POV AdnanDari pertama kali melihatnya, jantungku berdebar dan kepala ini mendadak nyeri. Di pertemuan kedua pun rasa ini masih sama. Aku sangat yakin kalau aku mengenalnya, mungkin saja orang terdekatku, bisa jadi istri, kekasih atau mungkin wanita yang kucintai.Sorot matanya juga sangat berbeda, seperti menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata.Kali ini aku sangat yakin. Dia pasti mengenalku, jika dia punya banyak bukti, maka aku akan langsung mempercayainya. Aku bahkan tidak percaya pada wanita yang mengaku sebagai tunanganku, memang dia yang beberapa tahun kebelakang menemani tapi tidak ada sedikitpun perasaan padanyaDiam-diam aku menemui Lea untuk melihat apa yang bisa dia perlihatkan padaku.Satu hal yang membuatku kaget saat seseorang tiba-tiba mengatakan aku adalah suaminya Lea. Pertanyaan yang menumpuk di dalam benak hanya kusimpan sendiri meski sangat penasaran. Aku tidak mau ditipu lagi seperti sebelumnya. Ussy membawaku bertemu dengan seseorang yang katanya me
“Mas, kalau kamu mau langsung pindah, nanti aku bicarakan sama Jelita.” Lea langsung mengalihkan pembicaraan.Ia bingung untuk menjelaskan bagaimana hubungan mereka. Masalahnya sudah terpisah selama tiga tahun dan Lea bahkan berpikir suaminya sudah tiada. Sekarang malah muncul dengan tiba-tiba. Hubungan mereka tentunya harus diperjelas lagi.Adnan mengernyit heran, tidak mengerti dengan maksud perkataan Lea.“Memang dia nggak mau kalau aku-”“Bukan begitu, Mas.”“Aku juga nggak bisa langsung pindah dan tinggal sama kalian. Aku mau cari tahu apa sebenarnya yang direncanakan oleh Ussy sampai dia memalsukan identitas dan bersandiwara sejauh ini.”Adnan sudah tidak percaya lagi pada wanita yang mengaku sebagai tunangannya itu. Mereka sudah 3 tahun bersama tapi tidak ada sedikitpun rasa.Sekarang semua keraguan itu sudah terjawab dengan jelas. Adnan merasa lebih percaya pada Lea yang sama sekali tidak diingatnya daripada percaya Ussy yang 3 tahun ini membersamainya. Bahkan Ussy membiayai h
“A-Adnan masih hidup?”“Iya, Bun. Aku nggak sengaja ketemu Mas Adnan, dia hilang ingatan.”“Kamu sudah pastikan kalau dia benar-benar Adnan? Di dunia ini bisa saja ada orang yang wajahnya sangat mirip.”“Mas Adnan sudha melakukan tes DNA sama Jelita, Bun. Hasilnya cocok. Mas Adnan juga sudah melakukan pemeriksaan jadi dia memang bukan pura-pura hilang ingatan.”Ibu tiga anak itu memeluk putrinya dengan mata memanas. ia bisa merasakan kebahagiaan bercampur sedih dari sorot mata Lea.Ia tahu betapa cintanya Lea pada Adnan sampai pernah menentang orang tuanya. Sampai saat ini rasa itu masih ada tapi Lea ragu apakah perasaannya berbalas atau hanya ia sendiri yang merindu di sini.“Biar nanti Bunda bicara pada Om Dipta, pasti punya kenalan dokter yang ahlinya.”“Aku sudah bicara sama Om Dipta, Bun. Om Dipta juga yang bantu kemarin pas tes DNA. Sekarang aku mau fokus sama kesembuhan Mas Adnan, soal hubungan kami nantinya bisa dibicarakan setelah Mas Adnan mendapatkan kembali ingatannya.” Le
Lea menyambar kunci mobil. “Aku pergi dulu ya.”“Mau kemana? Kamu baru dateng, Le.” Vika langsung berdiri.“Ada urusan penting. Beres itu aku balik kok.” Lea tidak menjelaskan lebih banyak karena ia ingin segera sampai di rumahnya.Selama perjalanan ia bahkan merasa tidak tenang karena takut nantinya Jelita sudah menceritakan semua. Lea tidak akan bisa terima kalau Adnan membencinya karena gagal mendidik Jelita. Bahkan ada harapan dalam hati kecilnya untuk kembali hidup bersama Adnan.Beberapa tahun ini Lea menggenggam lukanya sendiri, tidak ada untuk berbagi cerita. Bahkan untuk sekedar mengeluh lelah saja tidak ia lakukan pada Jelita. Lea benar-benar mengurus Jelita dengan baik, mengorbankan kebahagiaannya sendiri untuk perempuan yang sudah dianggap sebagai anaknya itu.“Ini jam kerja, Devan pasti nggak ada di rumah.” Lea merasa sedikit tenang saat ingat soal itu.Sudah bisa dipastikan jika di rumah hanya ada Jelita sendiri. Perjalanan darat ditempuhnya tentu lumayan jauh, berbeda d
