Semenjak kelakuan Arka yang sangat menganggu saat di pasar malam membuat Shana enggan untuk mengajak Saka mampir ke rumah. Kini ia lebih memilih jalan-jalan keluar bersama lelaki itu. Biasanya selepas pulang kerja atau Shana yang akan datang ke cafe Saka.
Hari ini Saka mengajaknya untuk makan malam. Sejak keduanya berkomitmen tak pernah sekali pun mereka menghabiskan waktu dengan makan di tempat dan waktu yang sama. Dan Shana sangat menunggu datangnya kesempatan ini. Hubungan Shana dan Saka kini memasuki usia sebulan. Meski tak terlalu banyak waktu dipakai bersama karena kesibukan masing-masing. Shana yang kembali berkutat dengan banyak pekerjaan sembari mengurus annual event Edifice Land pun sama halnya dengan Saka yang berencana membuka usaha baru hingga keduanya mencuri-curi waktu agar bisa lebih mengenal dan mendekatkan diri. Sementara Kania sampai saat ini beluBel cafe yang bernuansa cerah itu berbunyi. Sosok perempuan dengan surai panjang hitam legam berjalan masuk dengan terburu-buru seraya melihat sekeliling mencari sosok yang ingin ditemuinya. Suasana cafe cukup ramai meskipun waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Beberapa tanaman hias terlihat memenuhi seisi ruangan dengan penempatan yang cukup presisi. Voila! Ketemu. Dengan cepat dilangkahkan kakinya pada sisi meja yang sedikit menjorok mendekati bagian kasir. Dihempaskan dengan kasar tubuhnya seraya meraup sebanyak mungkin oksigen kala berhasil duduk di depan gadis yang sedang fokus melihat buku menu itu. Ia mengembuskan napas perlahan. "Na.., " rengeknya kemudian dengan tangan yang memegang lengan kanan sosok di depannya. Si Na berdehem sebagai jawaban. Gadis dengan rambut kuncir kuda itu tidak menoleh sama sekali. Yakin sosok di depannya mendengarkan. Gadis dengan surai panjan
Sedari tadi Kiana dibuat jengah dengan tingkah Shana yang tidak bisa diam. Gadis yang berjalan tepat di depannya itu selalu misuh-misuh selepas keduanya keluar dari kantor kerja Kiana. Dan jangan lupakan bagaimana Shana merengek menungguinya sampai waktu kerja usai. "Duh, Na. Sumpah ya... Aku tadi tuh nggak mikir. Langsung aja gitu keluar, words run too fast tahu nggak? Gimana dong, Na? Nanti kalau tuh cowok mikir aneh-aneh gimana?" kedua tangan Shana menjambak rambutnya keras. Bagaimana mungkin Shana yang terkenal perempuan elegan, classy woman langsung jatuh saat berhadapan dengan Saka yang notabene baru dilihatnya. "Na? Ngomong dong. Ini aku udah kayak cacing kepanasan dari tadi," kata Shana kesal. "Baru nyadar?" Shana kali ini memilih melompat lompat kesal di perjalanan pulang mereka. Kiana hanya mengembuskan napas lelah. "Stop it, Sha. Mau kamu j
Sudah seminggu lebih sejak perkataan yang Shana pikir memalukan itu terjadi. Hari yang sama ketika Ardi memberikan waktu dua bulan baginya untuk mencari pasangan. Shana mendesah lelah kalau mengingatnya. Ia menelungkupkan wajah pada meja kerja berbahan partikel board lalu memilih terpejam sebentar. Akhir-akhir ini pikiran dan tubuhnya dipaksa bekerja cukup keras. Selain desakan keluarga yang mengharuskan untuk menikah. Sekarang ia juga sedang disibukkan mengurus event perusahaan sebagai penanggujawab utama. Perusahaan tempatnya bekerja saat ini bergerak di bidang developer property yang berpusat di ibu kota. Tidak heran citra perusahaan harus selalu dijaga dengan baik agar publik bisa menaruh kepercayaan pada perusahaan sekelas Edifice Land. Segala hal yang berkaitan dengan citra perusahaan, hubungan eksternal dan internal perusahaan berada di bawah ranah divisi public relation.
Langit hari ini terlihat cerah. Shana mendongak menatap horizon yang membentang dengan senyum tipis terbit dari wajah cantiknya. Setelah mengurus absensi di kantor, gadis berusia hampir mencapai kepala tiga itu berniat membeli Sakura Blossom Strawberry Frappuccino di Starbucks yang tak jauh dari Edifice Land. Ia sudah tak sabar membayangkan minuman terbaru untuk edisi spring kali ini. Minuman perpaduan saus strawberry dengan susu ditambah whipped cream sebagai topping dan coklat tabur seakan sudah menggoda tenggorokannya. Dan Shana pastikan bisa memberikannya amunisi untuk beraktivitas di luar ruangan seharian nanti. Shana berjalan menunduk seraya mencari ponselnya yang bergetar sebelum badannya refleks berhenti kala tak sengaja hampir menabrak dada bidang seseorang di pintu masuk. Sontak ia bergeser tetapi tubuhnya tersentak saat sebuah suara menyapanya dengan lembut. "Hai, Shana
Sejak Saka mengantarkan Shana ke rumah hingga membuat geger keluarga Sabana lantaran mamanya menyebarkan berita kedatangan Saka pada papa dan Arka. Perempuan kesayangan Shana itu tak segan menambah bumbu penyedap agar informasi tentang Saka semakin sedap untuk dilahap. Para om dan tantenya tak ketinggalan menjadi pendengar dan supporter dadakan saat diceritakannya sosok Saka. "Kak, kamu beneran ya harus bawa Saka ke rumah. Mama nggak mau tahu, pokoknya," desak Sania pada anaknya yang sedang menguyah keripik kentang seraya duduk nyaman di atas sofa. "Iya Kak. Papa juga mau ketemu. Mama kamu nggak berhenti-berhenti cerita tuh anak." Ardi ikut menimpali ucapan istrinya meskipun sedang fokus pada layar bermain playstation. "Loh dek, kamu mainnya jangan barbar dong," selorohnya kemudian pada Arka. Arka berdecak. "Ck. Apanya yang barbar sih, pa? Ini papa doang yang lemah paka
Sejak janji temu Shana dan Saka tempo hari di cafe lelaki itu, hubungan keduanya kian terang. Tak henti Shana mengucap syukur akan sikap to-the-point Kiana saat melihat kedekatan tak biasa mereka. Gadis tomboi itu langsung menodong beragam pertanyaan seberes Saka memberikan oleh-oleh juga untuk Shana. Berkat ulah Kiana, Shana akhirnya bisa mengontrol hati dan pikirannya atas sikap Saka selama ini. "Kok Shana bisa dikasih juga?" tanya Kiana dengan dahi mengerut. "Kenapa nggak dikasih?" balas Saka dengan pertanyaan pula. Lelaki itu baru saja meletakkan paper bag di hadapan Shana setelah memberikan bagian Kiana. "Kalian 'kan nggak deket? Nggak mungkin dong kamu tiba-tiba ngasih gitu." Saka tergelak lalu segera mengambil duduk diantara kedua sahabat itu. "Emang harus deket dulu baru bisa ngasih sesuatu?" jawaban Saka yang kembali berupa perta
"Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?" "Nggak ada." "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. "Nggak tahu, Kat.
Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur. Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap ba