Bel cafe yang bernuansa cerah itu berbunyi. Sosok perempuan dengan surai panjang hitam legam berjalan masuk dengan terburu-buru seraya melihat sekeliling mencari sosok yang ingin ditemuinya. Suasana cafe cukup ramai meskipun waktu masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Beberapa tanaman hias terlihat memenuhi seisi ruangan dengan penempatan yang cukup presisi.
Voila! Ketemu. Dengan cepat dilangkahkan kakinya pada sisi meja yang sedikit menjorok mendekati bagian kasir. Dihempaskan dengan kasar tubuhnya seraya meraup sebanyak mungkin oksigen kala berhasil duduk di depan gadis yang sedang fokus melihat buku menu itu. Ia mengembuskan napas perlahan. "Na.., " rengeknya kemudian dengan tangan yang memegang lengan kanan sosok di depannya. Si Na berdehem sebagai jawaban. Gadis dengan rambut kuncir kuda itu tidak menoleh sama sekali. Yakin sosok di depannya mendengarkan. Gadis dengan surai panjang itu berseru pelan. "Aku disuruh nikah, Na." "Ya bagus dong. Perempuan kalau udah cukup umur pasti nikah, kan?" respon Na cepat. "Kok gitu sih responnya? Sahabat kamu disuruh nikah loh ini. Nikah. Pacaran aja belum pernah," sewot gadis bersurai panjang. Na mendesah lalu meletakkan buku menu. "Dijodohin emang?" tanya Na kalem. Shana, sosok di depan Na mengangguk lesu. "Dijodohin kalau nggak bawa calon atau kandidat. Bisa kebayang nggak sih? Seumur umur teman main aku kan kebanyakan kamu doang." Kiana atau yang acap kali disapa Nana mengangguk-angguk dengan tangan yang bersidekap. "Udah aku pikirin sih dari lama. Pada akhirnya kamu bakal disuruh nikah." "Terus solusinya gimana dong? Yakali aku nikah karena dijodohin. Gimana bisa bangun chemistry coba," keluh Shana lalu menyenderkan punggungnya pada kursi. "Chemistry apaan deh, Sha, dikira artis lagi syuting kali ah." Nana mengangkat tangan memanggil waitress berbaju merah hitam. Shana mendengus pelan. "Kamu beneran nggak kaget? Kok bisa sih?" "Mau pesan apa Mbak Nana?" tanya gadis yang mendatangi mereka berdua. Gadis tomboi itu menatap Shana yang terlihat tidak ingin bicara. "Ris, aku seperti biasa mocca latte kalau dia milkshake strawberry. Tadi aku juga lihat ada menu baru ya?" Nana berbicara santai pada pelayan yang bernama Risa. "Iya Mbak, Mas Saka keluarin varian baru lagi." "Mm... Boleh deh coba itu. Eclair satu, macaron matcha satu, strawberry dua, sama classic vanilla satu. Oh iya, sama cream puff-nya dua ya," seru Nana senang. "Baik Mbak Na. Risa ulangi ya. Mocca latte, milkshake strawberry satu satu. Eclair satu, macaron matcha satu, yang strawberry dua, classic vanilla satu terakhir cream puff dua Mbak." Nana mengangkat jempolnya ke atas. "Sip, Ris." Seberes kepergian Risa, Shana tidak dapat menahan diri untuk bertanya. "Kamu beli Eclair terus cream puff juga?""Kenapa? Eclair baru disini aku kepo mau coba." "Kalau kamu lupa the two are choux," cibir Shana pelan. "Nope, aku laper, at least bisa buat ganjal perut," elak Nana santai. "Oh iya, mama kamu udah cerita ke aku sebelum kasih tahu kamu." Perkataan tiba-tiba Nana yang tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Shana membuat gadis itu membulatkan matanya. "Serius? Kok bisa? Terus respon kamu gimana?" "Ya kegetlah. Emang aku kalau kaget kayak gimana? Bayangin aja lah," seloroh Nana cepat. "Kamu kan bar-bar. Kalau kaget pasti heboh." Nana yang mendengarnya memutar bola matanya malas. "Ya gitu emang. Makanya tadi nggak kaget, kan udah kemaren lalu," balasnya enteng.
"Terus menurut kamu gimana?" tanya Shana merengek. "Kamu pasti juga udah tahu kan kalau sekeluarga besar yang desak aku buat nikah." "Emang bener-bener nggak ada yang lagi dekat sama kamu sekarang?" "Emang ada gitu hal kayak gitu yang aku sembunyikan dari kamu?" balas Shana dengan pertanyaan.
"Nggak ada sih. Yaudah sih, terima aja. Lumayan kan mengurangi energi dan waktu nyari laki. Tuh om sama tante udah available mau bantuin. Sukur-sukur kalau cocok kan?" "Kamu kayaknya disogok sama mama, deh. Disogok berapa he?!" Shana menyipit memandang Kiana yang bersikap tidak seperti biasanya. Sebenarnya sejak semalam Shana menghubungi Kiana lewat panggilan seluler sahabatnya itu seperti kurang tertarik dan hanya bilang iya saja di telepon. Sangat bukan sifat Kiana sekali yang suka kepo, heboh dan bar-bar di saat bersamaan. Hari ini, pembawaan gadis itu terlihat tenang dan sedikit salah tingkah kala ia memandang sahabatnya dengan lekat. "Apa sih lihatnya gitu banget?!" Lama-lama Kiana jengah juga ditatap seperti tersangka oleh gadis bersurai panjang di depannya itu. Kali ini dirinya tidak akan terlalu mengintervensi keputusan keluarga besar Shana. Bagaimana pun Tante Sania—mama Shana sudah mengandalkannya untuk membujuk gadis itu agar mau menuruti permintaan orang tuanya. Ia mendesah diam-diam. They are worried about you, Sha, aku juga, batin Kiana. "Hem." "Oke-oke, gini deh. Aku saranin kamu cari kandidat, kalau emang nggak mau dijodohin," kata Kiana tenang kemudian tak lama setelah Risa datang membawakan pesanan mereka. Shana menggeleng. "Dikira gampang kali, Na. Aku nyari laki-laki yang mau bangun istana yang udah aku impikan sejak lama. Dia yang melihat aku sebagai satu untuk selamanya. Dan itu nggak mudah apalagi dengan proses yang terbilang sebentar." "Cari pasangan yang realistis, Sha." "No. No. Kali ini kita beda jalan. Aku nggak mau gadai hidup aku dengan pernikahan yang berpeluang kandas di tengah jalan," balas Shana mantap seraya menyesap milkshake strawberry miliknya. "Ih, ini enak by the way, racikannya pas." Kiana hanya bergeming. Ia tahu maksud Shana tidak menyinggung dirinya yang terlahir di tengah keluarga broken home. "He'em emang enak enak sih di sini. Ownernya juga masih muda. Nanti aku kenalin deh," balas gadis itu beberapa saat kemudian. Shana terlihat menikmati minumannya. Kali ini ia mencoba macaron strawberry kesukaannya. "Mm... Sumpah bener sih enak lho, Na." Kiana mengangguk mengiyakan. "Gimana kalau aku nyari cowok random aja buat jadi kandidat, Na?" seru Shana tiba-tiba yang membuat Kiana tersedak. "Hah?" "Iya, kamu kan dulu gitu. Sering banget nggak tahu malu nembak cowok duluan," jelas Shana dengan polos. "Itu kena hukuman main ToD ya, bukan akunya yang agresif," sewot Kiana. "Tetep aja sih nggak diterima juga. Ngeri kali lihat preman pasar kayak kamu." Kiana melotot mendengarnya. Gadis itu akan membalas Shana sebelum suara teriakan laki-laki memenuhi seisi kedai. "Kalau dikasih tahu putus ya putus! Lo tuli apa budeg sih? Cewek nggak guna emang lo!" lelaki jangkung berkemeja hitam kotak-kotak itu berteriak lantang seraya mendorong seorang gadis sampai jatuh ke lantai. Gadis itu menangis terisak dengan wajah yang seluruhnya tertutup rambut panjangnya. "Aku salah apa sa-ma kamu?" gadis itu berbicara dengan lirih. "Masih nanya lagi?! Lo budeg apa gimana sih?! Gue lihatnya aja udah muak tahu nggak? Gue gampar juga lo!" Shana yang melihatnya kaget sama seperti pengunjung yang lain. Sedang Kiana sudah akan beranjak menghampiri si lelaki yang sudah bertingkah semena mena. Lelaki kasar tadi terlihat akan melayangkan tangannya kalau saja tidak segera dihentikan oleh seseorang.
