Jelita sudah selesai ujian sekolah sebelum kejadian itu, dia hanya tinggal menunggu kelulusan saja. Jadi tidak masalah dia tak datang ke sekolah, aku juga memberikan surat dokter ke sekolah. Surat yang menyatakan kalau Jelita harus beristirahat total.Beberapa hari lalu juga ada guru dan teman-teman Jelita yang datang.Aku tahu semua ini memang tidak akan bisa terus disembunyikan, tapi setidaknya untuk sekarang semua itu harus ditutup rapat-rapat. Aku tidak bisa melepaskan Jelita hanya bersama dengan Devan. Devan juga diusir orang tuanya saat tahu lelaki itu menghamili Jelita.“Mau makan apa? Biar ibu beli bahannya.”“Ibu mau ke pasar?” tanya Jelita dengan suara lirih, wajahnya selalu pucat seperti tidak ada tenaga karena memang susah sekali makan.“Nggak, Ibu beli di Mamang sayur yang lewat.”“Mau ayam goreng lengkuas sama sayur asam, Bu.”Aku mengangguk lalu keluar rumah menunggu tukang sayur lewat. Aku malas pergi ke pasar apalagi kalau libur seperti ini.“Pengantin baru, kok mukan
Dengan kasar aku menyeka air mata.“Maafkan aku.”Aku berbalik, masuk ke dalam kamar tidak peduli dengan apa yang dia katakan.Bun, aku lelah. Aku ingin menyerah. Sakit sekali rasanya.Tubuhku merosot ke lantai, wajah tenggelam di atas lutut yang terlipat. Menumpahkan tangis yang sebelumnya selalu kutahan.Semua ini salahku, seharusnya aku tidak usah berpikir untuk menikah lagi. Seandainya dari awal aku tidak memiliki hubungan dengan Devan pasti hidup Jelita tidak akan hancur begini.Pagi harinya aku sudah melakukan akitivitas seperti biasa, tanpa memikirkan kejadian semalam. Kalau aku terlalu baper siapa yang akan mengurus rumah ini, Jelita bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri.Devan masih tidur di sofa. Aku tidak berniat untuk membangunkannya dan memilih untuk berkutat di dapur sebelum mandi dan pergi kerja.Setelah aku selesai bersiap kerja pun Jelita masih belum keluar dari kamarnya sedangkan Devan tak terlihat lagi.Nanti juga dia akan makan saat lapar. Aku tidak menegurnya
“Jangan main-main, Devan!”Lelaki itu mengeluarkan tanda pengenal dari saku celananya.Tuhan, apa lagi ini? kenapa Devan tidak berhenti membuat ulah.Setelah tidak tinggal satu atap sekarang malah harus satu kantor. Sebelumnya Devan bekerja di perusahaan milik keluarganya, mungkin karena masalah yang ada juga dia didepak dari sana tapi kenapa harus bekerja di kantor tempatku dari sekian banyak tempat yang ada?Aku tidak mungkin mengundurkan diri karena nanti harus membayar denda karena keluar sebelum kontrak kerja selesai. Tidak mudah bagiku mendapat pekerjaan di usiaku yang sudah tidak muda lagi. Tapi kalau mau kembali ke perusahaan ayah tentu saja akan dengan senang hati disambut tapi aku tidak mau terus menyusahkan orang tuaku.“Setelah Jelita melahirkan, aku akan menceraikannya. Kita menikah ya, aku nggak mau kehilangan kamu.”“Kamu lupa aku siapa? Aku ini ibu mertuamu, tidak bisa kamu nikahi meski kamu berpisah dari Jelita,” ucapku dengan suara pelan takut ada yang mendengar.De
“Mas Haris. Dibungkus saja baksonya, kepala aku pusing banget. Pulang yuk.”Wanita yang waktu itu menghampiri. Aku masih ingat wajahnya, dia menemani lelaki yang wajahnya mirip Mas Adnan ini.Apa aku boleh berharap kalau dia memang Mas Adnan?“Iya, iya.”“Aku tunggu di depan ya, taksi online sudah datang.” Dia berlalu keluar.“Mbak, saya mohon informasinya ya.” Dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan padaku. “Boleh minta nomor ponselnya?”Aku mengangguk, meraih benda pipih itu dan menuliskan nomor dan namaku di sana.“Lea.” Dia mengulum senyum menyebut namaku. “Makasih sebelumnya, semoga memang saya nggak salah orang lagi.”Salah orang lagi?Aku dibuat penasaran olehnya.Tuhan, kalau memang lelaki itu suamiku berikan aku petunjuk. Aku ingin kembali bersamanya. Memulai lembaran baru setelah hatiku babak belur dihantam masalah bertubi-tubi.Rasa tidak rela muncul saat dia pergi. Andai saja wanita itu tidak datang, kami bisa bicara lebih banyak lagi.***[Mbak, kapan ada waktu?]Senyu
