Sejak janji temu Shana dan Saka tempo hari di cafe lelaki itu, hubungan keduanya kian terang. Tak henti Shana mengucap syukur akan sikap to-the-point Kiana saat melihat kedekatan tak biasa mereka. Gadis tomboi itu langsung menodong beragam pertanyaan seberes Saka memberikan oleh-oleh juga untuk Shana. Berkat ulah Kiana, Shana akhirnya bisa mengontrol hati dan pikirannya atas sikap Saka selama ini.
"Kok Shana bisa dikasih juga?" tanya Kiana dengan dahi mengerut. "Kenapa nggak dikasih?" balas Saka dengan pertanyaan pula. Lelaki itu baru saja meletakkan paper bag di hadapan Shana setelah memberikan bagian Kiana. "Kalian 'kan nggak deket? Nggak mungkin dong kamu tiba-tiba ngasih gitu." Saka tergelak lalu segera mengambil duduk diantara kedua sahabat itu. "Emang harus deket dulu baru bisa ngasih sesuatu?" jawaban Saka yang kembali berupa pertanyaan membuat Shana menahan diri untuk tidak mengumpat. Apa lelaki itu berniat mempermainkannya? "Jangan main-main sama sahabat aku ya, Ka. Aku tahu kamu nggak secetek itu untuk paham ucapanku," tukas Kiana tegas seraya melirik sedikit pada Shana memastikan ekspresi sahabatnya. Saka menatap Shana yang sengaja tak melihat ke arahnya. "Nggak kok, Na. Tadi aku bercanda. Aku sama Shana mulai deket kok. Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini kita sering ketemu," jelasnya pada Kiana. "Jadi pas kamu minta nomer Shana kemarin berarti bukan pertemuan kedua kalian setelah di cafe ini?" "Udah deh, Na," seloroh Shana cepat agar sahabatnya itu segera menyudahi rasa ingin tahunya. "Kenapa?" tanya Kiana tajam seraya mengarahkan telunjuknya pada Shana tetapi dengan sigap ditepis oleh gadis itu. "Tuh kan, kalian nggak ada apa-apa 'kan? Nggak deket yang berakhir berhubungan 'kan?" desaknya kembali. "Who knows?" beo Saka yang kembali membuat Kiana mengeram sedang Shana melotot mendengarnya. Si owner cafe ini bisa banget buat orang kepikiran, batin Shana kesal. "Kepalanya nggak usah ngepul dulu kali, Na. Mata kamu juga nggak usah melotot, Sha ..., " kekeh Saka yang sukses membuat Shana merona. "Maksud aku gini loh, aku sama Kiana deket aja kemungkinan bisa jadian apalagi sama Shana," lanjut lelaki itu diakhiri senyum manisnya. Perkataan Saka sukses membuat binar di mata Shana meredup. Huh, tipe lelaki yang suka tarik ulur perasaan, lagi Shana membatin. "Sama aku nggak mungkin lah, tapi sama Shana maksudnya gimana tuh? Mana pakai kata apalagi lagi," balas Kiana memukul meja cafe dengan sedikit keras. Mendengar ucapan Kiana membuat Shana kembali memikirkan kembali kata-kata lelaki di hadapannya. "Jawab, Ka. Kamu nggak mencoba jadi cowok brengsek 'kan?" "Astaga, nggak lah yakali. Kamu tuh suka banget sih salah tangkap, Na. Pay attention sama maksud ucapan aku aja," tukas Saka sedikit nyolot. Sepertinya hari ini Shana banyak melihat sikap lain lelaki itu saat bersama Kiana. "Ya kamunya juga, kenapa juga pakai kata apalagi. Ambigu banget 'kan, Sha?" Shana tersentak saat Kiana meliriknya dengan wajah sangar dan menuntut dukungan. "Ng-nggak tahu," cicitnya kemudian. "Udah, Na. Aku tahu kamu itu jurnalis tapi bener deh aku nggak ada maksud apa-apa. Kamu juga hari ini kelihatan sensitif banget, deh." Saka mencoba menghentikan Kiana agat tak semakin banyak berbicara. Gadis tomboi dengan jaket denim itu senang sekali berbicara sampai kadang lupa untuk menarik rem agar berhenti. "Biasa, lagi merah jambu. Sebagai gantinya aku minta gratis cream puff tiga." Kiana mengangkat ketiga jarinya menghadap Saka yang diangguki langsung oleh lelaki itu. "Sekalian kalau gitu aku gratisin Shana strawberry macaron tiga juga," ucapnya ringan dan sukses membuat pipi Shana terasa menghangat. "Nggak ada penolakan," sahut Saka cepat saat dilihatnya Shana akan membuka suara. Pertemuan hari itu ditutup dengan Saka yang mengantar Kiana dan Shana ke kediaman Sabana. Shana sudah barang tentu menolak tanpa perlu berpikir. Ia bisa sampai ke rumah tanpa bantuan lelaki itu meskipun menerima tawaran Saka bisa menjadikan hari senin pertamanya terasa semakin menyenangkan. Lain halnya dengan Kiana, semangat gadis tomboi itu seketika berkobar mendengar tawaran gratis dari Saka. Ia bahkan dengan senang hati langsung mengambil tempat duduk di mobil Saka tanpa perlu meminta pendapat Shana. "Udah, nggak usah dilarang. Kiana pasti capek habis liputan, Sha. Yuk, masuk." Saka berujar pelan sebelum melangkah menuju kemudi membuat Shana mendesah pelan di luar mobil. "Bukannya apa. Kalau masih bisa sendiri kenapa harus terima bantuan orang lain." Euforia Saka tidak berhenti sampai di situ. Bukan main, kehadiran papa mamanya di depan gerbang rumah berpotensi membuat Shana terkena serangan jantung ringan mendadak. Kedua orang tuanya tidak mungkin berdiri di sana dengan senyum kelewat lebar kalau bukan ada konspirasi di dalamnya. Tanpa perlu menebak, ia sudah tahu siapa dalang di balik konspirasi ini. Shana melirik tajam Kiana yang duduk di kursi belakang. "Lho, ada papa sama mama kamu toh di depan, Sha. Manis banget nunggu anaknya pulang," pungkas Kiana senang yang Shana tahu gadis itu sedang berkamuflase. Dengan berat hati, Shana membiarkan kedua orang tuanya menjadi wartawan dadakan seperti yang Kiana lakukan sebelumnya. Kesan papa melihat perangai Saka seakan memberi lampu hijau pada Shana. Berbeda dengan sang mama yang memuji sosok Saka di hadapan lelaki itu secara langsung. "Nak Saka singgah ke rumah dulu, yuk," ajak Sania riang seraya menarik lengan Saka ringan. "Maaf Tante, saya harus jemput adik perempuan saya di kampus." Saka menghentikan langkah mama Shana dengan bahu menunduk pelan. "Sayang banget," keluh Sania. "Lain kali pokoknya kamu harus main-main ke rumah ya," lanjut perempuan paruh baya itu menuntut. Shana menatap mamanya jengah melihat tangan Sania yang masih memegang lengan Saka. "Ekhem ...." "Tangannya bu mohon maaf udah punya suami nggak boleh genit," peringat Shana kemudian melirik papanya yang terlihat biasa saja. "Nggak papa sama calon mantu ini." Shana tersentak mendengar celetukan seseorang yang kali ini bukan datang dari mamanya. Gadis bersurai panjang itu menatap horor sosok lelaki paruh baya yang perangainya mirip dengan Arka. "Wah, Om Ardi nggak ada opening langsung ke topik pembahasan aja nih," seloroh Kiana tiba-tiba dengan mata mengerling menggoda. Pipi Shana terasa hangat. Bukannya senang, ia malah merasa malu. Menggigit kedua bagian dalam pipinya berharap agar wajahnya tidak semakin memerah. "Kalau jodoh nggak lari kemana kok, Om." Balasan Saka yang tak kalah santai membuat jantung Shana mencelos. Sania, Ardi dan Kiana yang mendengarnya malah tertawa lepas.Sekali lagi Saka berhasil maju satu langkah mengambil alih atensi orang-orang tersayangnya.
"Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?" "Nggak ada." "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. "Nggak tahu, Kat.
Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur. Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap ba
Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. "Minum dulu." "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry milkshake . Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." Shana mengangguk kaku lalu menyeruput minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padaha
Sudah 10 menit Shana berdiri di depan pagar berwarna hitam keluarga Sabana. Gadis itu bergeming dengan tangan kanan mengusap dagu. Benaknya berkecamuk. Hatinya bergejolak. Bibirnya tak berhenti tersungging dengan pipi yang terasa hangat sejak keluar dari cafe Saka. Mengembuskan napas perlahan lalu mengipas bagian wajah, Shana bergumam pelan. "Sha, ini nggak mimpi 'kan." Gadis itu bermonolog seraya memegang pipi kanannya. Ia ingin menjerit tetapi urung saat terdengar suara dari balik pagar. Memperbaiki posisi tubuhnya, Shana sebisa mungkin menahan ekspresi berlebihannya. Shana berniat melangkahkan kedua kakinya bersamaan dengan perkataan seseorang. "Lho, Kak. Kamu ngapain berdiri di situ?" Ardi menatap anaknya yang terlihat kaget. Shana mencebikkan bibir lalu mengusap dadanya pelan. "Papa kenapa bikin kaget, sih," dumelnya menatap Ardi. "La
Shana melirik kembali ke arah ponselnya yang tersimpan di atas meja. Gadis itu menunggu pesan seseorang yang tak kunjung menghubunginya. Hari ini Saka mengajaknya jalan setelah ia menerima ajakan berkomitmen dari lelaki itu. Dan sampai sekarang Kiana belum mengetahui hubungan keduanya. Selain Shana yang belum mau bercerita pun kesibukan Kiana yang semakin padat seiring kembalinya ia mengabdi pada organisasi di kampus mereka yang dulu. Dua hari yang lalu, setelah Saka mengajaknya berkomitmen. Sania memaksa Shana menberitahukan keseriusan lelaki itu padanya. Ia awalnya menolak tetapi saat melihat raut bahagia keluarganya membuat hati Shana tak kuasa untuk menyembunyikannya lebih lama. Gadis itu masih mengingat betul bagaimana drama bergejolak di tengah keluarga mereka. "Saka beneran ngomong gitu, Kak?" Sania bertanya seraya mengguncang kedua bahu anaknya. Ia sangat tahu kalau Shana tidak mungkin berbohong.
"Udah mau berangkat, Kak?" Sania menatap anaknya yang baru saja turun dari tangga. Gadis muda itu mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Belum, Ma. Saka masih di rumahnya," balas Shana lalu merangkul lengan mamanya manja. Malam ini Shana memakai rok tutu hitam di bawah lutut dengan sweater rajut berwarna navy. Rambutnya sengaja digerai agar lebih terasa hangat saat terkena udara dingin di luar. Selang beberapa menit. Ardi datang membawa sesuatu. "Papa dari mana?" "Nyari angin sekalian beli pesanan mama kamu." Ardi menaikkan satu alisnya menggoda. Shana mencebikkan bibir. "Nggak lucu, Pa. Angin kok dicari, yang ada nyari penyakit." Gadis itu lalu menatap mamanya. "Itu suaminya ke luar kenapa nggak dilarang?" Perkataan Shana sontak membuat Sania menyentil dahi anaknya. "Kalau ngomong, ya! Mentang-mentang seka
Kelakuan Arka tidak hanya sebatas di dalam mobil tadi. Shana yakin adiknya akan kembali berulah mengingat sifat menyebalkannya lelaki itu. Lihat saja sekarang bagaimana Arka merangkul lengan tangannya dengan erat. Shana bahkan ditarik untuk jalan bersisian dengannya sementara Saka berjalan di belakang mereka."Kamu kenapa, sih?" bisik Shana mendekatkan wajahnya ke telingan Arka. Ia perlu sedikit mendongak karena tingginya hanya sebatas telinga adiknya."Nggak papa." Arka menjawab dengan datar."Nggak usah bohong. Aku pikir kamu ke pasar malam karena mau have fun bukan jadi bodyguard," sentak Shana dengan sorot tajam.Arka terkekeh pelan lalu semakin menarik kakaknya mendekat. "Maunya gitu tapi lihat cowok di belakang kita rencananya jadi berubah. But it's okay. Aku bisa ke pasar malam ngajak mama papa nanti."Shana mendelik. "Yang kamu sebut cowok di belakang itu punya nama, Arka."Arka tak acuh, ia lalu m
Semenjak kelakuan Arka yang sangat menganggu saat di pasar malam membuat Shana enggan untuk mengajak Saka mampir ke rumah. Kini ia lebih memilih jalan-jalan keluar bersama lelaki itu. Biasanya selepas pulang kerja atau Shana yang akan datang ke cafe Saka. Hari ini Saka mengajaknya untuk makan malam. Sejak keduanya berkomitmen tak pernah sekali pun mereka menghabiskan waktu dengan makan di tempat dan waktu yang sama. Dan Shana sangat menunggu datangnya kesempatan ini. Hubungan Shana dan Saka kini memasuki usia sebulan. Meski tak terlalu banyak waktu dipakai bersama karena kesibukan masing-masing. Shana yang kembali berkutat dengan banyak pekerjaan sembari mengurus annual event Edifice Land pun sama halnya dengan Saka yang berencana membuka usaha baru hingga keduanya mencuri-curi waktu agar bisa lebih mengenal dan mendekatkan diri. Sementara Kania sampai saat ini belu