Sudah seminggu lebih sejak perkataan yang Shana pikir memalukan itu terjadi. Hari yang sama ketika Ardi memberikan waktu dua bulan baginya untuk mencari pasangan. Shana mendesah lelah kalau mengingatnya. Ia menelungkupkan wajah pada meja kerja berbahan partikel board lalu memilih terpejam sebentar.
Akhir-akhir ini pikiran dan tubuhnya dipaksa bekerja cukup keras. Selain desakan keluarga yang mengharuskan untuk menikah. Sekarang ia juga sedang disibukkan mengurus event perusahaan sebagai penanggujawab utama.Perusahaan tempatnya bekerja saat ini bergerak di bidang developer property yang berpusat di ibu kota. Tidak heran citra perusahaan harus selalu dijaga dengan baik agar publik bisa menaruh kepercayaan pada perusahaan sekelas Edifice Land. Segala hal yang berkaitan dengan citra perusahaan, hubungan eksternal dan internal perusahaan berada di bawah ranah divisi public relation. Dan di ruangan yang sekarang hanya ada dirinya seorang, Shana Sabana seorang senior staff public relation diharuskan menjadi supervisor bagi staff PR baru. Ia senang naik jabatan dan bukan lagi sebagai staff PR yang tiap waktu bekerja bahkan terkadang di luar jobdesknya sekali pun. Namun, yang membuat ia dongkol adalah salah seorang staff perempuan yang terlalu jumawa dan sering kali tidak mendengar setiap arahannya. "Mbak," panggil sebuah suara yang terdengar malas. Tanpa perlu mengangkat kepala, Shana tahu siapa sosok yang berada di dekatnya.
"Mbak denger saya, kan?" suara gadis yang membuat ia semakin dongkol beberapa waktu kebelakang membuat Shana pura-pura ingin terlelap. "Mbak kalau tidur berarti makan gaji buta. Katanya senior tapi nggak memberikan contoh yang baik." Shana semakin memejamkan matanya lalu mengembuskan napasnya diam-diam. "Apa?" balas gadis itu dengan senyum tipis yang ia paksakan setelah berhasil duduk tegap. Ia masih bersabar akan tingkah laku staff di depannya yang masih bisa ditolerir. "Ini saya udah sortir konten-konten apa yang bagus kita rilis ke publik, Mbak. Udah saya compare sama tahun sebelumnya, dan gap-nya sudah saya catat juga. Jadi kita tahu apa yang kurang dan perlu ada renewal, Mbak," pungkas sosok di depannya seraya mengarahkan map plastik ke hadapan Shana. "Simpan di meja, makasih." Shana berdiri bersiap meninggalkan ruangan PR sebelum suara di belakangnya kembali merecokinya.
"Mbak nggak lihat kerja saya dulu?" "Nanti." tanpa perlu menoleh Shana menjawab singkat. "Kenapa?" "Saya sibuk." "Saya bahkan nggak lihat Mbak ngerjain sesuatu." Shana mengeram lalu berbalik menghadap gadis yang umurnya jauh di bawahnya itu. "Saya harap kamu sadar diri untuk tidak melewati batas, Rena. Oh iya, kamu mungkin berpikir kamu pintar dibanding staff PR lain tapi kamu juga harus sadar kamu staff yang paling tidak memiliki atitude yang baik." Rena, staff PR yang baru 3 bulan join ke Edifice Land langsung menarik atensi para karyawan yang lain karena sikapnya yang terlihat berani. Bukan dalam konotasi yang baik, gadis berumur 24 tahun itu tidak memiliki kepribadian yang menyenangkan selain otak pintarnya yang membuat ia diterima oleh HRD perusahaan. Oh satu lagi, jangan lupakan penampilan dan wajahnya yang good looking tentu saja mampu menambah amunisi untuk Rena berlagak seperti orang idealis di tengah-tengah mereka. Shana tidak akan ambil pusing kalau saja gadis itu tidak bebal saat ia membimbingnya. Namun dibandingkan mendengar ucapannya, Rena lebih memilih membalas setiap perkataan Shana. Meskipun tak menampik setiap apa yang dikerjakan Rena hasilnya memuaskan tetapi bagi Shana ia lebih suka dengan orang yang berkepribadian baik dibanding sekadar menjadi alat pemasok uang perusahaan. Sadar sosok di hadapannya hanya diam. Shana kembali melanjutkan ucapannya. "Saya harap kamu tidak benar-benar menganggap diri kamu sebagai budak korporat, Rena. Bekerjalah karena memang kamu menyukainya." Shana berbalik meninggalkan Rena tanpa perlu menunggu respon gadis itu. Tepat di pintu keluar, Katrin datang dengan dahi mengernyit. "Eh, mau kemana? Aku baru datang kamu malah pergi." "Urus project," balas Shana singkat lalu kembali melajukan langkah.