POV AdnanDari pertama kali melihatnya, jantungku berdebar dan kepala ini mendadak nyeri. Di pertemuan kedua pun rasa ini masih sama. Aku sangat yakin kalau aku mengenalnya, mungkin saja orang terdekatku, bisa jadi istri, kekasih atau mungkin wanita yang kucintai.Sorot matanya juga sangat berbeda, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata.Kali ini aku sangat yakin. Dia pasti mengenalku, jika dia punya banyak bukti, maka aku akan langsung mempercayainya. Aku bahkan tidak percaya pada wanita yang mengaku sebagai tunanganku, memang dia yang beberapa tahun kebelakang menemani tapi tidak ada sedikitpun perasaan padanyaDiam-diam aku menemui Lea untuk melihat apa yang bisa dia perlihatkan padaku.Satu hal yang membuatku kaget saat seseorang tiba-tiba mengatakan aku adalah suaminya Lea. Pertanyaan yang menumpuk di dalam benak hanya kusimpan sendiri meski sangat penasaran. Aku tidak mau ditipu lagi seperti sebelumnya. Ussy membawaku bertemu dengan seseorang yang katanya me
“Mas, kalau kamu mau langsung pindah, nanti aku bicarakan sama Jelita.” Lea langsung mengalihkan pembicaraan.Ia bingung untuk menjelaskan bagaimana hubungan mereka. Masalahnya sudah terpisah selama tiga tahun dan Lea bahkan berpikir suaminya sudah tiada. Sekarang malah muncul dengan tiba-tiba. Hubungan mereka tentunya harus diperjelas lagi.Adnan mengernyit heran, tidak mengerti dengan maksud perkataan Lea.“Memang dia nggak mau kalau aku-”“Bukan begitu, Mas.”“Aku juga nggak bisa langsung pindah dan tinggal sama kalian. Aku mau cari tahu apa sebenarnya yang direncanakan oleh Ussy sampai dia memalsukan identitas dan bersandiwara sejauh ini.”Adnan sudah tidak percaya lagi pada wanita yang mengaku sebagai tunangannya itu. Mereka sudah 3 tahun bersama tapi tidak ada sedikitpun rasa.Sekarang semua keraguan itu sudah terjawab dengan jelas. Adnan merasa lebih percaya pada Lea yang sama sekali tidak diingatnya daripada percaya Ussy yang 3 tahun ini membersamainya. Bahkan Ussy membiayai h
“A-Adnan masih hidup?”“Iya, Bun. Aku nggak sengaja ketemu Mas Adnan, dia hilang ingatan.”“Kamu sudah pastikan kalau dia benar-benar Adnan? Di dunia ini bisa saja ada orang yang wajahnya sangat mirip.”“Mas Adnan sudha melakukan tes DNA sama Jelita, Bun. Hasilnya cocok. Mas Adnan juga sudah melakukan pemeriksaan jadi dia memang bukan pura-pura hilang ingatan.”Ibu tiga anak itu memeluk putrinya dengan mata memanas. ia bisa merasakan kebahagiaan bercampur sedih dari sorot mata Lea.Ia tahu betapa cintanya Lea pada Adnan sampai pernah menentang orang tuanya. Sampai saat ini rasa itu masih ada tapi Lea ragu apakah perasaannya berbalas atau hanya ia sendiri yang merindu di sini.“Biar nanti Bunda bicara pada Om Dipta, pasti punya kenalan dokter yang ahlinya.”“Aku sudah bicara sama Om Dipta, Bun. Om Dipta juga yang bantu kemarin pas tes DNA. Sekarang aku mau fokus sama kesembuhan Mas Adnan, soal hubungan kami nantinya bisa dibicarakan setelah Mas Adnan mendapatkan kembali ingatannya.” Le
Lea menyambar kunci mobil. “Aku pergi dulu ya.”“Mau kemana? Kamu baru dateng, Le.” Vika langsung berdiri.“Ada urusan penting. Beres itu aku balik kok.” Lea tidak menjelaskan lebih banyak karena ia ingin segera sampai di rumahnya.Selama perjalanan ia bahkan merasa tidak tenang karena takut nantinya Jelita sudah menceritakan semua. Lea tidak akan bisa terima kalau Adnan membencinya karena gagal mendidik Jelita. Bahkan ada harapan dalam hati kecilnya untuk kembali hidup bersama Adnan.Beberapa tahun ini Lea menggenggam lukanya sendiri, tidak ada untuk berbagi cerita. Bahkan untuk sekedar mengeluh lelah saja tidak ia lakukan pada Jelita. Lea benar-benar mengurus Jelita dengan baik, mengorbankan kebahagiaannya sendiri untuk perempuan yang sudah dianggap sebagai anaknya itu.“Ini jam kerja, Devan pasti nggak ada di rumah.” Lea merasa sedikit tenang saat ingat soal itu.Sudah bisa dipastikan jika di rumah hanya ada Jelita sendiri. Perjalanan darat ditempuhnya tentu lumayan jauh, berbeda d