“Ayah mau kemana?”“Ayah pulang dulu. Lain kali kita ketemu lagi ya.” Adnan mengusap puncak kepala Jelita dengan lembut.Sedangkan Lea masih berdiri membeku. Bahkan tidak sempat mengejar Adnan yang sudah pergi.“Bu, itu mobil siapa? Penampilan ibu juga rapih banget.”“Kamu bilang apa saja ke ayah tadi?” Lea malah menanyakan hal lain. “Kenapa ayah kamu bilang kalau ibu punya suami?” Dadanya bergemuruh, ketakutan menyelimutinya.“Tadi pas ayah datang Om Devan di rumah. Aku nggak ada pilihan selain bilang itu,” jawab Jelita dengan entengnya.Lutut Lea lemas seketika. Ia terduduk di kursi dengan lunglai.Ketakutannya terjadi juga. Baru saja ingin merajut mimpi-mimpi, sekarang malah dihempaskan begitu saja.“Kenapa kamu-”“Kalau bilang Om Devan itu suamiku aku, bagaimana tanggapan ayah nanti? Ayah pasti kecewa dan marah, Bu. Aku nggak mau itu, apalagi kalau tahu aku hamil.”Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri, ibu juga dirugikan di sini. Apa mungkin kamu juga nggak mau ibu kembali sama
“Cukup sudah selama ini kamu berpura-pura menjadi tunanganku. Aku benar-benar berterima kasih dengan kebaikan yang kamu dan orang tua kamu lakukan.”Adnan benar-benar pergi, ia tidak peduli melihat Ussy mengamuk. Bahkan melemparkan gelas sampa mengenai kepala belakang Adnan. Lelaki itu tidak memperdulikan rasa sakit di kepalanya.Sekarang tujuan lelaki itu hanya rumahnya dulu. Setidaknya ia tinggal bersama dengan keluarga aslinya. Berharap dengan tinggal di rumah penuh kenangan, ia bisa dengan cepat mendapatkan kembali ingatannya.Ia hanya memegang selembar uang berwarna biru, itu pun sisa tadi pagi saat ia pergi untuk menemui Jelita.Kamu memang salah karena menipuku. Tapi aku nggak akan mungkin lupa kebaikanmu.Menggunakan ojek online Adnan kembali ke rumahnya. Tubuhnya sampai basah karena hujan deras di tengah jalan sedangkan jas hujan hanya ada satu. Karena ingin segera sampai, Adnan sama sekali tidak peduli dengan kondisinya yang basah kuyup.Dengan tubuh menggigil, Adnan berdiri
Jantung Lea langsung berdetak kencang. Ia tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Padahal mereka sedang membahas soal Lea, tapi Adnan malah tiba-tiba menyerempet pada hal lain hingga membuat Lea salah tingkah. “Mas, kamu kesini malam-malam memang nggak dicariin?” “Kenapa malah mengalihkan pembicaraan?” Adnan malah balik bertanya. “Aku cuman bingung saja, Mas. Status kita itu sebenarnya bagaimana, kamu masih hidup sedangkan tiga tahun ini aku taunya kamu sudah meninggal.” “Berarti harus diperjelas. Aku nggak mau status kita menggantung kayak gini.” Maksudnya Mas Adnan apa ya? Apa dia mau memperjelas kalau aku dan dia nggak punya hubungan? Dia pasti lebih milih perempuan itu, apalagi dia yang menemani Mas Adnan selama beberapa tahun ini. Nggak mungkin kalau mereka nggak saling cinta. “Kita bisa bicarakan ini nanti, Mas. Kamu juga harus pulang.” Adnan mendesah pelan. “Tapi aku nggak punya tempat untuk pulang selain kesini.” “Maksud kamu, Mas?” Lea terbelalak. “Te
Aku akan memberitahunya besok. Malam ini aku tidak mau merusak kebahagiaan Mas Adnan.“Hey, kamu kenapa nangis?” Adnan mengulang pertanyaannya.“Cuman terharu saja, Mas. Aku nggak pernah bayangin bisa ketemu kamu lagi.”“Sekarang aku ada di hadapan kamu, kita bangun lagi mimpi-mimpi yang pernah tertunda. Aku akan berusaha membahagiakanmu, maaf untuk beberapa tahun yang berat kemarin. Kamu melewatinya sendiri.”“Aku kuat karena ada Jelita, Mas. kalau nggak ada dia yang bikin aku kuat, nggak tahu lagi aku serapuh apa.”Lea tersentak saat tiba-tiba Adnan memeluknya.Tidak melawan atau membalas pelukan sang suami. Terlalu kaget dengan sentuhan Adnan. Namun hatinya yang berbunga tentu tak bisa dibohongi, ia merindukan Adnan, merindukan semuanya yang ada dalam diri pria itu.Sebuah pelukan saja tidak cukup bagi Lea, ia ingin terus berada di samping suaminya
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat