Sedari tadi Kiana dibuat jengah dengan tingkah Shana yang tidak bisa diam. Gadis yang berjalan tepat di depannya itu selalu misuh-misuh selepas keduanya keluar dari kantor kerja Kiana. Dan jangan lupakan bagaimana Shana merengek menungguinya sampai waktu kerja usai.
"Duh, Na. Sumpah ya... Aku tadi tuh nggak mikir. Langsung aja gitu keluar, words run too fast tahu nggak? Gimana dong, Na? Nanti kalau tuh cowok mikir aneh-aneh gimana?" kedua tangan Shana menjambak rambutnya keras. Bagaimana mungkin Shana yang terkenal perempuan elegan, classy woman langsung jatuh saat berhadapan dengan Saka yang notabene baru dilihatnya. "Na? Ngomong dong. Ini aku udah kayak cacing kepanasan dari tadi," kata Shana kesal. "Baru nyadar?" Shana kali ini memilih melompat lompat kesal di perjalanan pulang mereka. Kiana hanya mengembuskan napas lelah. "Stop it, Sha. Mau kamu jungkir balik, guling kanan kiri kalau udah kejadian ya udah. Life must go on, Sha," ungkap Kiana tegas. Gadis itu berjalan di belakang sahabatnya sambil mengunyah permen karet. "Tapi kan—" "Lagian bukan kamu doang sih yang begitu," ucap Kiana tenang lalu berjalan cepat mendahului Shana yang bergeming seketika. "Eh... Eh tungguin maksudnya gimana?" teriak Shana berusaha menyamai langkah dengan Kiana. "Respon Saka nggak kaget dan senyum aja, kan? Pelayan yang denger juga cuman senyum aja, masih mending sih kamu ngomongnya pelan tadi," jelas Kiana. Shana mengernyit mendengarnya. Sahabatnya ini sering kali berbicara tidak sampai selesai. Gadis tomboi yang sudah menemaninya hampir setengah lebih umurnya itu selalu malas kalau disuruh menjelaskan. Alasannya beragam, Shana yang lambat loading lah, Nana yang tidak mood lah atau sengaja memilih bungkam. Kalau Shana yang selalu jujur pada Kiana, lain cerita dengan Kiana yang masih sulit terbuka pada dirinya. Entah kenapa Kiana bersikap demikian, nanti akan Shana todong gadis itu agar tidak lagi bungkam. Sadar tidak ada respon Shana yang menuntut, Kiana kembali menjelaskan tanpa diminta. "Saka udah sering ditembak kayak gitu, Sha. Makanya dia udah nggak kaget, pelayannya juga. Itu tadi kamu masih terhitung nggak nekat, ngomongnya deketan meskipun masih bikin shock sih buat aku karena ngajakin nikah. Kalau yang lain bahkan bawa pengeras suara terus naik meja, haduh." "Berarti bukan aku dong orang pertama bilang gitu?" "Yup, udah ah nggak usah dipikirin. Balik yuk, malam ini aku nginap yah, di rumah sepi," pungkas Kiana riang dan lagi lagi berjalan duluan meninggalkan Shana yang masih bergumul dengan pikirannya. Jadi bukan aku yang pertama yah? Sayang banget, kirain udah nekat masih ada yang lebih nekat ternyata. Eh tapi sama aja, pokoknya harus jauhin tuh si Saka Saka, malu banget tahu, ringis Shana pelan. Selang sejam kemudian, kedua gadis yang hampir berkepala tiga itu turun dari pesanan taxi online mereka. Shana membayar tagihan sementara Kiana sudah lebih dulu masuk ke kediaman keluarga Sabana. Rumah Shana bukan tipe tipe hunian mewah dengan segala fasilitas elite selangit tetapi tidak bisa dikatakan kecil pula. Barangkali rumah minimalis dengan