Katrin yang juga senior staff PR semakin merasa heran akan tingkah koleganya. Tidak biasanya Shana terlihat seperti itu. Gadis dengan rambut pirang itu menatap ke dalam dan melihat Rena yang diam duduk di kubikelnya. "Shana tadi kenapa, Re?" tanya Katrin saat berhasil duduk di depan kubikel gadis itu. "Nggak tahu, Mbak," jawab Rena sopan. Respon Rena yang berbeda juga membuat Katrin semakin yakin ada sesuatu yang telah terjadi antara Shana dan staff bimbingannya. Sementara di tempat lain, Shana memilih singgah makan ke warung soto Abah. Lokasinya berada sekitar 200 meter dari Edifice. Rencana awal gadis itu sebenarnya akan langsung pergi ke tempat vendor yang sudah terdata untuk mengisi jamuan tetapi urung karena pihak yang bersangkutan sedang mengurus event lain. Dibanding balik ke kantor dan bertemu Rena. Ia lebih memilih makan soto racikan Abah yang terkenal kelezatannya. Shana melirik jam cokat tua yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Belum waktu makan siang tetapi tempat duduk sudah terlihat hampir penuh. "Wah, Neng Shana dari mana? Kok baru kelihatan lagi," sapa Abah saat melihat Shana yang berdiri di dekat gerobak. Gadis bersurai panjang itu tersenyum. "Iya nih, Bah. Lagi banyak kerjaan. Wah, ramai ya? Padahal belum jam makan siang," balasnya kemudian.
Abah mengangguk membenarkan. "Iya Neng, alhamdulillah. Ayo atuh biar abah antar ke tempat duduk. Maaf atuh ya rada sempit, Neng." Shana tersenyum lalu mengikuti Abah yang berjalan di depannya. Lelaki yang sudah berusia lanjut tetapi masih terlihat bugar itu berhenti di kursi kayu bagian belakang. Terlihat sosok lelaki yang wajahnya tertutup penuh oleh majalah bisnis yang dipegangnya. "Disini nggak apa-apa ya, Neng." Abah menatap Shana yang hanya diam. "Iya nggak apa-apa. Makasih ya Abah," balas Shana lalu mengambil duduk di depan lelaki yang tidak bersuara sama sekali bahkan setelah Abah pergi. Sambil menunggu pesanan Shana berniat memainkan ponsel. Dan matanya bersamaan bersitatap dengan sosok lelaki yang menurunkan majalah dari wajahnya. Keduanya terpaku selama beberapa saat. Lelaki itu lebih dulu bergerak melepaskan airpods yang menyumpal kedua telinganya. Lalu Shana memilih memalingkan wajah ke sembarang arah. Dia tidak salah bukan? Saka? Owner cafe itu? Ingin sekali dirinya merutuk bisa bertemu sosok yang membuat dirinya bertingkah tidak tahu malu tempo lalu. Hening menyelimuti kedua insan itu cukup lama sebelum Saka sengaja batuk pelan untuk menarik atensi perempuan di hadapannya. Shana yang kadung malu memilih menunduk agar terlihat tidak terusik sama sekali. "Mmm... Permisi." Shana menelan salivanya kala Saka membuka suara. Ia tidak bodoh kalau lelaki tampan di hadapannya ini kini tengah menatapnya. "Ya?" Shana mendongak saat menjawab. Ia harus terlihat biasa saja. Bagaimana pun juga kejadian itu sudah lama berlalu dan pasti Saka juga sudah melupakan wajahnya. "Shana, kan? Temannya Nana?" tanya Saka ringan dengan senyum terbit di wajah tampannya. Shana melongo, ia yakin wajahnya jelek sekali.
Saka terkekeh pelan. "Maaf ya, kayaknya kamu kaget. Aku Saka, kita pernah ketemu di cafe minggu lalu," jelas lelaki itu menambahkan.
Shana menggaruk pelipisnya perlahan. Gadis itu terlihat gugup.
"Siapa ya? Kayaknya kita nggak pernah ketemu deh, kamu salah orang mungkin."
"Nggak kok," elak Saka cepat. Lelaki itu berniat menjelaskan tetapi saat dilihat gelagat Shana yang terlihat risih membuat ia merasa bersalah. "Maaf ya, kayaknya aku salah orang. Maaf udah buat risih," tukas Saka tulus. Shana mengangguk. "Iya nggak apa-apa." Diam-diam ia mengembuskan napas lega yang mudah sekali Saka pahami. Tetapi lelaki itu memilih pura-pura tidak tahu. Baik Saka maupun Shana tidak mengeluarkan suara sama sekali. Pembeli yang datang semakin ramai. Saka berdiri lalu berteriak memanggil Abah yang terlihat sibuk mengurusi pelanggan. "Abah, soto Saka udah jadi?" Abah yang mendengar teriakan lalu berbalik. "Udah, Mas Saka. Tunggu abah antar ya," balasnya dengan sedikit meninggikan suara agar tidak teredam oleh suara pelanggan yang lain. Mendengar jawaban Abah, Saka langsung membereskan barang-barangnya. "Bungkus aja sotonya ya, Bah. Saka ada urusan." Saka beranjak dari tempat duduknya lalu menoleh pada Shana yang memalingkan wajah saat ia mendapati pandangan gadis itu mengarah padanya. Lelaki itu tersenyum geli melihatnya. "Aku duluan ya, Shana. Pertemuan kita selanjutnya aku harap kamu udah ingat aku. Makan yang kenyang, Sha." Mata Shana membola mendengar perkataan Saka. Ia sampai membalikkan badan melihat kepergian Saka yang sudah keluar dari warung Abah. Gadis itu memegang kedua pipinya yang terasa panas. "Hati, please jangan baper." Shana memejamkan mata lalu berdoa dengan sungguh.Langit hari ini terlihat cerah. Shana mendongak menatap horizon yang membentang dengan senyum tipis terbit dari wajah cantiknya. Setelah mengurus absensi di kantor, gadis berusia hampir mencapai kepala tiga itu berniat membeli Sakura Blossom Strawberry Frappuccino di Starbucks yang tak jauh dari Edifice Land. Ia sudah tak sabar membayangkan minuman terbaru untuk edisi spring kali ini. Minuman perpaduan saus strawberry dengan susu ditambah whipped cream sebagai topping dan coklat tabur seakan sudah menggoda tenggorokannya. Dan Shana pastikan bisa memberikannya amunisi untuk beraktivitas di luar ruangan seharian nanti. Shana berjalan menunduk seraya mencari ponselnya yang bergetar sebelum badannya refleks berhenti kala tak sengaja hampir menabrak dada bidang seseorang di pintu masuk. Sontak ia bergeser tetapi tubuhnya tersentak saat sebuah suara menyapanya dengan lembut. "Hai, Shana
Sejak Saka mengantarkan Shana ke rumah hingga membuat geger keluarga Sabana lantaran mamanya menyebarkan berita kedatangan Saka pada papa dan Arka. Perempuan kesayangan Shana itu tak segan menambah bumbu penyedap agar informasi tentang Saka semakin sedap untuk dilahap. Para om dan tantenya tak ketinggalan menjadi pendengar dan supporter dadakan saat diceritakannya sosok Saka. "Kak, kamu beneran ya harus bawa Saka ke rumah. Mama nggak mau tahu, pokoknya," desak Sania pada anaknya yang sedang menguyah keripik kentang seraya duduk nyaman di atas sofa. "Iya Kak. Papa juga mau ketemu. Mama kamu nggak berhenti-berhenti cerita tuh anak." Ardi ikut menimpali ucapan istrinya meskipun sedang fokus pada layar bermain playstation. "Loh dek, kamu mainnya jangan barbar dong," selorohnya kemudian pada Arka. Arka berdecak. "Ck. Apanya yang barbar sih, pa? Ini papa doang yang lemah paka
Sejak janji temu Shana dan Saka tempo hari di cafe lelaki itu, hubungan keduanya kian terang. Tak henti Shana mengucap syukur akan sikap to-the-point Kiana saat melihat kedekatan tak biasa mereka. Gadis tomboi itu langsung menodong beragam pertanyaan seberes Saka memberikan oleh-oleh juga untuk Shana. Berkat ulah Kiana, Shana akhirnya bisa mengontrol hati dan pikirannya atas sikap Saka selama ini. "Kok Shana bisa dikasih juga?" tanya Kiana dengan dahi mengerut. "Kenapa nggak dikasih?" balas Saka dengan pertanyaan pula. Lelaki itu baru saja meletakkan paper bag di hadapan Shana setelah memberikan bagian Kiana. "Kalian 'kan nggak deket? Nggak mungkin dong kamu tiba-tiba ngasih gitu." Saka tergelak lalu segera mengambil duduk diantara kedua sahabat itu. "Emang harus deket dulu baru bisa ngasih sesuatu?" jawaban Saka yang kembali berupa perta
"Sha, progress event yang kamu handle udah berapa persen?" Shana mendongak mendengar pertanyaan Katrin. "Lima puluh," imbuhnya lalu kembali menunduk menatap monitor. "Kenapa?" tanya Shana saat dirasa ia tidak mendengar suara Katrin. "Nggak sih, aku cuman tanya aja. Tadi aku tanya Rena katanya suruh langsung ke kamu." "Terus?" Shana tahu ada maksud lain Katrin mengatakan itu. "Kalian baik-baik aja 'kan?" tanya Katrin dengan suara rendah. Ia mengedarkan pandangan memastikan sesuatu. Shana hanya bergumam sebagai jawaban. Merasa tidak perlu membahas staff PR bimbingannya yang membuat Katrin berdecak. "Ck. Sha, kalian lagi ada masalah beneran ya?" "Nggak ada." "Ya terus si Rena berubah kenapa?" tuntut Katrin. "Nggak tahu, Kat.