"Maaf, Anda laki-laki kan? Apa pantas berbuat kasar pada perempuan?" dua pertanyaan berhasil menarik atensi semua pengunjung pada lelaki yang datang dengan pakaian merah hitam beserta apronnya. Lelaki kasar tadi langsung menepis tangannya yang ditahan. Tanpa aba-aba ia melayangkan tinju pada sosok di depannya tanpa ampun. Lelaki yang berpakaiaan pelayan itu hanya memasang tameng dan tidak berniat memukul. Pekikan sahut-sahutan memenuhi ruangan.
"Hei... Hei... Itu berhentiin" "Astaga...." Kiana langsung menendang pinggang lelaki kasar tadi agar berhenti mengamuk. Sontak Shana ikut bergerak membantu sang gadis berdiri lalu mengajak menepi. "Kalau mau kelahi jangan disini. Cari sana ring tinju. Cemen banget jadi laki, beraninya kasarin perempuan," teriak Kiana dengan napas memburu. Gadis itu benar-benar kesal dibuatnya.
Lelaki kasar tadi terlihat akan membalas sebelum sebuah suara menginterupsi dengan tegas. "Silakan pergi dari sini. Sebelum saya lapor polisi, di sini ada CCTV yang bisa menjerat anda kapan saja." Ancaman tadi berhasil membuat lelaki kasar itu pergi setelah berhasil menendang satu kursi sampai patah. Teriakan demi teriakan dialamatkan pada lelaki yang tidak tahu diri itu oleh para pengunjung cafe. Kiana menatap lelaki yang habis dipukuli dengan brutal. "Ka, kamu nggak papa?" "Nggak papa, Na. Kamu sendiri gimana nggak ada yang sakit?" balas lelaki itu dengan pertanyaan. "Ck. Nggak ada lah. Lagian juga kenapa nggak balas sih pukulannya." Lelaki yang dipanggil Ka itu hanya tersenyum simpul. "Kekerasan nggak akan menyelesaikan masalah, kan?" Interaksi sahabatnya dan pelayan seperti yang diduga Shana terlihat dekat. Keduanya terlihat sudah saling mengenal. Shana lalu menoleh pada gadis di sampingnya yang masih sedikit terisak. "Kamu udah nggak apa apa?" Gadis itu menggangguk pelan. "Sa-ya mau pulang. Permisi," jawabnya pelan lalu segera berdiri.
"Tunggu dulu," seru Ka dengan cepat lalu segera lari ke belakang. Tak butuh waktu lama lelaki itu kembali dan menyerahkan bungkusan kertas berisi makanan manis. "Makan ini ya, semoga membantu," serunya ramah sembari tersenyum kecil karena pipinya yang masih terasa ngilu. "Seperti biasa Saka yang baik hati," seloroh Kiana cepat seberes gadis malang itu pergi dan mengucapkan terima kasih. "Seperti biasa, Nana yang lebay," balas Saka sambil tertawa pelan. Shana yang melihat tawa Saka membuat ia hilang rotasi. Entah dorongan dari mana gadis itu menatap Saka dalam lalu sedikit maju di samping Kiana. "Permisi, Saka. Kamu mau nggak jadi suami saya?"
Sedari tadi Kiana dibuat jengah dengan tingkah Shana yang tidak bisa diam. Gadis yang berjalan tepat di depannya itu selalu misuh-misuh selepas keduanya keluar dari kantor kerja Kiana. Dan jangan lupakan bagaimana Shana merengek menungguinya sampai waktu kerja usai. "Duh, Na. Sumpah ya... Aku tadi tuh nggak mikir. Langsung aja gitu keluar, words run too fast tahu nggak? Gimana dong, Na? Nanti kalau tuh cowok mikir aneh-aneh gimana?" kedua tangan Shana menjambak rambutnya keras. Bagaimana mungkin Shana yang terkenal perempuan elegan, classy woman langsung jatuh saat berhadapan dengan Saka yang notabene baru dilihatnya. "Na? Ngomong dong. Ini aku udah kayak cacing kepanasan dari tadi," kata Shana kesal. "Baru nyadar?" Shana kali ini memilih melompat lompat kesal di perjalanan pulang mereka. Kiana hanya mengembuskan napas lelah. "Stop it, Sha. Mau kamu j
Sudah seminggu lebih sejak perkataan yang Shana pikir memalukan itu terjadi. Hari yang sama ketika Ardi memberikan waktu dua bulan baginya untuk mencari pasangan. Shana mendesah lelah kalau mengingatnya. Ia menelungkupkan wajah pada meja kerja berbahan partikel board lalu memilih terpejam sebentar. Akhir-akhir ini pikiran dan tubuhnya dipaksa bekerja cukup keras. Selain desakan keluarga yang mengharuskan untuk menikah. Sekarang ia juga sedang disibukkan mengurus event perusahaan sebagai penanggujawab utama. Perusahaan tempatnya bekerja saat ini bergerak di bidang developer property yang berpusat di ibu kota. Tidak heran citra perusahaan harus selalu dijaga dengan baik agar publik bisa menaruh kepercayaan pada perusahaan sekelas Edifice Land. Segala hal yang berkaitan dengan citra perusahaan, hubungan eksternal dan internal perusahaan berada di bawah ranah divisi public relation.