taman dan garasi yang cukup luas untuk berkumpul keluarga besar. Dan kali ini Shana tahu, keluarga dari ayahnya sedang memenuhi rumahnya. Ia mendesah lelah, sudah dipastikan hal apa yang akan dihadapinya. Saat melangkahkan kakinya masuk, keadaan rumah mendadak sepi. Semua orang sengaja menatap ke arahnya. Terlihat hanya Kiana seorang yang memilih acuh dan fokus makan bolu kukus di hadapannya dengan rakus. Shana jengah juga lama-lama. "Kenapa? Aku bukan bandit ya diliatin kayak gitu," sewotnya. "Kamu belum ngucap salam, Kak," seru suara bariton yang sudah berumur. Ardi menatap anak tertuanya dengan tenang. Respon papanya yang terdengar tidak meyakinkan membuat gadis itu mengernyit tetapi ia tetap mengucap salam pelan. Dan serentak semua orang membalas salamnya lalu kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hah? Apalagi yang ia harapkan memang?Setelah setengah jam membersihkan diri. Shana dan Kiana kembali turun ke lantai satu. Kiana tampak nyaman dengan celana training dan kaos oblong hitamnya sementara ia dengan setelan baju tidur navy miliknya. Sebab seringnya Kiana nginap dan dianggap seperti anak dan keluarga sendiri oleh seluruh keluarga besar Sabana membuat gadis itu tak lagi sungkan. Baju yang ia pakai sekarang saja sengaja ia simpan di kamar Shana dengan inisiatifnya sendiri. "Udah bersih-bersih kan? Yuk kalian makan dulu, yang lain udah pada makan tadi," seru Sania lembut menatap keduanya. "Tahu aja kalau aku laper banget, Tan," balas Kiana riang tentu saja membuat Shana memutar bola matanya malas. Di lantai satu berkumpul keluarga Sabana, ada papanya sibuk bermain playstation dengan omnya di ruang keluarga sedang Arka, adik lelaki satu-satunya menjadi penonton setia mereka. Mamanya kali ini duduk di meja makan beserta kedua tantenya. Shana mengunyah dengan pelan sebelum sebuah suara menyeletuk cukup keras. Dan sudah dipastikan semua orang dapat mendengarnya karena tidak ada sekat meja makan dengan ruang keluarga. "Kapan kamu mau bawa calonmu, Sha?" tanya Alina, istri dari kakak laki-laki papanya. "Iya Kak, semua udah pada nunggu lho." Sania ikut menimpali sambil memakan semangka dengan lahap.
"Om juga nggak sabar nih siapa laki-laki yang jadi pasangan keponakan cantik om," sahut Abi teriak sambil matanya tetap fokus pada layar. Ardi yang duduk di samping kakaknya langsung berkomentar keras. "Pelan-pelan kali, Bang. Teriak-teriak kayak di hutan." Banyu sebagai adik dari kedua lelaki paruh baya yang sedang bermain game itu mendengus pelan. "Udah tua masih aja kayak bocah. Shana aja bentar lagi mau nikah, ingat umur kali, Bang." "Ini kalian kok malah ribut, sih? Kita kan mau dengar jawaban Shana. Gimana sayang?" pekikan Selina istri Banyu cukup membuat para bapak-bapak terdiam. Arka yang melihatnya menahan diri untuk tidak tertawa. Semua orang kini menatap Shana. Dan gadis itu memilih melihat Kiana yang sibuk sendiri dengan makanannya. Terlihat ia tidak ingin menolong. Shana mengembuskan napas diam-diam. "Nanti." "Hah? Gitu doang?" respon Arka cepat karena para orang tua hanya melongo mendengar jawaban singkat Shana.
"Apalagi? Kan emang belum ada. Aku dari kemarin bilang lho, jadi nggak usah buru-buru nikahnya," pungkas Shana kemudian. "Nggak bisa," sentak Ardi. Ia bahkan sampai melepas stik di genggamannya. "Umur kamu sekarang udah berapa, Kak? Dari dulu lho padahal papa mama udah nyuruh kamu tapi jawabannya nanti nanti terus. Sekarang nggak bisa ya, kalau ngga ada biar kami yang carikan." "Kamu juga harus udah mikir, Kak. Sekarang umur kamu hampir kepala tiga, Aura aja di bawah kamu udah punya anak kamu masih sendiri aja," sambung Sania mendukung Ardi. Shana diam mendengarkan. Ia sudah tak ada nafsu untuk melanjutkan makan. Perkataan Sania membuat mood gadis itu turun drastis. Aura yang dimaksud mamanya adalah sepupu perempuan yang paling dekat dengannya. Tahun lalu gadis itu dinikahi pacarnya, lalu tahun ini sudah menjadi seorang ibu. Saat dilihatnya Shana yang diam, Abi yang sadar anak bungsunya dijadikan contoh mencoba meluruskan. "Maksud mama kamu tuh baik, Sha. Aura menikah bukan cuman menikah tapi bagi kami, sudah ada yang melindunginya saat kami tidak selamanya selalu dekat dengan Aura. Orang tua kamu maunya juga gitu." Alina maju mendekati Shana lalu memegang pundak gadis itu dengan lembut. "Nikah nggak semenyeramkan itu kok, Sha. Percaya deh sama mama papa kamu biar mereka yang carikan ya." "Ya selain biar Bintang anak ganteng om juga bisa nikah, Sha. Biar kakak sepupunya dulu baru dia deh," celetuk Banyu santai yang langsung dihadiahi pelototan dari istrinya. "Menurut kamu gimana, Na?" tanya Selina tiba-tiba saat dilihatnya sahabat keponakannya yang memilih diam tak berkomentar. Shana yang mendengarnya mendongak menatap Kiana. Sadar ditatap dengan wajah memelas khas sahabatnya, Kiana mendesah pelan. "Aku pikir maksudnya baik kok, Tan. Aku dukung yang terbaik aja buat Shana," balasnya diplomatis. "Tuh kan, Nana aja ngedukung lho, Sha." Alina mengeratkan peganganya pada pundak Shana. "Iya iya, tapi aku nggak mau dijodohin. Biar aku sendiri yang cari pasangannya," sahut Shana berat. Ardi mengangguk lalu mengajak Abi untuk melanjutkan permainan. "Diterima, Kak. Kita kasih kamu waktu dua bulan dari sekarang," ucapnya tegas kemudian. Keluarganya yang lain setuju. Tante Alina dan Tante Selina bahkan kembali bercerita dengan mamanya. Arka dan Om Banyu juga ikut sibuk menjadi supporter dadakan. Tinggal Kiana seorang yang menatapnya sambil mengendikkan bahu tidak tahu menahu. Shana dibuat lemas pada akhirnya.
Sudah seminggu lebih sejak perkataan yang Shana pikir memalukan itu terjadi. Hari yang sama ketika Ardi memberikan waktu dua bulan baginya untuk mencari pasangan. Shana mendesah lelah kalau mengingatnya. Ia menelungkupkan wajah pada meja kerja berbahan partikel board lalu memilih terpejam sebentar. Akhir-akhir ini pikiran dan tubuhnya dipaksa bekerja cukup keras. Selain desakan keluarga yang mengharuskan untuk menikah. Sekarang ia juga sedang disibukkan mengurus event perusahaan sebagai penanggujawab utama. Perusahaan tempatnya bekerja saat ini bergerak di bidang developer property yang berpusat di ibu kota. Tidak heran citra perusahaan harus selalu dijaga dengan baik agar publik bisa menaruh kepercayaan pada perusahaan sekelas Edifice Land. Segala hal yang berkaitan dengan citra perusahaan, hubungan eksternal dan internal perusahaan berada di bawah ranah divisi public relation.
Langit hari ini terlihat cerah. Shana mendongak menatap horizon yang membentang dengan senyum tipis terbit dari wajah cantiknya. Setelah mengurus absensi di kantor, gadis berusia hampir mencapai kepala tiga itu berniat membeli Sakura Blossom Strawberry Frappuccino di Starbucks yang tak jauh dari Edifice Land. Ia sudah tak sabar membayangkan minuman terbaru untuk edisi spring kali ini. Minuman perpaduan saus strawberry dengan susu ditambah whipped cream sebagai topping dan coklat tabur seakan sudah menggoda tenggorokannya. Dan Shana pastikan bisa memberikannya amunisi untuk beraktivitas di luar ruangan seharian nanti. Shana berjalan menunduk seraya mencari ponselnya yang bergetar sebelum badannya refleks berhenti kala tak sengaja hampir menabrak dada bidang seseorang di pintu masuk. Sontak ia bergeser tetapi tubuhnya tersentak saat sebuah suara menyapanya dengan lembut. "Hai, Shana
Sejak Saka mengantarkan Shana ke rumah hingga membuat geger keluarga Sabana lantaran mamanya menyebarkan berita kedatangan Saka pada papa dan Arka. Perempuan kesayangan Shana itu tak segan menambah bumbu penyedap agar informasi tentang Saka semakin sedap untuk dilahap. Para om dan tantenya tak ketinggalan menjadi pendengar dan supporter dadakan saat diceritakannya sosok Saka. "Kak, kamu beneran ya harus bawa Saka ke rumah. Mama nggak mau tahu, pokoknya," desak Sania pada anaknya yang sedang menguyah keripik kentang seraya duduk nyaman di atas sofa. "Iya Kak. Papa juga mau ketemu. Mama kamu nggak berhenti-berhenti cerita tuh anak." Ardi ikut menimpali ucapan istrinya meskipun sedang fokus pada layar bermain playstation. "Loh dek, kamu mainnya jangan barbar dong," selorohnya kemudian pada Arka. Arka berdecak. "Ck. Apanya yang barbar sih, pa? Ini papa doang yang lemah paka
Sejak janji temu Shana dan Saka tempo hari di cafe lelaki itu, hubungan keduanya kian terang. Tak henti Shana mengucap syukur akan sikap to-the-point Kiana saat melihat kedekatan tak biasa mereka. Gadis tomboi itu langsung menodong beragam pertanyaan seberes Saka memberikan oleh-oleh juga untuk Shana. Berkat ulah Kiana, Shana akhirnya bisa mengontrol hati dan pikirannya atas sikap Saka selama ini. "Kok Shana bisa dikasih juga?" tanya Kiana dengan dahi mengerut. "Kenapa nggak dikasih?" balas Saka dengan pertanyaan pula. Lelaki itu baru saja meletakkan paper bag di hadapan Shana setelah memberikan bagian Kiana. "Kalian 'kan nggak deket? Nggak mungkin dong kamu tiba-tiba ngasih gitu." Saka tergelak lalu segera mengambil duduk diantara kedua sahabat itu. "Emang harus deket dulu baru bisa ngasih sesuatu?" jawaban Saka yang kembali berupa perta
"Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?" "Nggak ada." "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. "Nggak tahu, Kat.
Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur. Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap ba
Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. "Minum dulu." "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry milkshake . Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." Shana mengangguk kaku lalu menyeruput minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padaha
Sudah 10 menit Shana berdiri di depan pagar berwarna hitam keluarga Sabana. Gadis itu bergeming dengan tangan kanan mengusap dagu. Benaknya berkecamuk. Hatinya bergejolak. Bibirnya tak berhenti tersungging dengan pipi yang terasa hangat sejak keluar dari cafe Saka. Mengembuskan napas perlahan lalu mengipas bagian wajah, Shana bergumam pelan. "Sha, ini nggak mimpi 'kan." Gadis itu bermonolog seraya memegang pipi kanannya. Ia ingin menjerit tetapi urung saat terdengar suara dari balik pagar. Memperbaiki posisi tubuhnya, Shana sebisa mungkin menahan ekspresi berlebihannya. Shana berniat melangkahkan kedua kakinya bersamaan dengan perkataan seseorang. "Lho, Kak. Kamu ngapain berdiri di situ?" Ardi menatap anaknya yang terlihat kaget. Shana mencebikkan bibir lalu mengusap dadanya pelan. "Papa kenapa bikin kaget, sih," dumelnya menatap Ardi. "La