Kedekatan Shana dan Saka menginjak hari ke empat puluh. Ia tak bisa menampik rasa nyaman yang ditawarkan lelaki itu. Meskipun sampai saat ini Kiana masih belum tahu perkembangan hubungan mereka tetapi papa, mama dan Arka tak menutup mata dengan kehadiran Saka beberapa waktu terakhir. "Kamu sama Saka udah sampai mana sih, Kak?" tanya Sania seraya mengaduk kari tahu di atas kompor. Hari minggu seperti ini biasanya anak perempuan Sania akan membantunya memasak di dapur. Meski dibarengi dengan drama dan paksaan di pagi hari. Shana memilih patuh saat mamanya mulai memberi petuah untuk tidak berleha-leha di hari libur. Sadar tidak ada suara. Sania membalikkan badan lalu memukul bahu anaknya yang sedang memotong kentang. "Kalau ditanya tuh jawab. Mau durhaka kamu?" "Aduh, sakit Ma. KDRT ini mah," ringis Shana pelan sambil mengusap ba
Suara lonceng cafe berbunyi bersamaan dengan kepala Saka yang menoleh ke arah pintu masuk. Senyum lelaki itu merekah melihat kedatangan orang yang ditunggunya sedari tadi. Saka segera bergegas menyelesaikan pesanan. "Minum dulu." "Aku belum pesan loh, Ka." Shana mengerutkan dahi melihat Saka yang membawakannya segelas strawberry milkshake . Saka tersenyum. "Kamu baru nyampe, pasti haus." Shana mengangguk kaku lalu menyeruput minumannya perlahan. Gadis itu merasa kikuk saat Saka hanya diam memandangnya masih dengan senyum yang tak pudar. "Belum banyak orang ya," pungkas Shana mencairkan suasana. Pandangan gadis itu sengaja mengitari cafe Saka yang masih diisi oleh beberapa orang. "Kalau hari libur paling siang atau sore baru ramai." Shana menganggukkan kepala. "Kenapa mau ketemuan di cafe? Padaha
Sudah 10 menit Shana berdiri di depan pagar berwarna hitam keluarga Sabana. Gadis itu bergeming dengan tangan kanan mengusap dagu. Benaknya berkecamuk. Hatinya bergejolak. Bibirnya tak berhenti tersungging dengan pipi yang terasa hangat sejak keluar dari cafe Saka. Mengembuskan napas perlahan lalu mengipas bagian wajah, Shana bergumam pelan. "Sha, ini nggak mimpi 'kan." Gadis itu bermonolog seraya memegang pipi kanannya. Ia ingin menjerit tetapi urung saat terdengar suara dari balik pagar. Memperbaiki posisi tubuhnya, Shana sebisa mungkin menahan ekspresi berlebihannya. Shana berniat melangkahkan kedua kakinya bersamaan dengan perkataan seseorang. "Lho, Kak. Kamu ngapain berdiri di situ?" Ardi menatap anaknya yang terlihat kaget. Shana mencebikkan bibir lalu mengusap dadanya pelan. "Papa kenapa bikin kaget, sih," dumelnya menatap Ardi. "La
Shana melirik kembali ke arah ponselnya yang tersimpan di atas meja. Gadis itu menunggu pesan seseorang yang tak kunjung menghubunginya. Hari ini Saka mengajaknya jalan setelah ia menerima ajakan berkomitmen dari lelaki itu. Dan sampai sekarang Kiana belum mengetahui hubungan keduanya. Selain Shana yang belum mau bercerita pun kesibukan Kiana yang semakin padat seiring kembalinya ia mengabdi pada organisasi di kampus mereka yang dulu. Dua hari yang lalu, setelah Saka mengajaknya berkomitmen. Sania memaksa Shana menberitahukan keseriusan lelaki itu padanya. Ia awalnya menolak tetapi saat melihat raut bahagia keluarganya membuat hati Shana tak kuasa untuk menyembunyikannya lebih lama. Gadis itu masih mengingat betul bagaimana drama bergejolak di tengah keluarga mereka. "Saka beneran ngomong gitu, Kak?" Sania bertanya seraya mengguncang kedua bahu anaknya. Ia sangat tahu kalau Shana tidak mungkin berbohong.