Langit hari ini terlihat cerah. Shana mendongak menatap horizon yang membentang dengan senyum tipis terbit dari wajah cantiknya. Setelah mengurus absensi di kantor, gadis berusia hampir mencapai kepala tiga itu berniat membeli Sakura Blossom Strawberry Frappuccino di Starbucks yang tak jauh dari Edifice Land. Ia sudah tak sabar membayangkan minuman terbaru untuk edisi spring kali ini. Minuman perpaduan saus strawberry dengan susu ditambah whipped cream sebagai topping dan coklat tabur seakan sudah menggoda tenggorokannya. Dan Shana pastikan bisa memberikannya amunisi untuk beraktivitas di luar ruangan seharian nanti. Shana berjalan menunduk seraya mencari ponselnya yang bergetar sebelum badannya refleks berhenti kala tak sengaja hampir menabrak dada bidang seseorang di pintu masuk. Sontak ia bergeser tetapi tubuhnya tersentak saat sebuah suara menyapanya dengan lembut. "Hai, Shana
Sejak Saka mengantarkan Shana ke rumah hingga membuat geger keluarga Sabana lantaran mamanya menyebarkan berita kedatangan Saka pada papa dan Arka. Perempuan kesayangan Shana itu tak segan menambah bumbu penyedap agar informasi tentang Saka semakin sedap untuk dilahap. Para om dan tantenya tak ketinggalan menjadi pendengar dan supporter dadakan saat diceritakannya sosok Saka. "Kak, kamu beneran ya harus bawa Saka ke rumah. Mama nggak mau tahu, pokoknya," desak Sania pada anaknya yang sedang menguyah keripik kentang seraya duduk nyaman di atas sofa. "Iya Kak. Papa juga mau ketemu. Mama kamu nggak berhenti-berhenti cerita tuh anak." Ardi ikut menimpali ucapan istrinya meskipun sedang fokus pada layar bermain playstation. "Loh dek, kamu mainnya jangan barbar dong," selorohnya kemudian pada Arka. Arka berdecak. "Ck. Apanya yang barbar sih, pa? Ini papa doang yang lemah paka
Sejak janji temu Shana dan Saka tempo hari di cafe lelaki itu, hubungan keduanya kian terang. Tak henti Shana mengucap syukur akan sikap to-the-point Kiana saat melihat kedekatan tak biasa mereka. Gadis tomboi itu langsung menodong beragam pertanyaan seberes Saka memberikan oleh-oleh juga untuk Shana. Berkat ulah Kiana, Shana akhirnya bisa mengontrol hati dan pikirannya atas sikap Saka selama ini. "Kok Shana bisa dikasih juga?" tanya Kiana dengan dahi mengerut. "Kenapa nggak dikasih?" balas Saka dengan pertanyaan pula. Lelaki itu baru saja meletakkan paper bag di hadapan Shana setelah memberikan bagian Kiana. "Kalian 'kan nggak deket? Nggak mungkin dong kamu tiba-tiba ngasih gitu." Saka tergelak lalu segera mengambil duduk diantara kedua sahabat itu. "Emang harus deket dulu baru bisa ngasih sesuatu?" jawaban Saka yang kembali berupa perta
"Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?" "Nggak ada." "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. "Nggak tahu, Kat.
Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur. Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap ba
Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. "Minum dulu." "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry milkshake . Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." Shana mengangguk kaku lalu menyeruput minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padaha