidak ada di rumah. Seharusnya memang aku masih di luar kota untuk menyelesaikan pekerjaan tapi aku membereskan urusan lebih cepat agar bisa segera pulang dan ini yang kudapati.“Sayang, aku bisa jelasin.” Devan yang sudah mengenakan celananya, berjalan mendekat padaku.“Berhenti di situ, jangan dekati aku!”A
Jelita sudah selesai ujian sekolah sebelum kejadian itu, dia hanya tinggal menunggu kelulusan saja. Jadi tidak masalah dia tak datang ke sekolah, aku juga memberikan surat dokter ke sekolah. Surat yang menyatakan kalau Jelita harus beristirahat total.Beberapa hari lalu juga ada guru dan teman-teman Jelita yang datang.Aku tahu semua ini memang tidak akan bisa terus disembunyikan, tapi setidaknya untuk sekarang semua itu harus ditutup rapat-rapat. Aku tidak bisa melepaskan Jelita hanya bersama dengan Devan. Devan juga diusir orang tuanya saat tahu lelaki itu menghamili Jelita.“Mau makan apa? Biar ibu beli bahannya.”“Ibu mau ke pasar?” tanya Jelita dengan suara lirih, wajahnya selalu pucat seperti tidak ada tenaga karena memang susah sekali makan.“Nggak, Ibu beli di Mamang sayur yang lewat.”“Mau ayam goreng lengkuas sama sayur asam, Bu.”Aku mengangguk lalu keluar rumah menunggu tukang sayur lewat. Aku malas pergi ke pasar apalagi kalau libur seperti ini.“Pengantin baru, kok mukan
Dengan kasar aku menyeka air mata.“Maafkan aku.”Aku berbalik, masuk ke dalam kamar tidak peduli dengan apa yang dia katakan.Bun, aku lelah. Aku ingin menyerah. Sakit sekali rasanya.Tubuhku merosot ke lantai, wajah tenggelam di atas lutut yang terlipat. Menumpahkan tangis yang sebelumnya selalu kutahan.Semua ini salahku, seharusnya aku tidak usah berpikir untuk menikah lagi. Seandainya dari awal aku tidak memiliki hubungan dengan Devan pasti hidup Jelita tidak akan hancur begini.Pagi harinya aku sudah melakukan akitivitas seperti biasa, tanpa memikirkan kejadian semalam. Kalau aku terlalu baper siapa yang akan mengurus rumah ini, Jelita bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri.Devan masih tidur di sofa. Aku tidak berniat untuk membangunkannya dan memilih untuk berkutat di dapur sebelum mandi dan pergi kerja.Setelah aku selesai bersiap kerja pun Jelita masih belum keluar dari kamarnya sedangkan Devan tak terlihat lagi.Nanti juga dia akan makan saat lapar. Aku tidak menegurnya
“Jangan main-main, Devan!”Lelaki itu mengeluarkan tanda pengenal dari saku celananya.Tuhan, apa lagi ini? kenapa Devan tidak berhenti membuat ulah.Setelah tidak tinggal satu atap sekarang malah harus satu kantor. Sebelumnya Devan bekerja di perusahaan milik keluarganya, mungkin karena masalah yang ada juga dia didepak dari sana tapi kenapa harus bekerja di kantor tempatku dari sekian banyak tempat yang ada?Aku tidak mungkin mengundurkan diri karena nanti harus membayar denda karena keluar sebelum kontrak kerja selesai. Tidak mudah bagiku mendapat pekerjaan di usiaku yang sudah tidak muda lagi. Tapi kalau mau kembali ke perusahaan ayah tentu saja akan dengan senang hati disambut tapi aku tidak mau terus menyusahkan orang tuaku.“Setelah Jelita melahirkan, aku akan menceraikannya. Kita menikah ya, aku nggak mau kehilangan kamu.”“Kamu lupa aku siapa? Aku ini ibu mertuamu, tidak bisa kamu nikahi meski kamu berpisah dari Jelita,” ucapku dengan suara pelan takut ada yang mendengar.De
“Mas Haris. Dibungkus saja baksonya, kepala aku pusing banget. Pulang yuk.”Wanita yang waktu itu menghampiri. Aku masih ingat wajahnya, dia menemani lelaki yang wajahnya mirip Mas Adnan ini.Apa aku boleh berharap kalau dia memang Mas Adnan?“Iya, iya.”“Aku tunggu di depan ya, taksi online sudah datang.” Dia berlalu keluar.“Mbak, saya mohon informasinya ya.” Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan padaku. “Boleh minta nomor ponselnya?”Aku mengangguk, meraih benda pipih itu dan menuliskan nomor dan namaku di sana.“Lea.” Dia mengulum senyum menyebut namaku. “Makasih sebelumnya, semoga memang saya nggak salah orang lagi.”Salah orang lagi?Aku dibuat penasaran olehnya.Tuhan, kalau memang lelaki itu suamiku berikan aku petunjuk. Aku ingin kembali bersamanya. Memulai lembaran baru setelah hatiku babak belur dihantam masalah bertubi-tubi.Rasa tidak rela muncul saat dia pergi. Andai saja wanita itu tidak datang, kami bisa bicara lebih banyak lagi.***[Mbak, kapan ada waktu?]Senyu
POV AdnanDari pertama kali melihatnya, jantungku berdebar dan kepala ini mendadak nyeri. Di pertemuan kedua pun rasa ini masih sama. Aku sangat yakin kalau aku mengenalnya, mungkin saja orang terdekatku, bisa jadi istri, kekasih atau mungkin wanita yang kucintai.Sorot matanya juga sangat berbeda, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata.Kali ini aku sangat yakin. Dia pasti mengenalku, jika dia punya banyak bukti, maka aku akan langsung mempercayainya. Aku bahkan tidak percaya pada wanita yang mengaku sebagai tunanganku, memang dia yang beberapa tahun kebelakang menemani tapi tidak ada sedikitpun perasaan padanyaDiam-diam aku menemui Lea untuk melihat apa yang bisa dia perlihatkan padaku.Satu hal yang membuatku kaget saat seseorang tiba-tiba mengatakan aku adalah suaminya Lea. Pertanyaan yang menumpuk di dalam benak hanya kusimpan sendiri meski sangat penasaran. Aku tidak mau ditipu lagi seperti sebelumnya. Ussy membawaku bertemu dengan seseorang yang katanya me